Minggu di Victoria:
Mengawali Taifung Literasi
(Pipiet Senja)
Causeway Bay, Hongkong, Minggu, 25 September 2011
Karena kelelahan, baru bisa tidur sekitar tengah malam, bangun agak kesiangan.
Ustadz Herman sudah lebih dahulu berada di ruang tengah, tempat kami solat berjamaah dan kuliah subuh bersama BMI yang sedang berkasus dan tinggal di shelter Dompet Dhuafa, kawasan Li Wen Court-Haven Street.
Setelah mendengar tausyiah Ustadz Muadz, teman-teman BMI diberikan kesempatan untuk melapor. Kira-kira kasusnya sudah sampai mana. Ada yang mengatakan akan sidang kembali hari Senin.
Ada juga yang bilang, baru mau dipertemukan dengan majikan, semacam mediasi, sebelum naik ke tingkat pengadilan.
Dua rekan kru film dokumenter, Weldy dan Rhino akhirnya bergabung sekitar pukul 09.00. Kami sarapan dengan nasi goreng lezat buatan rekan di shelter yang sedang piket hari ini.
“Kita syut kegiatan Lea dulu, ya,” pintaku yang segera diiyakan oleh Weldy.
Lea, dia memakai nama pena Jaladara, seorang BMI yang patut diacungi jempol.
Belum lama Lea diwisuda S1, pendidikan 3 tahun yang ditempuhnya di St.Marry, intitusi milik Filipina di negeri beton. Jaladara pula yang menulis kisah pada buku Surat Berdarah Untuk Presiden. Dan karena kegiatan serta prestasi dalam literasi itu pulalah, Lea diundang ke Ubud Writter (UWHR) di Bali.
Pukul 10.00, rombongan kami berangkat dari apartemen di Causeway Bay menuju Victoria. Karena banyak membawa buku (sekoper full euy!), akhirnya kami naik taksi.
Sementara Weldy dan Rhino berjalan kaki, karena harus mensyut langsung aksinya si Lea yang juga aktivis di Forum Lingkar pena HK.
Taksi turun di depat Swimming Pool, kami berjalan kaki menuju pendopo, tempat FLp HK menyelenggarakan kegiatan Gempa Literasi di Victoria.
Eh, ternyata-ternyata, sodara, naik taksinya cuma beberapa menit, zhiiieeeng, maka sampailah di TKP. Tapi jalan kakinya itu, loh. Lumayan bikin napas Manini ini ngakngikngok. Hehe.
Gempa Literasi ala FLp HK
Anak-anak Forum Lingkar Pena tampak sudah solid hadir, lesehan.
Acara langsung dibuka oleh Ketua (baru) Rihanu Alifa, dilanjutkan berdoa oleh Chalim, dan dimulailah; Menyebar Virus Menulis.
Sebagian ada juga yang baru tertarik dan akan bergabung agaknya dengan FLp HK. Mereka para pembaca setiaku yang sering kontak melalui FB, Twitter atau kompasiana.
Aku tetap berusaha mengajak mereka melanjutkan perjuangan melalui sastra. Setelah Surat Berdarah Untuk Presiden, antologi karya BMI HK yang kusunting, kusampaikan harus dilanjutkan dengan buku-buku lainnya.
“Kita buat dua buku, yuuuk!” ajakku. “Satu buku tentang BMI yang sukses, hepi-hepilah. Satu lagi tentang BMI yang tidak bahagia dan aneh-nyeleneh.”
“Ya, Undercover BMI HK begitulah,” tukas Mega Vristian yang datangnya telat, disambut teman-teman BMI dengan gelak tawa.
Beberapa saat kuberikan motivasi dan kiat-kiat menulis novel, buku cerita anak, dan yang terpenting adalah; harus suka membaca, banyak baca dan banyak menulis!
Rekan dari Apa Kabar mewawancaraiku sebentar.
Berkenalan juga dengan seorang blogging Warta BMI yang cantik. Ada pula manager dari Taiwan, Suara, anak muda yang sangat apresiatif, menghimbau semua yang hadir.
”Mari kita seimbangkan karya-karya yang aneh seperti Indahnya Selingkuh BMI, aduuuh! Ya, seimbangkan dengan karya-karya yang indah, mencerahkan,” ujarnya penuh semangat anak muda.
Monolog Teater Angin
Setelah makan siang, perjalanan dilanjutkan ke sudut lain, yakni tempatnya anak-anak Teater Angin berkreativitas.
Mereka sedang menyelenggarakan Lomba Monolog. Jurinya Mega Vristian dan seorang rekannya.
Gaya mereka tak kalah dengan para artis, teater di Ibukota.
Intonasinya oke, suara lantang dan disesuaikan degan isi materi monolognya. Kalau bukan BMI, niscaya mereka sudah bergabung dengan Teater Koma. Pokoknya; keren!
Sayang sekali tak bisa lama-lama, tugas memanggil, wheeei, holaaaa!
Kru Bilik Sastra dari VOI RRI Jakarta menghubungi, aku harus membincang karya Jaladara (BMI HK) dan Yusuf (TKI Amerika).
Beberapa saat aku membincang karya dua penulis ini, ngumpet di balik pepohonan rindang, di tempat sepi, agar tidak masuk suara-suara, hiruk-pikuk Victoria. Semakin siang tampak semakin heboh!
Kembali ke Causeway Bay, sengaja berjalan kaki melintasi lapangan Victoria. Aku menyukai suasananya yang pelangi.
Mulai dari yang arisan, kelompok sekampung yang berulang tahun, tahlilan buat keluarga yang meninggal, asyik-masyuk indehoy, jualan macam-macam sampai pasangan lesbi.
Sungguh banyak penampakan yang unik dan aneh-nyeleneh. Umpamanya di bawah jembatan tampak kumpulan sedang shalawatan.
Beberapa langkah dari situ terdengar nyanyian gerejani, lengkap dengan gerakan-gerakan ritual dan teriaka seru lantang; “Haleleuyah, haleleuyah!”
Begitu kulihat ada pasangan******dengan pakaian nyentrik, membawa boneka, buru-buru pasang kamera.
Tampak sekali mereka sungguh menghargai dan mengasihi boneka yang dianggap sebagai anaknya itu; jepreeet!
Nah loh, kena deh, gumamku. Duh, begitu mesranya pasangan nyentrik ini. Bonekanya diperlakukan sangat berharga sedemikian rupa.
Seolah-olah keberadaan boneka itu jauh lebih berharga daripada nyawa mereka sendiri. Hadeuh!
“Teteh, mau ikut demo ke KJRI?” ajak Yuni, penulis yang juga relawan DD HK.
“Hmmm, boleh juga, ya, eeh. Kita ambil potretnya saja sebentar, ya."