Tertawa dan Airmata
Tertawa dan Airmata
(Pipiet Senja)

Awal Februari 2008 yang cerah.
Dinihari sudah bangun, sholat dan mulailah mengebut, melanjutkan penyuntingan. 
Yup, sambil sakit pun, bahkan di rumah sakit, laptopku senantiasa setia menemani dan aku terus melakukan penyuntingan untuk dua buku; kumpulan kisah hikmah karya Titie Said dan kawan-kawan.

Sementara judulnya;…Ungu Pernikahan dan Persembahan Cinta, catatan cinta pasangan suami-istri, sebuah kolaborasi para penulis dari berbagai pelosok dunia. 
Terutama kontak blogku. Ops, sekarang sudah lenyap dirampok kriminal cyber.

Hari ini, alhamdulillah, kedua naskah itu sudah finishing dan akan segera diserahkan ke penerbit Jendela. Semoga dimudahkan dan secepatnya bisa diterbitkan.

Nah kembali ke beberapa 
Waktu mau ke warnet, petang itu, dibonceng Butet. Begitu sudah berada di boncengan, aku sempat bilang kepada putriku yang suka ngebut dengan motor warisan abangnya itu.

“Tet, jangan ngebut dong, pliiis… Mama masih mau hidup loh,
masih kepingin jalan-jalan ke Singapura, Mesir, Hongkong, Turki, Holland…”

“Walaaah... Mamah suka mimpi mulu,” komentar Butet.
“Iiihh, gak apa-apa lagi, Nak. Kenyataan itu dibangun dari mimpi kok. Banyak mimpi Mama yang sudah menjadi kenyataan, ingat-ingat itu.”

Begitu sudah di jalan raya Raden Saleh... siiiiuuuut... terbanglah motor butut yang tak lengkap surat-suratnya itu.

Wuaduuuh, terakhir kuingat, di depan kami ada mobil melesat. Agaknya Butet menghindari tabrakan maut dengan mobil itu. 
Eeee… motornya mendadak dangduuut!
Braaakkk… tabrakan!
“Allahu Akbaaar!”

Kalimat itu yang masih sempat terloncat dari bibirku. Setelah itu terasa gelap total menyelimuti kepalaku, tubuhku dan keberadaanku. 

Entah berapa lama hal ini terjadi, rasanya aku dibawa berjalan jauh sekali; menanjak, menurun, mendaki, menurun lagi, menanjak lagi, menurun…
“Eeee… ada Zein?” teriakku.
“Mmm, mmbaaaah!”

Tangannya yang mungil melambai-lambai. Wajahnya yang semakin hari terkesan membentuk persegi itu, tampak memerah dengan pipi-pipi yang chubby. Dia baru sembuh dari demam.

“Dadadah, dadada… Mamama, mama-mama…”
“Zein… Zeiiiin!” seruku megap-megap.
“Ikuuut… ikuuuut!”

Aduh, cucuku jangan ikut ke tempat gelap begini, seruku mulai disergap rasa ngeri. Aku harus kembali ke arah dia… Duuuh, ke mana orang-orang? Haekal, Butet… di mana kalian?

Lamat-lamat kudengar ada seseorang yang membisikkan kalimat toyibah. Suaranya tak asing lagi, ya, itu kan suara putriku… Buteeet!

“Mama… sudah sadar kan, alhamdulillah… Mama, iiih, nakutin Butet aja… kirain Mama pingsan selamanya, hiksss…”

Dia menciumi pipi-pipiku, dalam sekejap wajahku basah oleh air mata. Kulihat  ada wajah-wajah lain di sekitarku, mengelilingiku.

“Di mana kita… aaah… Butet ngebut, ya… kamu gak apa-apa, Nak?”
“Gak apa-apa, Ma… Butet kan kuat, nih lihaaat... kuat kayak Xena!”

Kepalaku berdenyut, sakit sekali. Tanganku merayapi kepala, bagian kanan terasa benjol sebesar kepalan tangan orang dewasa. Seorang dokter mendekat dan menanyai keluhanku. 

Aku bilang saja terus terang, kalau aku ini pasien talasemia; “Lemeees, pusiiing… Sakit kepala…”
“Bagaimana, sudah ada hasil laboratnya, Suster?” tanyanya kepada perawat yang baru bergabung.
“Iya… ini dok.”

Dokter mencermati hasil darah lengkap. Ternyata HB-ku hanya 6% gram. Yah, memang sudah telat ditransfusi. Tapi… ya Tuhan, berapa dana yang masih kumiliki, erangku gundah.

Butet pun bebisik di telingaku, “Mama… masih punya uang di ATM gak?”
“Palingan sekitar seratus ribuan…”
“Halaaah… gimana nih, ya?” Butet garuk-garuk jilbabnya, dia bergerak mengelilingi brankarku di ruang UGD itu.

“Coba minta tolong sama Abang dulu, ya, Neng…”
“Iya, tadi sudah ditelepon, bentar lagi ke sini…”

Kucari-cari sosok tinggi yang lazim kusebut suami, hanya sekilas muncul, menitipkan sedikit uang melalui Butet, kemudian langsung menghilang lagi.

Cuma buat ambil motor, berkata Butet.
“Ibunya harus di-CT scan, ditansfusi… Di sini sudah gak ada teknisinya kalau sore begini,” kata dokter.

“Diiih… uang dari Papa tadi sudah habis buat nebus obat, Ma,” lapor Butet.
“Bagaimana keputusannya, Bu?” doker mengulangi, nadanya terdengar mendesak.

“Tolong dirujuk saja ke RS. Polri, dokter,” pintaku memutuskan.
“Kenapa pilih RS.Polri, Ma?” Butet menyelidik, ketika kami sudah berada di taksi.

“Waktu pulang haji kan Mama dirawat di sana, bagus sekali perawatannya. Dokternya ramah, perawatnya juga manis-manis…”
“Iiiih… sejak kapan Mama jadi tukang iklan rumah sakit?” tukas Butet.

Ke Kramat Jati itulah akhirnya taksi melesat. Kepalaku masih berdenyaran, sakit luar biasa, sekujur tubuhku nyaris tak bisa digerakkan. 
Adikku dan anaknya yang kebetulan sedang ada di rumah ikut serta. Aku ambruk di jok belakang, lungkrah total!

Antara sadar dengan tidak, aku masih sempat melayangkan pesan singkat, terutama yang pertama kali teringat di otakku adalah Kosirotun. Dia memiliki sebuah blog kemanusiaan.

Selama dua tahun terakhir, melalui sosok Kosi inilah aku banyak dibantu, terutama saat-saat dalam kesulitan ekonomi; ketika sakit, ketika sengsara, ketika tak punya kerja, bahkan ikut mendanai lima anak duafa yang sering kubiayai pendidikannya.
“Teteh, barusan Kosi sudah transfer…”

Ternyata, sekali lagi Allah Swt itu membuktikan kebenaran ayat-Nya, tentang selalu ada kemudahan di antara kesulitan atau ujian-Nya. Itu sungguh benar!

Melalui Kosi dalam beberapa menit saja sudah mengalir dana ke rekeningku, banyak yang tak mau menyebut nama selain hamba Allah. 

Berkat kepedulian dan kasih saying dari saudara-saudaraku seiman itulah, akhirnya aku bisa mendapat perawatan secepatnya. Bahkan mengongkosi emakku yang ingin sekali menengok dari Cimahi.

Malam-malam, hanya ditemani Butet, kami menempati kamar yang bagus dengan suasana yang cukup nyaman.
Lucunya, aku disatukan dengan empat pasien lansia yang menderita jauh lebih parah dari kondisiku. 

Sepanjang malam kudengar erangan para nenek yang saling sahut menyahut, sehingga mirip koor orkesta ajaib di telingaku.

“Kalau sakit kayak gini kena virus apa namanya, ya Mom?” iseng Butet mencandaiku.
Ternyata jalannya masih terpincang-pincang akibat ketiban motor.

Tapi, subhanallah… dengan kondisi sakit itu pun dialah yang mencarikan obat, mengantri darah malam-malam naik ojek ke PMI Pusat di Kramat Raya.
“Virus jalanan ‘kali, Butet, aarrrggggh!” erangku.

Tiba-tiba terdengar erangan dari pasien di seberang, disambung oleh pasien di sebelahnya dan menular ke dua pasien di sebelah kananku. 

Untuk beberapa jenak kami berdua terdiam, saling berpandangan. 

Ada kengerian di wajahnya. Tapi aku malah ingin sekali menggodanya. 
Maka, pelan-pelan dan dengan pe-de sejati aku pun mengerang, lumayan panjang.

“Uuuugh, huhu… huhu…huhuuuuu….” Tampak wajah jelita di depanku terperangah hebat. Bibirnya sampai mengerucut.
“Hmm… kan biar gaul sama nenek-nenek itu… huhuhu…”

Begitu menyadari bahwa aku hanya menggodanya seketika dia terbahak keraaas!
“Husss, pssst… jangan berisik!”
Karuan saja aku susah payah mendiamkannya. Kami berdua jadi kompak terpingkal-pingkal. 

Agar tidak mengganggu, kami tertawa sambil menutup mulut kuat-kuat dan bergulingan, desak-desakan di tempat tidur. Fheeewww!

Ya Tuhan, terima kasih…
Bahkan di dalam rasa sakit dan demam yang masih merayapi sekujur tubuhku, dampak transfusi yang terpaksa harus diguyur, sebab darahnya hanya berlaku sekitar tiga jam saja. 

Ternyata aku dan putriku masih bisa tertawa bersama, nikmatnya!

Tujuan penulisan buku ini bermula dari keinginan untuk menemani kaum perempuan, para istri, ibu-ibu yang pernah atau telah melewati lakon yang mirip dengan diriku.

“Kalian tidak sendirian, tidak pernah sendirian… Mari, kita berbagi dan saling menguatkan, saling menyemangati… Niscaya ada solusi untuk kita!”

Seyogyanya biarkanlah lakon ini hanya menimpa diriku, jangan sampai menimpa orang lain, terutama yang melukai dan berlumur kepedihan. Bahkan keputusan demi keputusan yang kuambil, mungkin tak perlu diteladani, karena kondisi kita niscaya berbeda. 

Petiklah yang baik-baik dan ada hikmahnya. Sebaliknya buang jauh-jauh sisi gelap yang mungkin bisa menyesatkan.
***