"Menikahlah denganku."
Mata gadis berjilbab biru muda itu terbelalak saat mendengar penuturan pria di hadapannya. Ia segera memalingkan wajah ke sisi lain. Menghela napas panjang, lalu menunduk.
"Bukankah kamu sendiri yang bilang kalau butuh pembuktian cinta?" lanjut pria yang memiliki tinggi 180cm tersebut, mata elangnya menatap gadis manis di depannya.
Kepala gadis tersebut menggeleng pelan. "Aku ... tidak bisa menikah dengan pria yang memiliki pekerjaan haram." Setelah terdiam beberapa saat, akhirnya tercetus sebuah jawaban.
Hening. Tak ada balasan dari pria berjas hitam yang tengah terduduk.
"Kecuali ... kalau kamu mau meninggalkan semua harta dan pekerjaanmu saat ini."
"Kita sudah sering membahasnya, 'kan?" Pria itu berdiri cepat. "Pekerjaanku adalah hidupku!" Setelah mengucapkan kata itu, ia berjalan keluar meninggalkan sang gadis.
Wajah yang sedari tadi menunduk akhirnya terangkat, ditatap tubuh pria yang baru saja mengajaknya menikah tadi berjalan menjauh dan menghilang dari pandangan.
***
Satu tahun silam.
Azwa, gadis berusia 25 tahun melangkah tergesa menuju Halte bus. Biasanya ia selalu menggunakan sepeda motor kesayangannya, entah kenapa hari ini motor itu tidak mau diajak kerja sama. Mogok, sama sekali tidak mau menyala.
Diliriknya jam tangan berulang kali. Tiga puluh menit lagi kelas mengajarnya dimulai, sedangkan ia masih berada di Halte menunggu bus yang tak kunjung datang. Sesekali tangan lentiknya menghapus bulir keringat di dahi.
Bugh! Bugh! Bugh!
Beberapa orang mengalihkan pandangan ke arah sumber suara, termasuk Azwa. Dua pria berbadan kekar berpakaian serba hitam melayangkan bogem ke arah pria muda yang tengah berjualan minuman ringan di pinggir jalan.
"Kalau sampai besok kamu tidak bayar hutang, jangan harap kaki dan tanganmu masih menempel di badan!" gertak salah satu dari mereka, lalu keduanya saling memberi kode dan beranjak meninggalkan pria muda yang merintih kesakitan di pinggir jalan tersebut.
Azwa yang berniat mendekatinya seketika terhenti saat bus yang dinanti sejak tadi merapat ke Halte. Mengingat kewajiban di sekolah, ia segera masuk dan hanya bisa menatap pria itu dari balik jendela bus, walau sudah ada beberapa orang yang menolong, tetapi hati gadis berjilbab itu pun masih tidak tenang.
Sebenarnya, melihat tindakan kriminal seperti tadi sudah hal biasa bagi Azwa yang tinggal di lingkungan tak jauh dari diskotek. Tempat hiburan itu berkembang dengan pesat dengan segala huru haranya. Ingin rasanya gadis itu sesekali membantu mereka yang tertindas, hanya saja status sebagai wanita membuatnya berpikir ulang berhadapan dengan orang yang tak memiliki hati seperti mereka.
***
"Hari ini kamu terlambat?" Azwa yang baru saja selesai mengajar menoleh ke sisi kanannya.
"Ya," balasnya singkat seraya meletakkan buku di meja kantor, lalu duduk bersandar sembari meregangkan otot.
"Tumben, bangun kesiangan?" tanya Kia, teman mengajarnya.
"Eh, enggak ada sejarahnya, ya, seorang Azwa bangun kesiangan." Ditatapnya Kia dengan sebal. "Motorku ngambek, mungkin gara-gara semalam kehujanan."
Kia terkekeh. "Kirain. Eh, tadi kamu ditanyai Pak Ammar."
"Ngapain lagi? Perasaan baru kemarin ketemu?" tanya Azwa bingung.
"Nggak tahu, katanya kalau kamu ada waktu, suruh nemuin ke ruangannya. Mungkin ... mau diajak kawin kali."
"Hush! Sembarangan kalau ngomong!" Disenggolnya lengan Kia keras lalu mereka terkekeh bersama.
"Eh, aku dengar kabar, katanya ada penggerebekan di diskotek belakang kontrakanmu?" tanya Kia dengan mimik wajah serius.
"Iya, dan seperti biasa enggak ada barang bukti apa pun yang polisi temukan di sana," jawab Azwa malas.
"Kok, bisa, sih? Bosnya pasti main uang itu."
Azwa mengangkat kedua bahu. "Enggak tahu. Kalau ketemu sama pemilik diskotek itu, aku mau ajak dia pengajian, biar dapat hidayah dan kebuka hatinya!"
Kia terbahak mendengar ucapan Azwa, seorang guru agama di sekolah tempat ia mengajar ini. "Enggak sekalian diajak nikah? Siapa tahu, dia mau tobat terus ganti buka kedai kopi."
"Ish, ya kalau pemilih diskotek itu masih single, kalau sudah tua dan punya banyak istri gimana? Dih, ogah!" Azwa bergidik ngeri.
"Eh, dia masih single, kok. Aku punya fotonya, bentar, ya. Dia itu lagi banyak diomongin saat ini di dunia maya gara-gara ketampanannya." Kia merogoh ponsel di saku, membuka galeri dan mencari-cari foto yang ia maksud tadi. "Ah, ini dia. Coba lihat ini, kamu pasti akan ...."
"Permisi Bu Azwa, ditunggu Pak Ammar di ruangannya." Tangan Azwa yang terulur bersiap akan meraih ponsel Kia seketika ditariknya kembali, menoleh ke pria tua yang berdiri di ambang pintu kantor guru.
"Iya, Pak Rahmad, terima kasih. Saya segera ke sana," balas Azwa.
"Ciee ...." Kia sambil menyenggol lengan Azwa. Sedangkan, gadis berlesung pipit itu memutar bola mata malas dan melangkah menuju ruangan Ammar, sang Kepala Sekolah di SMA 1 Negeri Jakarta ini.
***
"Aku tahu kamu kepala sekolah di sini, tapi jangan setiap saat memanggilku ke ruangan ini," ucap Azwa ketika sudah berada di ruangan Ammar, sang Kepala Sekolah sekaligus kakak tingkatnya saat kuliah dulu.
"Memang kenapa? Aku kan mau membicarakan masalah sekolah denganmu."
"Jangan mencari banyak alasan untuk menutupi niatmu yang sebenarnya. Sampai kapan pun aku enggak bisa terima lamaranmu." Azwa menatap Ammar sekilas lalu kembali fokus pada buku yang ada di tangannya.
Ammar mengembuskan napas panjang, ditatapnya gadis yang sudah ia lamar berulang kali, tapi selalu menolak. "Kita bisa bicarakan ini lagi dengan orang tuaku, Wa."
"Tidak perlu, mereka jelas-jelas tidak menyukaiku, lagian, bukannya kamu sudah dijodohkan dengan gadis pilihan mereka, tentunya yang jauh lebih kaya, lebih cantik, dan lebih baik dari aku."
"Wa ...."
"Terimalah takdir kalau kita memang tidak berjodoh, Mar." Suara gadis ini mulai terdengar parau.
"Aku akan berjuang untuk bisa meluluhkan hati orang tuaku, tolong beri kesempatan sekali saja," pinta Ammar dengan suara lembut.
"Lalu membiarkan mereka menjatuhkan harga diri abahku lagi? Tidak, Mar. Maafkan aku." Azwa berdiri, merapikan buku yang niat awalnya ingin dibahas bersama. "Aku permisi."
***
Azwa berlari kecil dengan mengangkat tangan kanan di atas dahi, hujan deras menyambutnya saat turun dari bus.
Akhirnya, ia memutuskan untuk berteduh di salah satu toko yang sudah tutup. Diusapnya lengan yang mulai terasa dingin, sejurus kemudian matanya menyipit saat melihat orang berkerumun di ujung jalan.
"Apa ada kecelakaan?" Rasa penasarannya membuat ia nekat menembus hujan dan mencari tahu apa yang terjadi di sana.
"Tolong lepaskan suami saya, Pak. Bagaimana nasib anak saya tanpa bapaknya nanti." Wanita muda dengan perut buncit bersujud di hadapan pria berkacamata hitam dan bertubuh tegap.
"Berdirilah." Pria itu melepas kacamatanya.
Perlahan wanita itu berdiri, percikan air hujan dari payung wanita di depannya membasahi wajah tampannya. "Kamu tahu berapa hutang suamimu?" tanya Pria itu pelan.
Wanita itu menggeleng pelan.
"Tidak banyak, hanya sepuluh juta, tapi yang membuatku mencarinya adalah dia berani mencuri di areaku! Bukankah hukuman untuk seorang pencuri adalah penjara?"
"Tidak, Pak. Aku mohon." Diraihnya tangan pria tampan itu dengan derai air mata.
"Lepaskan!" Dihempaskannya tangan wanita hamil itu sampai terjungkal.
"Hei! Jangan kasar terhadap wanita!" Azwa berlari menembus kerumunan orang itu setelah tahu siapa wanita yang sedang menjadi pusat perhatian di sana. Yang tak lain adalah tetangga dekatnya.
"Delia, kamu tidak apa-apa?" Dibantunya berdiri wanita hamil yang bernama Delia itu.
"Apa Anda tidak melihat dia sedang hamil?" Ditatapnya sengit wajah pria yang mendorong Delia tadi.
"Lalu? Apa urusanku?" tanya pria itu dengan wajah datar sambil memakai kacamatanya.
"Carilah lawan yang setara denganmu! Jangan hanya berani kepada kaum kecil seperti kami!" gertak Azwa sebal.
"Heh, jaga bicaramu!" Pria berpakaian hitam di belakang hendak menyerang Azwa. Namun, ditahan oleh pria tampan itu.
"Apa kamu tidak tahu aku siapa?" tanya pria itu dengan alis bertautan.
"Siapa pun Anda, melukai orang lain itu bukan tindakan terpuji, terlebih wanita, itu kesalahan besar, Pak. Anda terlahir dari seorang wanita juga, kan? Tidak mungkin dari batu!" Azwa mengusap wajahnya yang basah oleh hujan.
Tanpa membalas, kedua tangan pria berkacamata itu mengepal sempurna.
"Ayo, Del. Kita pulang." Azwa merangkul bahu Delia dan mulai berjalan bersisian meninggalkan kerumunan itu.
"Apa perlu kita beri dia pelajaran, Bos?"
Ada bibir yang tersungging saat melihat wanita berjilbab itu melangkah pergi. "Tentu saja. Segera cari tahu secara detail siapa gadis itu."