PoV Gaza
Tepat pukul 7 malam. Aku menjemput Azwa di kontrakan sederhananya. Entah kenapa dia bisa betah tinggal di tempat yang kutaksir hanya sebesar kamar mandiku saja. Dia gadis yang unik, banyak bahasa yang baru aku tahu saat bersamanya.
Gilanya lagi, aku akan pergi berkencan dengannya tapi harus mengajak pengawal. Ini bukan kencan, tapi arisan! Ya, mau bagaimana lagi, hanya ini cara agar bisa lebih dekat denganya.
"Ingat, nanti makanlah seperti orang normal. Kalian di sini aku ajak atas permintaan gadis itu," ucapku pada mereka–pengawal yang sudah duduk di kursi belakang.
"Siap, Bos," jawab mereka serempak.
Aku tahu mereka menahan tawa, sialan memang! Kusandarkan tubuh di kursi, memandang rumah sederhana dengan penghuni yang juga sederhana, tapi mampu membuat seorang mafia sepertiku tunduk kepadanya. Seketika sudut bibir ini tertarik, mengingat tingkah polos dia yang mempunyai daya tarik tersendiri. Belum pernah rasanya aku mempunyai perasaan seperti ini. Mereka–wanita di luaran sana yang pernah kujadikan kekasih, hanya sebagai alat untuk bersenang-senang saja.
Azwa, gadis yang berbeda, menurutku. Ada rasa kagum bahkan hormat ketika sedang bersamanya. Jatuh cinta, rasanya sebuah kata yang tidak tepat mengingat diri ini bukan anak remaja lagi. Namun, jika takdir mengizinkan, dia akan menjadi wanita terakhir yang kelak mendampingiku.
Aku kembali tersenyum, saat pandangan menangkap seorang gadis memakai pakaian longgar dengan jilbab berwarna peach-nya mendekat ke arah mobil. Cantik, sangat cantik. Dia menenteng tas kecil berwarna putih, tapi seperti ....
"Ayo, turun!" ajaknya.
Aku mengernyit. Apa maksudnya?
"Mau ke mana? Kita 'kan, mau pergi." Aku segera menoleh ke arah para pengawal, lalu membuka pintu dan turun.
Azwa tersenyum saat aku sudah berdiri di hadapannya. Ah, cantik sekali. Lagi, rasa ingin memuji timbul saat bibir itu senyum tanpa dipaksakan.
"Kita ke masjid dulu, deket-deket sini, kok," tuturnya tampak antusias.
Masjid? Mau ngapain? Sementara aku dan anak buah saling pandang, bingung. Karena itu adalah tempat yang tidak pernah kami datangi sama sekali selama ini.
"Ngapain?"
Dia berdecak, lantas melipat tangannya di dada. Bola mata itu berputar terlihat sebal. "Kamu enggak denger suara azan? Ini waktunya kita salat. Jadi nanti di jalan gak usah berhenti lagi buat salat. Ngerti?"
Dahiku mengernyit mendengar ucapannya. Salat? Sudah lama sekali tidak melakukannya. Kalau diingat-ingat terakhir saat masa Sekolah Dasar, dan sekarang aku lupa semua bacaannya. Azwa, Azwa ... kenapa ingin mengenalmu saja begitu ribet seperti ini.
"Tunggu! Apa jangan-jangan kalian tidak bisa salat?" Dia mengacung-ngacungkan jemari lentiknya ke arah wajah kami. Sial, harga diri terasa benar-benar hancur sekarang. Marah? Entah kenapa aku tidak bisa.
"Bisalah," ucapku spontan. Sial ... kenapa harus bohong.
"Ya, sudah. Kalau begitu, ikuti aku." Wanita itu berbalik badan dan melangkah. Sementara aku masih mematung, mengusap wajah gusar.
"Kalian bisa salat?" tanyaku pelan pada kedua pria berbadan kekar di belakang. Mereka hanya menggeleng, ternyata sama saja sepertiku. Harus bertanya pada siapa tentang bacaan salat?
Akhirnya kami mengikuti gadis yang sedari tadi kutatap punggungnya. Entah mengapa, semakin hari ada rasa ingin memiliki. Dia, gadis yang pertama kali membuatku menginjakkan kaki ke sini, di sebuah masjid sederhana dengan nuansa putih. Netra pun menerobos ke setiap sudut, merasakan degub jantung yang kian gemuruh. Entah, rasanya sulit dijelaskan. Jauh dari Tuhan, bahkan sangat jauh sehingga membuatku lupa caranya mendekat.
"Pria ambil wudunya di sana, ya," ucap Azwa menunjuk sebuah tempat di sudut kanan mesjid. Aku hanya tersenyum simpul dan mengangguk.
Wudu, bahkan kini aku lupa atau lebih tepat tidak tahu caranya. Sebuah kata yang aku paham artinya sebagai membersihkan diri sebelum sembahyang. Ternyata, aku tidak mengenal Tuhanku sendiri. Apa Azwa akan menjadi orang yang memperkenalkan lagi diri ini kepada Sang Pencipta?
Aku melangkah menuju tempat wudu, berpura-pura menerima telepon padahal sedang mengamati beberapa orang yang sedang berwudu. Ah, ternyata ini sangat mudah. Kusisikkan lengan baju dan celana, lalu memulai gerakan yang diam-diam aku amati tadi.
Clessh! Ada rasa bergetar saat air ini membasahi tangan, yang entah telah berapa banyak telah menghilangkan nyawa manusia. Sial, aku benci rasa ini, rasa yang membuatku lemah saat melaksanakan tugas nanti.
Selesai wudu, kami mengikuti para warga yang juga akan ikut salat. Lebih bodohnya lagi, aku tidak tahu sekarang jadwal salat apa? Aku buta, akan kewajiban sebagai manusia yang katanya beragama Islam. Bukan, lebih tepatnya Islam KTP.
Aku mulai memasuki masjid, menoleh sedikit ke barisan wanita. Ada dia di sana, memakai mukena putih dan tersenyum manis ke arahku. Senyum yang nyaris tak pernah terlihat selama ini. Aku kembali menghadap depan, lalu ikut merapikan barisan bersama warga yang lain.
"Bos, gimana? Aku nggak bisa salat," bisik Aksa, salah satu pengawalku.
"Sama Bos ...." Rendi–pengawalku satunya menimpali.
Aku mengelap keringat dingin yang tanpa sadar sudah membanjiri pelipis. “Jangan berisik dan ikuti saja!” Jangankan mereka, aku pun sama. Bingung, apa yang harus dibaca.
“Tapi Bos–“
"Sudah, kalian ikuti saja gerakan orang di depan sana." Aku tak mau ambil pusing. Apalagi sampai terdengar oleh orang lain.
Semua merapatkan barisan, dan aku diam-diam mengikuti semua arahan.
"Allahu Akbar ...."
Jantung ini berdetak lebih cepat saat mendengar kalimat tersebut untuk pertama kali setelah sekian lama. Terbiasa mendengar alunan musik diskotek, sekarang aku mendengar kalimat yang seakan membuat hati ini begitu sakit. Namun, ada ketenangan yang tak pernah kudapatkan sebelumnya. Tanpa melafalkan bacaan apa pun, gerakan demi gerakan kuikuti sampai akhirnya ditutup dengan gerakan kepala ke kanan dan ke kiri sembari mengucapkan salam.
Seperti inikah rasanya mendekatkan diri pada Tuhan?
Tuhan, apa aku masih pantas berada di sini? Setelah sekian lama aku tak pernah menyebut nama-Mu. Jangankan menyebut nama, terlintas sedikit pun rasanya tidak pernah. Apa masih ada celah untuk mendekat kepada-Mu?
Seusai salat, aku berjalan gontai menuju mobil, dengan kedua tangan berada di saku celana kutatap gadis yang berjalan dengan tergesa di depan. Kedua pengawal berada di belakang dan gadis itu tidak pernah mau berjalan sejajar bersamaku, katanya takut khilaf, kenapa coba khilaf di tempat umum seperti ini? Khilaf itu kalau sudah kebanyakan minum bir dan berada di kamar berduaan. Khilaf yang enak dan membuat melayang.
Tak berapa lama, kami sudah sampai di depan rumahnya. Segera aku membuka pintu mobil sebelum akhirnya terhenti saat gadis itu berucap, “Eh, mau ke mana? Kita makan malamnya di rumahku saja. Aku sudah masak untuk kalian."
Tuhan ... apalagi ini?
"Kita mau berkencan, jalan-jalan. Bukan hanya sekedar makan malam, Wa." Wajah itu tersenyum. Manis, dan egoku pun kalah.
"Setelah makan malam, kita akan jalan-jalan, kok. Ada pasar malam di kampung sebelah. Kalian pasti belum pernah ke sana kan?" Alisnya dimainkan naik turun.
Kuhela napas panjang. Tuhan ... lengkaplah sudah penderitaan hari ini. Rasanya aku ingin masuk saja ke lubang semut. Untunglah sayang. Kuberi kode kepada anak buah untuk segera masuk mengikuti langkahnya.