Bugh!
Tubuh seorang pria dihantam oleh tangan kekar sampai terpental ke dinding. Darah segar keluar dari bibirnya, dengan mengerang kesakitan pria tersebut masih berusaha berdiri, kepalanya menunduk di hadapan sang Bos.
"Harus berapa kali aku ingatkan, jangan jualan 'barang' itu di areaku!" Gaza menarik kerah anak buahnya dengan geram. "Bodoh! Hampir saja ketahuan polisi!" Lalu dihempaskannya tubuh pria itu ke dinding.
"Ma-af. Tolong maafkan saya, mereka mengelabui kita, Bos." Pria itu bersimpuh di hadapan Bos Mafia, yang tak lain adalah Gaza.
Dihelanya napas panjang. "Lain kali kalian harus lebih teliti dan hati-hati lagi. Area ini sedang dalam pengawasan polisi sekarang!" gertak Gaza, lalu berjalan meninggalkan ruang kerjanya, diikuti oleh 2 pengawal setianya.
***
Azwa merogoh saku seragam batiknya saat merasakan ponsel bergetar. Sebuah pesan WA masuk dari Ammar.
[Nanti sore, datanglah ke restoran Halanan. Orang tuaku ingin bertemu]
Azwa mengembuskan napas, gadis beralis tebal itu bingung. Haruskah ia berjuang lagi dengan pria yang keluarganya jelas-jelas tidak menyukainya, atau menyerah saja. Setelah berpikir sejenak, ia segera mengetik balasan dan mengirim pesan ke Ammar.
[Bukankah aku bilang akan memberi kabar saat sudah siap nanti, kenapa kamu memutuskan sepihak seperti ini?]
Ia kembali memasukkan ponsel dan berjalan ke ruang guru. Didapatinya Kia yang sedang mengoreksi lembar jawaban siswa.
"Sibuk?" tanya Azwa sembari duduk di sebelah Kia.
"Tidak, ada apa?" Kia menoleh, menatap wajah teman dekatnya di sekolah ini dengan penuh tanya.
"Aku ... butuh perkerjaan tambahan."
"Lagi ada masalah?" tanya Kia langsung.
"Hmm ... sedikit," jawab Azwa ragu.
"Butuh berapa banyak? Pakai uangku saja dulu."
"Jangan, tidak perlu, aku akan bekerja saja, sembari mengisi waktu luang saat liburan sekolah nanti."
Kia memandang Azwa dengan sedikit bingung. "Baiklah. Aku cari info dulu, ya. Segera kukabari kalau sudah dapat pekerjaan yang cocok denganmu nanti."
"Oke, terima kasih banyak." Dengan senyum yang merekah, digenggamnya tangan Kia erat. Lalu segera dilepas saat merasakan saku yang kembali bergetar, lagi-lagi pesan dari Ammar yang membuatnya mengembuskan napas panjang.
‘Haruskah aku mencobanya sekali lagi?’ batin Azwa bergejolak.
***
Kini, di sinilah Azwa. Di hadapan sepasang orang tua yang sudah berumur tapi masih kelihatan tampan dan cantik. Di sisi lain, ada pria yang melamarnya berulang kali, siapa lagi kalau bukan sang Kepala Sekolah, Ammar.
Setelah Azwa menolak bertemu, dengan nekat Ammar menjemputnya di rumah kontrakan. Memaksa ia bertemu dengan kedua orang tuanya dan berjuang sekali lagi demi impian mereka selama ini.
"Kami merestui hubungan kalian." Ucapan pria berusia 70 tahun itu membuat Azwa mengangkat wajah yang sedari tadi menunduk.
"Beritahu abahmu, kami akan ke rumah untuk melamarmu demi putra kami satu-satunya ini," lanjutnya dengan suara yang masih terdengar santai. Sedangkan wanita di sebelahnya hanya terdiam, enggan menatap Azwa sejak masuk ke restoran ini.
Azwa yang masih ragu dengan ucapan tadi hanya terdiam, tanpa berniat membalas atau tersenyum bahagia. Ia yakin pasti ada sesuatu yang disembunyikan Ammar sampai akhirnya mereka menyetujui hubungan yang sempat ditentang keras kala itu.
"Jawab, dong! Punya mulut, ‘kan?!” sentak sang Mama. Membuat Ammar menyenggol pelan lengan wanita paruh baya itu pelan. Sedangkan yang disenggol hanya memutar bola mata malas dengan mulut bergumam tak jelas.
"I-iya, Om. Nanti sa-ya sampaikan ke Abah." Azwa tergagap membalas dengan hati yang masih tergores luka. "Maaf, saya izin ke belakang sebentar.” Tanpa menunggu jawaban, Azwa segera beranjak meninggalkan meja.
Terdengar sang calon ibu mertua mengomel dengan nada yang tak enak didengar. Azwa yang mendengar itu memilih terus berjalan menjauh sembari memegang dada, sesak rasanya. ‘Haruskah aku melanjutkan semua ini?’
Setelah mencuci muka agar terlihat lebih tenang, Azwa menatap bayangan diri di cermin. “ Hai, kapan kamu bahagia?” Senyum tersungging di bibir tipisnya. “Jatuh cinta itu seharusnya membuatmu bahagia, bukan terhina."
Matanya terasa panas, bahkan penglihatan mulai mengabur. Saat bulir air mata bersiap keluar, Azwa menyekanya dengan cepat, karena mendengar suara gaduh dari arah luar.
Ia segera meraih tas dan berjalan keluar. Matanya terbelalak saat melihat dua orang pria yang sedang baku hantam, dan ... ia mengenali salah satu dari orang itu.
"Hei, berhenti! Apa yang kalian lakukan!" Teriakan nekat Azwa membuat tangan kekar yang siap melayangkan bogem pada wajah lawannya seketika berhenti.
Sekilas ia menoleh ke arah gadis berjilbab merah muda itu, lalu kembali menatap lawan di depannya, terpaksa melepaskan dan menghempaskannya dengan keras.
"Kali ini kamu selamat. Urus dia!" perintah pria bermata elang kepada anak buahnya. Lantas, ia berjalan mendekati Azwa dengan mengambil sapu tangan dari saku jas, untuk membalut tangannya yang terluka.
Azwa beringsut saat Gaza berjalan mendekatinya. "Berhenti di sana!" Tangan Azwa terangkat ke arah pria yang berkelahi tadi, Gaza.
Jarak kamar mandi ke ruang utama restoran lumayan jauh, sehingga tidak akan mengganggu tamu yang berkunjung.
Tangan Gaza terangkat, menahan anak buah dan beberapa pelayan saat akan mendekat ke arah mereka. "Kamu di sini?" tanya Gaza sambil melilitkan sapu tangan yang sudah bercampur warna darah itu.
"Iyalah. Kita kan sedang berhadapan sekarang," jawab Azwa tanpa melihat wajah pria itu.
Gaza terkekeh. "Maksudku, ada kencan dengan seseorang di sini? Kamu tahu, ini resto mahal."
“Memang kenapa kalau mahal? Semua orang bebas mau ke sini, 'kan? Emangnya ini restoran punya nenek moyang kamu apa?!”
Gaza lagi-lagi terkekeh. “Oke, oke.”
“Bersama pacar atau ....”
“Bukan urusanmu, Tuan. Kamu sendiri ngapain ada di sini? Pakai acara berantem lagi? Kurang kerjaan.”
Kali ini, pria tampan itu terbahak. "Aku hanya ikut bosku bekerja di sini. Dan, orang tadi itu seorang pencuri."
"Pen-pencuri?" Dahi Azwa mengernyit. "Lapor dan serahkan saja ke polisi, jangan pakai kekerasan. Anak buahnya saja sadis kayak gini, gimana bosnya?" Azwa bergidik ngeri.
Gaza hanya mengulum senyum, dirapatkannya tubuh ke dinding dengan tangan terlipat di dada. Lalu, dipandanginya gadis yang sedang salah tingkah tersebut dari atas sampai bawah. Entah kenapa pakaian longgar yang menutupi tubuhnya memiliki daya tarik tersendiri untuk Gaza.
"Tundukkan pandanganmu, Tuan." Azwa merasa risi diperhatikan terus.. “Lain kali lakukanlah hal yang bermanfaat lainnya selain berkelahi seperti tadi. Itu sama sekali tidak keren!" sungut Azwa.
"Tidak keren?" Alis Gaza bertautan mendengar ucapan Azwa. "Lalu, hal apa yang menurutmu keren?"
Gadis berlesung pipit itu sekilas melihat Gaza lalu kembali menunduk. "Mengaji misalnya," jawabnya dengan melangkah pergi meninggalkan pria berjas hitam yang sedari tadi memerhatikannya.
"Mengaji?" ulang Gaza dengan dahi mengernyit. Lalu, ia terkekeh. ‘Seorang Gaza mengaji?’ batinnya tergelitik. Ia menggelengkan kepala dengan tawa yang masih menghiasi bibir.
“Sudahlah!” Azwa yang mulai kesal, memilih meninggalkan Gaza.
Diikutinya langkah Azwa dari belakang, ia ingin tahu, dengan siapa gadis itu pergi ke tempat ini.
Dari tempat ia berdiri, dilihatnya Gadis yang beberapa hari ini mengganggu pikirannya tengah duduk bersama sepasang pria dan wanita paruh baya, serta seorang pria tampan dengan senyum yang selalu mengembang. Mata pria di samping Azwa selalu mencuri pandang ke arah gadis berlesung pipit tersebut.
Secara tidak sadar, tangan Gaza mengepal. Ada sesuatu di dalam tubuhnya yang sedang terbakar api cemburu. Lalu, dengan senyum yang tersungging, ia berjalan ke arah meja mereka. "Aku akan sedikit bermain-main dengan mereka," ucapnya lirih.
"Selamat malam."
Orang tua Ammar menoleh ke arah sumber suara, pun dengan Ammar dan juga Azwa. Gadis itu terkejut saat melihat pria bermata elang tadi kini berdiri di depannya, seketika wajahnya memucat. ‘Jangan-jangan dia mau menagih hutang di depan orang tua Ammar,’ pikirnya takut.
"Kejutan sekali, Tuan Gaza." Dengan segera, calon mertua Azwa berdiri dan menyalami pria muda yang sudi menyapanya itu. "Suatu kehormatan Anda datang dan menyapa kami."
Ekspresi lain pun terlihat dari wajah istrinya dan juga Ammar sendiri.
"Azwa berdirilah. Kenalkan, beliau pemilik hotel dan restoran ini," ucap Ammar dengan senyum semringah
Azwa ternganga, tak percaya dengan apa yang didengarnya. "Apa?!"