Ibu Mertua
Perlahan kubuka lemari di dalam kamar, biasanya terdapat beberapa baju ganti, juga mukena, serta keperluan sholat lainnya. Mengambil keperluanku lalu menutupnya kembali.

Mas Angga tak kunjung keluar dari kamar mandi. Aku menahan keinginan untuk buang air kecil, akhirnya terpaksa beranjak keluar menuju kamar mandi di samping dapur.

“Loh, kok di sini?” tanya ibu heran.

“Mas Angga masih di kamar mandi, Bu.”

“Oh ... begitu?” Wajah ibu penuh selidik.

“Saya permisi dulu, mau buang air kecil.” Ups! Aku bahkan menggunakan kalimat baku pada ibu. Begitulah jika sedang grogi. Duh!

“Iya, Tiara.” Ibu melanjutkan menata piring dan cangkir yang telah beliau cuci. Ibu masih cekatan di usianya yang sudah senja. Aku terobsesi menjadi seperti ibu karena Mas Angga selalu membanggakan ibunya sejak awal pernikahan kami.

Mungkin itulah sebabnya aku berubah fokus pada urusan rumah dan abai pada penampilan diri. Padahal tadinya aku tampil modis, setelah menikah malah tidak sempat mengurus diri. Ya ... sepertinya aku memang harus berubah. Bukan demi Mas Angga tetapi untuk diriku sendiri. Aku harus mencintai diri sendiri agar orang lain juga bisa mencintaiku.

Diabaikan membuatku sadar jika Mas Angga bisa saja pergi meninggalkanku, entah selingkuh atau meninggalkan dunia ini. Aku terlalu fokus selama lebih dari tujuh tahun terakhir padanya seorang. Padahal masih banyak yang bisa dilakukan untuk membuat hidupku lebih bermakna.

***

“Secantik apa pun, sesaleh apa pun, sebaik apa pun, seseorang tetap punya alasan untuk berpaling. Kuatkan diri, pantaskan diri untuk dicintai.” Ibu tiba-tiba berkata seperti itu padaku.

“Ibu?” tanyaku terperanjat.

“Apakah Angga bermain di belakangmu?” tanya ibu padaku.

“Tak usah risau, ibu pasti mendukungmu. Hari ini kita tidak usah berbelanja, kita ke salon saja,” imbuhnya.

“Tapi ... Annisa bagaimana?” tanyaku bingung.

“Tak perlu khawatir, Ibu sudah minta Bapak mengajaknya ke arena permainan.”

“Jadi, Annisa bukan mau buang air kecil?” tanyaku terkejut.

Tadi bapak tiba-tiba membawa Annisa berlawanan arah dengan kami saat memasuki Mall. Ibu mengatakan jika Annisa hendak buang air kecil lalu mengajakku duduk santai sambil menikmati kopi di salah satu resto.

“Maaf, Ibu telah berbohong padamu. Ayo kita ke salon di lantai tiga. Mumpung tidak banyak yang antre,” bujuk ibu.

“Baik, Bu.” Kuhabiskan minuman yang berharga lumayan pesananku, sayang jika ditinggal begitu saja.

***

“Mau perawatan apa?” tanya salah satu karyawan salon ramah.

“Komplit Mbak, berikan perawatan terbaik kalian pada menantu saya ini,” tukas ibu anggun.

“Duh mau dong jadi menantunya juga, Bu.” Seorang karyawan nyeletuk sambil tersenyum.

“Saya yang nggak mau,” ujar ibu risih pada karyawan salon yang sok dekat itu. Aku tersenyum melihat wajah wanita itu memerah, mungkin ia menahan malu.

“Duh Ibu, galak amat. Kebetulan paket komplit sedang diskon loh, Bu," tukasnya.

“Meskipun tidak diskon, saya tetap menginginkannya.” Entah kenapa ibu bersikap tegas kali ini.

“Kalau Ibu sendiri mau perawatan apa?” tanya karyawan dengan name tag-Wini tersebut dengan intonasi lebih serius.

“Saya pijat lulur saja,” jawab ibu lebih santai. Mungkin ibu tadi hanya tidak suka dengan sikap sok dekat Wini. Entahlah.

“Siap, Bu. Mau bareng mbaknya atau sendiri?” Wini menawarkan dengan wajah serius.

“Bareng saja, menantu saya ini pemalu nanti dia grogi.” Ibu menggandeng tanganku.

“Siap Ibu, ayo ikuti saya. Mbaknya juga.” Wini berjalan mendahului kami menuju sebuah ruangan.

Setelah mengganti pakaian dengan pakaian khusus, aku dan ibu mulai menikmati perawatan.

***

Ibu kini sedang menatapku dari posisi duduknya di salah satu sudut salon, usai pijat lulur ibu duduk santai sembari menikmati wedang jahe hangat yang diberikan gratis oleh pihak salon. Ibu pasti sedang memperhatikan rambut panjangku yang mulai di-treatment. Hair spa-namanya. Rambutku kusam, rusak, dan rontok. Enggak banget untuk seorang wanita, karena menurut ibu mahkota itu sangat penting dan harus dirawat.

Selanjutnya menicure dan pedicure, duh ... aku mulai bosan berada di sini karena terlalu lama.

“Ibu ... sudahan, ya. Aku kangen rumah,” rayuku.

“Baiklah, tetapi besok kita harus pergi lagi,” jawab ibu sambil tersenyum.

“Ke mana?” tanyaku heran. Rasanya sudah cukup perawatan yang kulakukan hampir seharian di sini. Apalagi yang kurang?

“Ikut saja,” ujar ibu.

“Iya, Bu," jawabku akhirnya. Pasrah.

Setelah membayar semua tagihan, ibu mengajakku makan di restoran. Ibu memang sangat berkelas jika berada di luar, berbanding terbalik bila di rumah. Ibu menjadi sangat penyayang dan melakukan banyak hal. Semata mencari kesibukan di rumah, katanya.

Annisa dan bapak ternyata sudah pulang, karena memang perawatan kali ini cukup menyita waktu. Pasti membuat keduanya tidak betah menunggu terlalu lama.

“Tiara, kamu tetap menawan di mata Ibu. Tetapi mungkin bagi Angga tidak, karena ia berkutat dengan dunia luar setiap hari. Kamu harus menjaga penampilan. Abaikan pekerjaan rumah jika membuatmu keteteran mengurus diri. Kamu bisa memanggil asisten rumah tangga harian jika memang dibutuhkan. Tidak perlu sungkan,” petuah ibu lembut.

“Iya, Bu.” Aku segera meneguk air putih hingga setengah gelas, hampir saja tadi tersedak saat mendengar penuturan lugas ibu.

“Apakah Angga lebih sering memperhatikan ponselnya akhir-akhir ini?” selidiknya.



Bersambung


Komentar

Login untuk melihat komentar!