Menerima Hukuman

Kami bergegas menuju lobby, ibu telah menghubungi driver agar segera menjemput kami sesaat sebelum menghampiri Mas Angga. Saat kami berdiri di depan lobby, driver datang menghampiri.

Di dalam mobil ibu memelukku erat. Ia mengusap punggungku yang turun naik akibat tangis dan emosi yang tertahan sejak tadi.

“Tenanglah, semua akan baik-baik saja. Ibu yakin Angga hanya sedang tersesat. Sementara kamu menginap di rumah Ibu dulu.”

Mendengar penuturan ibu, aku hanya mengangguk. Mengusap wajah dengan tisu kemudian meminum air mineral yang selalu tersedia di mobil. Beruntung sekali memiliki ibu mertua yang sangat baik seperti ibu.

Mas Angga ... telah sejauh mana hubungan kalian? Apakah tak ada belas kasih yang tersisa untukku?

*****

“Angga, duduk!” perintah Bapak pada Mas Angga usai acara makan malam kami.

Mas Angga duduk persis seperti terdakwa di hadapan bapak dan ibu. Annisa telah tidur setelah sholat maghrib tadi.

“Jelaskan pada kami, apa yang sebenarnya terjadi,” ujar bapak tegas.

Ibu diam menyimak bapak berbicara. Matanya tajam menatap Mas Angga. Jika tidak diminta ibu untuk berada di sini, mungkin aku lebih memilih di kamar menemani Annisa. Hatiku masih teramat sakit.

“Siapa wanita itu?” tanya bapak karena Mas Angga masih bungkam.

“Dia hanya teman masa lalu.” Mas Angga buka suara. Suaranya lirih nyaris tak terdengar.

“Ada hubungan apa di antara kalian berdua?” tanya bapak lagi.

“Aku hanya menemaninya, dia tidak punya teman di kota ini,” tukas Mas Angga memberi alasan.

“Alasan! Jika memang butuh teman kamu bisa mengenalkan Tiara padanya,” sergah ibu tidak terima.

Ibu menyangkal alasan Mas Angga, dan aku setuju dengan perkataan ibu. Wanita baik-baik tidak akan curhat pada lelaki lain apalagi suami orang.

“Shinta tidak mudah dekat dengan orang lain.” Mas Angga memberi alasan.

“Oh ... namanya Shinta? Tampaknya kamu sangat memahami teman wanitamu itu,” komentar bapak pelan penuh penekanan.

“Kami telah berteman sejak lama,” jelas Mas Angga sambil menatapku sekilas. Aku membalas tatapan Mas Angga, agar ia bisa melihat betapa aku sangat terluka.

“Rasanya Ibu pernah mendengar nama itu.” Ibu tampak sedang mengingat sesuatu.

“Ya, dia yang dulu aku ceritakan pada Ibu,” ucap Mas Angga lebih percaya diri, ia duduk tegak.

“Yang menolak lamaranmu dan memilih lelaki kaya karena saat itu usaha Bapak sedang diuji?” tanya bapak dengan suara sedikit meninggi.

“Bukan begitu, mungkin kami tidak berjodoh saja saat itu.” Mas Angga masih saja menyangkal kenyataan yang telah terjadi.

“Lantas kamu masih mengejarnya? Wanita itu telah mencampakkanmu. Ingat itu! Malah kamu sekarang selalu menemaninya?” Ibu memandangku lalu berkata, “Apa kabar istrimu yang setia menunggu di rumah?”

“Apa kamu pikir, Tiara tidak bosan di rumah saja?” lanjut ibu.

“Kamu yang memintanya berhenti bekerja agar fokus pada keluarga. Lantas kamu malah bersenang-senang dengan wanita lain di luaran sana!” Suara ibu terdengar semakin meninggi. Berkali ibu mengusap dadanya, menahan emosi.

“Aku sama Shinta hanya mengobrol biasa saja,” elak Mas Angga tak mau disalahkan.

Ponsel Mas Angga terdengar berbunyi beberapa kali tanda ada pesan yang masuk. Mas Angga tampak gelisah memandang layar ponsel yang menyala untuk beberapa saat kemudian meredup lagi. Ibu berdiri mendekat lalu mengambil ponsel yang tergeletak di atas meja persis di hadapan Mas Angga.

“Ponsel ini Ibu sita hingga waktu yang belum ditentukan!” ujar ibu sembari memasukkan ponsel Mas Angga ke dalam saku dasternya.

“Jangan, Bu!” Mas Angga berdiri, menghampiri ibu.

“Kalau kalian memang tidak ada apa-apa, kamu tidak perlu khawatir. Sementara pakai ponsel lama ibu dulu,” tukas ibu.

“Sudah ada nomornya, tinggal pakai,” lanjut ibu lagi.

“Ponselmu disita sampai kamu menyadari kesalahanmu. Sekarang pulang lah, renungkan kesalahan yang telah kamu perbuat,” tukas bapak.

“Ponsel Ibu ada di atas meja rias. Sementara Tiara di sini dulu, ibu harus mengobati luka yang telah kamu berikan padanya.” Ibu merangkulku.

“Setiap hari jam 5 pagi dan jam 5 sore datanglah ke mari. Sarapan dan makan malam bersama. Jangan terlewat.” Bapak memberi perintah, sepertinya bapak dan ibu telah membicarakan rencana ini sebelumnya. Keduanya tampak kompak memberikan hukuman pada Mas Angga.

“Ingat Ibu akan mengawasi gerak-gerikmu.” Ibu beranjak dan menggandeng tanganku menuju kamar.

“Tiara kamu ambil ponsel Angga ini, baca semua isi pesannya jika kamu merasa sudah siap. Setelah itu kamu bebas memutuskan untuk bertahan dengan Angga atau tidak.” Ibu menyerahkan ponsel Mas Angga ke genggaman tanganku. Beliau lalu memelukku erat.

“Apa maksud Ibu?” tanyaku tak mengerti.

“Lelaki yang tidak bisa menjaga dirinya tidak pantas mendampingi wanita baik-baik seperti dirimu. Meski Angga anak Ibu tetapi Ibu juga seorang wanita. Ibu bisa merasakan bagaimana terlukanya hatimu saat ini.”

“Makasih, Bu.”

“Maafkan Ibu tidak bisa mendidik Angga lebih baik. Jangan ceritakan masalah ini dengan keluarga besarmu di Jawa. Bila kalian memang tidak berjodoh, kami akan bertandang ke Jawa dan meminta maaf pada kedua orang tuamu.”

“Baik aku mengerti, Bu.”

*****

Bersambung

Yuhuuu Ibu Mertua Tiara memang tiada duanya! Kepoin part selanjutnya.❤️


Komentar

Login untuk melihat komentar!