"Terima kasih, Hakim,” ucap Ghayda. Ia menatap cerah Hakim yang masih berbaju koko dan sarung. Gadis lembut itu bersyukur akhirnya Hakim mau juga ikut ke masjid yang jarang sekali kena tapak kakinya. Pak Musa dan Mbok Siti sampai memberikan dua jempol padanya. Tidak ada yang berhasil mengajak tiga kurcaci itu berjamaah di masjid.
“Kamu hebat, Neng,” kata Mbok Siti saat Ghayda membuatkan tiga gelas susu. “Selama ini Pak Musa kewalahan ngajak Den Hakim ke masjid,” tambah Mbok Siti. “Untung ada Neng di rumah ini, ngurus mereka.”
“Saya hanya berusaha semampu saya, Mbok,” sahut Ghayda. “Enggak menyangka juga bisa berhasil ternyata.” Ghayda tersenyum penuh kelegaan. “Mereka sepertinya sulit untuk didekati, sehingga butuh memutar otak lebih keras agar tujuan saya tercapai.”
“Begitulah anak-anak itu, Neng,” ucap Mbok Siti sambil menyeruput teh manis panas. “Harus tetap sabar, telaten, dan pantang menyerah. Apalagi mereka sudah lama tinggal sendirian terus.”
“Kasihan sekali ya, Mbok. Saya bisa merasakan bagaimana rasanya hidup tanpa ibu, rindu ibu setiap waktu.” Ghayda terdiam, ada hati yang teriris ketika membayangkan hidupnya dan hidup anak-anak itu. “Doakan semua baik ya, Mbok.”
Wanita tua itu mengamini dan tersenyum. “Semoga kamu berhasil menemani anak-anak ini ya, Neng,” harap Mbok Siti. “Hatimu baik sekali. Mbok yakin, tiga anak itu juga adalah anak baik.”
Ghayda tersenyum pada Mbok Siti. Setelah itu, ia pamit mengantar susu ke ruang keluarga, tempat Hisyam dan kakak-kakaknya menghabiskan waktu bermain. Terlihat mereka sedang melakukan video call dengan seseorang, ayahnya. Suara riang gembira menghiasi ruangan ini. Riuh bahagia bisa mendengar sang ayah terdengar jelas. Ghayda membiarkan kebahagiaan ini dengan memberikan susu tanpa sepatah kata pun agar aktivitas mereka tak terganggu. Susu putih untuk si sulung Hakim, Himma penyuka susu stroberi, dan susu rasa coklat untuk si bungsu yang manis, Hisyam.
“Thank you!” Himma dan Hisyam kompak mengucapkan terima kasih dengan kencang. Bahagia sedang bersama mereka.
Kemudian Ghayda berlalu ke dapur meninggalkan tiga kerucil itu. Ia membiarkan ruangan itu berantakan. Bungkus camilan kosong dan botol minuman jus yang telah habis pun berserakan, buku-buku cerita dan pelajaran tercecer di karpet, ditambah lagi mainan Hisyam yang tersebar di sembarang tempat.
‘Biarlah, untuk saat ini,’ gumam Ghayda.
* * *
“Ayah, kita baru saja pulang tarawih,” ungkap Hisyam dengan suara manjanya. Ia berebut berbicara dengan Himma.
“Oh, ya!” seru sang ayah. “Alhamdulillah. Bagus, dong, Ayah ikut senang,” ujar sang ayah dengan gembira. “Hisyam ke masjid sama siapa? Gimana, seneng bisa ke masjid? Cerita sama Ayah, Ayah juga baru selesai jamaah sama rekan-rekan Ayah.”
“Semua orang di rumah ikut ke masjid, termasuk Kak Hakim, Yah,” jawab Hisyam semangat. “Seru banget, aku bisa main di sana sama teman-teman.” Sang ayah memanggut-manggut mendengarnya.
“Capek, Yah. Salaaaat terus, rakaatnya banyak,” timpal Himma. Gadis kelas 5 itu masih kesal pada Ghayda karena mengajaknya salat tarawih.
“Kita enggak mau pergi, tapi Tante Ghayda maksa semua orang buat pergi. Aku juga enggak mau di rumah sendirian,” tambah Hakim mengadu.
“Tante Ghayda?” tanya sang ayah.
“Iya, pengasuh yang dibawa kakek. Aku udah ceritain tentang dia sama Ayah, masa Ayah lupa.” Hakim meminum susunya perlahan.
“Oh,” sahut sang ayah. “Ayah harus berterima kasih pada Tante itu yang udah buat anak-anak manis Ayah mau pergi ke masjid. Dia baik sekali sudah mau temani kalian di rumah.”
Himma mendelik. “Ayah enggak tahu dia di rumah ini gimana, macam Hitler.”
Anak-anak mengobrol panjang lebar dengan ayahnya yang lama belum pulang. Selain rindu, mereka juga marah karena ayahnya selalu mengutamakan pekerjaan. Mereka hanya bisa berjumpa lewat panggilan video. Ayahnya selalu mempercayakan mereka pada Mbok Siti dan Pak Musa. Kakek kadang-kadang mampir untuk melihat keadaan mereka. Sadar bahwa mereka tidak bisa setiap saat ditemani sang ayah, Hakim berusaha menjaga adik-adiknya. Namun, terlalu berat untuk memberikan pengertian dan pengarahan akan sesuatu karena ia juga masih 14 tahun. Ia pun membutuhkan pengarahan yang baik dan benar, mereka butuh kasih sayang.
“Dua hari lagi Ayah pulang,” ujar sang ayah. “Ayah sudah minta untuk bekerja di rumah. Kecuali untuk hal mendesak, Ayah kembali bertugas di kantor.” Kabar berita ini disambut sorak anak-anak. Hisyam dan Himma melompat, Hakim masih terduduk menatap ayahnya. “Kalian baik-baik, ya. Besok sudah puasa, kita akan bisa berbuka dan sahur bersama.”
“Yeeeeaaaay! Ayah pulang!” seru Hisyam.
Panggilan video berakhir. Jam menunjukkan pukul 10.00 dan malam berlangsung hening, waktunya istirahat. Ghayda mengajak mereka untuk masuk ke kamar masing-masing.
“Langsung tidur, ya,” ucap Ghayda. “Hakim, main gamenya tunda dulu, ya. Hisyam bisa lanjut besok buat burung kertasnya, dan Himma, nonton dramanya lanjutkan besok siang, ya,” perintah Himma. Anak-anak hanya bisa terdiam dan menurut. “Nanti Tante bangunin jam 4, kita sahur.”
Ghayda kembali ke ruang tengah setelah mengantar Hisyam tidur. Ruang bekas anak-anak bermain menggelitik tangan Ghayda. Ia geleng kepala melihat lantai dan sofa berserakan sampah, buku, dan mainan. Kini waktunya ia membereskan semuanya sebelum pergi tidur. Mbok Siti sudah lebih dulu terlelap karena ia harus bangun lebih awal untuk masak sahur. Ghayda akan menyusul tidur setelah merapikan ruangan itu.
* * *
Pukul 03.00 subuh diramaikan oleh orang menabuh bedug, membangunkan sahur. Mbok Siti dan Ghayda pun sibuk memasak dan menyiapkan makan sahur. Beruntung Ghayda bisa masak, jadi bisa mengimbangi dan membantu Mbok Siti. Keduanya semangat menyambut puasa esok hari. Makan spesial penuh cinta dibuat Mbok Siti dengan senang hati.
“Aku bangunkan mereka dulu ya, Mbok,” ujar Ghayda. Ia membuka apronnya. Segera ia berlari ke kamar anak-anak.
Pertama, ia mengetuk kamar Hakim. Sekali, dua kali, tidak ada respon dari anak sulung itu. Tentu saja, Hakim tersulit kedua untuk bangun tidur. Setelah ketukan ketiga, Ghayda masuk ke dalam. Ia bangunkan anak itu dengan menyalakan lampu di atas nakas. Benar saja, Hakim terbangun.
Kedua, Ghayda mendatangi kamar Himma. Himma masih tertidur pulas dengan laptop di pelukannya. Benar dugaan Ghayda, Himma menonton drama sebelum tidur. Ghayda tak habis pikir, Himma terlalu kecil untuk menonton sebuah drama. Tingkah Himma yang dewasa sebelum waktunya membuat Ghayda khawatir. Apakah memang anak SD sekarang sudah sedewasa ini? Zaman yang telah berubah atau ia yang ketinggalan zaman? Untuk mempersingkat waktu, ia mengambil laptop itu dan menggoyangkan tubuh Himma dengan perlahan. Himma pun terbangun.
“Aku ngantuk,” Himma bangun dengan mata masih terpejam.
“Keburu subuh, Sayang. Ayo sahur dulu.” Ghayda membantu Himma bangun. Kalau tidak, si pipi cubby itu akan kembali berselimut.
Ketiga, Hisyam adalah anak tersulit. Wajar sekali karena ia masih sangat kecil. Meski begitu, diajari sejak dini adalah hal yang baik dan akan sangat berguna ketika ia besar nanti. Si penyuka coklat itu tidak bisa bangun hanya karena ketukan pintu, digoyangkan, atau ditepuk pipinya. Ghayda mengangkat tubuh Hisyam.
“Bangun, Sayang. Kita sahur dulu,” ucap Ghayda.
Kedua mata Hisyam terbuka sedikit dan perlahan. “Aku enggak mau puasa. Aku masih kecil, Tante,” rengek Hisyam.
Ghayda membawa Hisyam ke gendongannya. “Anak baik selalu mau belajar, enggak apa-apa puasanya setengah. Tante sudah masakin telur gulung.” Ghayda membawa Hisyam ke kamar mandi untuk membasuh wajah, kaki, dan tangannya, kemudian membawanya ke meja makan.
“Alhamdulillah.” Ghayda senang melihat Hakim dan Himma sudah ada di meja makan. Wajah dikerutkan tanpa senyum, mata bengkak karena masih terkantuk. Mereka belum menyentuh piring sama sekali. Ghayda mendudukkan Hisyam di samping kursinya. Pecinta toska itu mulai mengambil piring dan mengisinya satu per satu untuk si kerucil. Tidak ada suara dari mereka, hanya Ghayda dan senyumnya.
“Jangan sayur,” tolak Himma.
“Anak cantik harus sehat,” ujar Ghayda. “Besok seharian puasa, tubuh harus lengkap vitamin biar kuat. Sayur, ikan, nasi, dan susu. Makan, ya. Bismillah dulu, setelah selesai kita baca niat puasa.” Anak-anak mulai makan perlahan sambil mengantuk, Ghayda mulai sahur juga.
Dug! Dug!
Semua terhenti seketika.
====
Jangan lupa like dan komennya ya. Mau dapat penghasilan dari baca cerita saya? Caranya gampang banget lho. Kamu cukup share link cerita dan mempromosikan ke teman-teman kamu. Jika ada yang beli koin di novel ini, kamu juga bakal dapat penghasilan.
Ceritanya :
1. Suami Rahasia
2. Demi 500 Juta (END)
3. Dinikahi Bos Jutek (END)
4. Pura-pura Mlarat (END)
5. Lipstik di Leher Suamiku (END)
6. Pasca Bercerai (END)
7. Dipoligami Karena Mandul (END)
8. Pangeran Arogan (END)
9. Mencari Ayah untuk Anakku (END)
10. Ditinggal Pada Malam Pertama (END)
11. Suamiku Mata-Mata
12. Suami Simpanan Bos
13. Dilamar Ustadz
14. Nikah Muda
15. Mencintai Kakak Ipar
16. Mertua Banyak Maunya
Ada juga cerita yang belum dikunci lho.
1. Dua Hari Bersama Mas Duda
2. Wanita yang Ternoda
3. Mengejar Cinta Gus
4. Menikahi Tuan Muda
5. Lelaki Masa Depan
6. Cool Bos
7. Fitnah di Pesantren
8. Pengasuh 100 Hari
9. Malam Pertama Khanza
10. Dihina Jelek di Reuni Sekolah Suamiku
Kapan lagi baca novel sekaligus dapat cuan? Yuk dishare.