BAB 2
PENGAKUAN
Aku merasa bingung dengan semua kejadian ini. Banyak sekali hal yang tidak kumengerti. Ada yang janggal dengan Mas Ambar, wajahnya tiba-tiba pucat pasi sejak ia melihat enam orang yang datang barusan. Ada apa ini? Apakah Mas Ambar pucat karena sedih ada yang mengacaukan pernikahan kami? Atau semua ini ada hubungannya dengan Mas Ambar?
Kutatap wajah Mas Ambar. Ia selalu mengelak untuk balas menatap mataku. Ia terlihat bingung, seperti menyembunyikan sesuatu. Dapat kulihat jelas keringat dari dahinya itu mengalir. Apakah itu akibat dari kepanasan karena memakai baju jas itu? Atau mungkin ada hal lain yang membuatnya begitu gugup dan bertingkah aneh?
Ini masih jam sembilan pagi, matahari belum terik. Kembali kupusatkan perhatian pada enam orang asing yang datang. Saat mata ini bertemu dengan mata gadis berambut sebahu tersebut, ada perasaan tak enak menyergap. Gadis itu menatapku dengan rasa benci dan sinis. Ia berkacak pinggang, kutebak sifat gadis tersebut pasti sombong. Ia mengenakan gaun yang longgar.
“Sabar saja semuanya, sabar. Tak perlu menyambut kami dengan emosi tingkat tinggi,” ejek Pak Bondan.
“Sebelumnya perkenalkan, namaku Bondan. Ini istriku dan tiga orang ini adalah anakku. Satu lagi, lelaki yang ini adalah adikku,” ucap Pak Bondan memperkenalkan diri.
“Berhentilah berbasa-basi!” bentak Ayah.
Situasi kini tegang. Semua lelaki berdiri, para santri siap pasang badan jika terjadi sesuatu pada Ayah.
“Kedatangan kami ke sini hanya untuk menjemput Ambar.”
Mas Ambar terlihat semakin kebingungan. Ia seperti kucing yang kebakaran jenggotnya. Keringatnya mengalir deras.
“Ambar telah menghamili putri bungsuku, Rika. Usia kehamilannya sudah menginjak empat bulan,” jelas Pak Bondan.
Semua orang terkejut bukan kepalang mendengar paparan Pak Bondan. Para hadirin saling berpandangan penuh arti. Mas Ambar hanya menunduk tanpa berani mengangkat kepala.
Apa? Jadi anak gadis Pak Bondan telah hamil oleh Mas Ambar? Tidak, ini tidak mungkin terjadi. Pasti ada kesalahan, ini tidak benar. Mas Ambar tidak mungkin melakukannya. Bagaikan disambar petir di siang bolong. Dadaku sesak kala mendengar perkataan Pak Bondan.
“Tidak mungkin! Kau pasti salah orang, Bondan!” teriak Ayah tak terima.
“Itu semua benar! Lihatlah perutku ini sudah membesar. Anak ini adalah anak Mas Ambar,” Rika ikut angkat bicara.
Ia menarik sebagian gaunnya yang longgar itu ke belakang punggungnya. Terlihatlah perut yang sudah membuncit itu. Memang benar, wanita itu hamil.
Ayah mendekati Mas Ambar. Emosinya memuncak, matanya memerah.
“Apakah benar apa yang dikatakan mereka, Ambar!?” tanya Ayah.
Mas Ambar tak menyahut. Tubuhnya kaku bak batu karang laut.
“Katakan yang sebenarnya! Jawab pertanyaan itu dengan jujur! Ambar, kau dengar aku?!” Ayah terus saja mendesak Mas Ambar untuk menjawabnya.
Memang benar yang dilakukan Ayah. Kami hanya perlu jawaban dari kejujuran Mas Ambar sendiri. Apa pun yang ia katakan, itulah yang akan jadi acuan benar atau salahnya tuduhan tersebut. Dadaku bergemuruh, ada sesuatu yang ngilu dari dalam sana.
Lagi-lagi Mas Ambar diam. Ia belum berani mengangkat kepalanya. Hal ini membuat semua orang jadi geram bukan kepalang. Hingga wanita bernama Rika tersebut maju.
“Tak perlu memaksa Mas Ambar untuk menjawab semua pertanyaan tersebut, bukti ini sudah cukup nyata sebagai jawabannya,” papar Rika.
Ia lantas membuka tasnya dan memperlihatkan beberapa lembar foto pada kami semua. Tanpa sopan, Rika membanting lembaran foto tersebut.
Betapa kagetnya saatku lihat gambar yang ada dalam foto tersebut. Foto Mas Ambar dan Rika yang sedang bertelanjang di dalam kamar. Dengan pose-pose mesum. Tentu saja pasti mereka telah melakukan hal tersebut.
Dadaku sesak, napasku tercekat ditenggorokan. Semoga ini hanya mimpi, tetapi berkali-kali kusadari bahwa semua ini memang nyata. Hancur seketika seluruh jiwaku. Air mataku menetes tanpa permisi.
Tega sekali kau Mas Ambar. Bagaimana mungkin ini bisa terjadi? Ternyata bayi yang sedang dikandung wanita itu anakmu. Lantas bagaimana kelanjutan hidup kita. Usia kehamilan Rika empat bulan, seharusnya dari awal jangan mendekatiku. Bukankah kita baru mengenal selama enam bulan?
Berarti selama ini Mas Ambar selingkuh dan berpaling saat jauh dari jangkauanku. Merah padam wajah Ayah melihat foto syur tersebut.
Plak!
Ditamparnya wajah Mas Ambar. Ayah pasti sangat merasa sakit hati atas kejadian ini. Kami merasa dipermainkan.
“Tega kau, Mas. Mengapa memperlakukanku dengan begini kejamnya? Apa salahku dan Ayah? Jawab!” Tangisku benar-benar tak dapat terbendung.
Begini rasanya dikecewakan. Sakit hati ini tak bisa diungkapkan dengan kata apa pun. Kesetiaan yang selama ini dielu-elukan Mas Ambar ternyata palsu. Rasa sedih ini juga berujung sesal, terlebih aku sudah termakan janji manisnya yang ternyata hanya kamuflase.
“Kurang ajar! Berani-beraninya mempermainkan keluargaku!” ucap Ayah.
“Kami sangat kecewa padamu, Nak.” Ibu Mas Ambar menangis tersedu-sedu.
Tak pernah terbayangkan olehnya bahwa putra bungsunya bersikap begitu. Namun, apa hendak dikata. Nasi sudah jadi bubur, sesakit-sakitnya hati kami takkan bisa mengembalikan keadaan seperti semula.
Plak!
Ayah Mas Ambar menamparnya pula. Lelaki itu tak berkata apa-apa saat menampar pipi anaknya tersebut. Tatapan sayu matanya cukup menggambarkan bagimana rasa pedih itu menjalar ke sekujur tubuhnya. Ia tak mampu lagi berkata, hanya diam dengan seribu bahasa. Namun, semua orang juga tahu betapa besar rasa kecewa dan rasa malu yang ia tanggung.
“Mengapa kau tega mempermalukan kami, Nak. Mengapa?” isak. Ibu Mas Ambar.
Plak!
Satu tamparan lagi dari kakak lelaki Mas Ambar. Kakaknya telah menikah dan telah mempunyai anak. Ia turut kecewa atas tindakan adiknya. Malu tak terkira bagi keluarga besar Tumenggung.
“Kami tak perlu menonton drama ini, kami hanya ingin meminta pertanggungjawaban dari Ambar. Hari ini juga ia harus menikahi adikku, Rika,” ketus kakaknya Rika.
Lelaki itu tampak amat congkak. Memang sepertinya keluarga Pak Bondan itu sombong dan angkuh semua.
“Kau harus menikahi adikku. Kau tak bisa mengelak lagi. Jika kau tidak mau menikahi Rika, maka akan kami jebloskan kau ke dalam penjara. Kau tahu ‘kan siapa aku? Aku dan kakakku adalah polisi,” ancam kakaknya Rika.
Mas Ambar hanya bisa mengangguk lemah. Memang hanya itu yang bisa ia lakukan. Ia tak mungkin memilih untuk mendekam dalam penjara.
“Bagus, Ambar. Pilihan yang sangat baik,” tukas Pak Bondan dengan semringah.
Bersambung...