KECEWA BERAT
BAB 4
KECEWA BERAT


PoV Pak Rafif (Ayah Dewi) 


Sungguh bagaikan disambar petir di siang bolong saat mendengar penuturan dari putri semata wayangku. Tak disangka, sangat-sangat tak pernah kusangka bahwa Dewi tega mengotori wajah ayahnya ini dengan perbuatan zina. Namun, sekarang apa yang hendak dikata? Semua sudah terjadi. 

Jelas terlihat di mataku, Dewi menangis. Aku tahu bahwa itu pasti tangisan sesalnya. Aku tahu persis sifat anak itu, jiwanya lembut persis mendiang ibunya. Ada rasa iba bercampur marah kala menatap Dewi. Anak gadisku amat tega pada ayahnya. Mengapa kau lakukan ini? Kurang apalagi nasihat dan ilmu agama yang selalu kuajarkan. 

Tangisan Dewi memang tak bersuara, tetapi sudah cukup menggambarkan sakit hatinya dan sesal yang amat mendalam. Disisi lain rasa sedih menyergapku, tetapi juga ada rasa benci yang menjalar. Hingga Dewi tak lagi mampu untuk sekedar mengangkat kepalanya, terlebih untuk menatap wajahku. 

Dalam keheningan dan keheranan orang-orang, Dewi terlihat sangat lunglai. Hingga di waktu yang bersamaan ia jatuh pingsan. 

“Dewi!” Aku segera naik panggung untuk hari melihat keadaan putriku. 

“Astagfirullah, Mbak Dewi!” ucap orang-orang.

Melihat kejadian tersebut, para santriwati mendekat. Para tamu menunggu dengan tegang. 

“Nak, bangun. Dewi, bangun.” Kupeluk kepala Dewi di atas pangkuan. 

“Mbak Dewi butuh istirahat, Pak. Ia trauma dengan kejadian barusan.” Seorang gadis mengingatkanku. 

“Bawa saja dia ke kamar,” saran rekan kerjaku yang bernama Uztaz Malik. 

Segera kugendong Dewi, kubawa ia masuk ke dalam kamarnya. Setelah membaringkan putriku, aku kembali ke luar untuk kembali menemui Bondan dan keluarganya. 

“Tolong jaga Dewi, ya,” titahku pada para santriwati. 

“Siap, Pak. Aman saja.”

“Baik, Mbak Dewi aman bersama kami.”

Dengan langkah gontai aku berjalan keluar kamar. Dada ini berdebar tak karuan. Entahlah, rasa malu ini sangat besar. Butuh mental kuat untuk kembali menemui orang-orang. 

Ada rasa jengkel saat melihat Ambar. Ia benar-benar tidak peduli dengan kondisi Dewi. Ia telah turun dari panggung dengan posisi lengan masih digandeng mesra oleh Rika. Meskipun tampaknya Ambar tak merespon tindakan tersebut.

“Hahaha ... ternyata kita satu sama, Rafif! Putrimu yang katamu itu gadis baik-baik pun kini telah hamil!” hardik Bondan menghina. 

“Apalagi yang bisa dibanggakan? Pernikahan Dewi dan Ambar barusan juga tidak sah!” sambung istrinya Bondan. 

“Jaga bicara kalian! Ini rumah Pak Rafif, masalah pernikahan itu memang batal. Namun, akan dilaksanakan lagi akad ulang setelah Dewi dan Rika melahirkan,” jelas Ustaz Malik menengahi. 

“Ya, tapi setidaknya Ambar harus akad dulu dengan Rika hari ini.” Bondan menatap nanar wajahku. Tatapan meremehkan. Dasar keras kepala! 

Aku tak bisa berbuat apa-apa saat ini. Posisinya sulit, Dewi dan Rika sama-sama hamil. Pantas saja Dewi memilih dimadu, ia memikirkan nasib janin yang sekarang ada dalam kandungannya. Rasa emosi kembali menyambar kala mengingat kebodohan Dewi. Ia tahu haramnya hukum lelaki menikahi wanita hamil. Namun, mengapa Dewi tak jujur sedari awal? 

Mungkin Dewi tak sampai hati mengatakan hal memalukan itu pada ayahnya. Jika malu, bukankah ia tak seharusnya melakukan hal terlarang itu? Sekarang di depan khalayak ramai ia baru mengakuinya. Tentu saja langsung membakar wajahku yang berprofesi sebagai guru matematika di Pesantren An-Nuur. 

“Sekarang apalagi maumu, Bondan? Tak perlu banyak bicara lagi,” ujarku tegas.

“Kami hanya ingin Ambar dan orang tuanya ikut ke rumah kami untuk akad sementara.” Bondan melirik wajah malu keluarga Ambar. 

Seketika semua perhatian tertuju pada orang tua Ambar. Mereka jadi enggan mengangkat kepala. Wajahnya merah padam, terlebih ayah Ambar yang merupakan orang terpandang dan terpelajar. 

“Tidak, kami takkan mau ke sana,” jawab ibu Ambar. 

“Tidak, kami menolak!” tolak Pak Tumenggung.

Pak Bondan mendekat dengan angkuhnya, diikuti oleh anak lelakinya sebagai pengawal setia. 

“Jangan sembarangan menolak permintaan kami!” bentak Bondan kasar. Ia merasa terhina sebab penolakan itu. 

“kalian harusnya kecewa dengan Ambar, mengapa bisa-bisanya dia menghamili dua wanita sekaligus. Kami adalah korban, jangan limpahkan kekesalan pada keluarga kami.” Kakak lelaki Rika menambahkan. Tangannya ia lipat di depan dada. 

Lelaki itu maju mendekati keluarga Pak Tumenggung, hingga kini jaraknya hanya beberapa senti saja. Entah setan mana yang merasukinya hingga ia menampar wajah Pak Tumenggung. 

Melihat hal tersebut, mendidih darah kakaknya Ambar. Pria bertubuh kekar dan jangkung tersebut langsung berdiri untuk membalasnya. 

Satu tamparan pun ia layangkan diwajah kakak Rika. Perseteruan terjadi, keduanya saling memukul dan meninju. Meja dan kursi berantakan dan terbalik. Situasi panas dan tegang. 

Para lelaki dan santri pun melerai, Uztaz Malik langsung melesat maju hingga berada di tengah kakak Rika dan kakak Ambar. Dari sudut bibir kakak Rika keluar darah segar, sedangkan dari pelipis kakak Ambar lecet dan ada bercak darah. 

Aku juga langsung menerobos ke depan, sudah cukup! Kekacauan dalam acara pernikahan Dewi harus segera usai. Kedatangan keluarga Bondan hanyalah bumerang untuk kami semua. 

“Sudah, hentikan saja. Jangan sampai terjadi lagi kekerasan. Lebih baik, keluarga Pak Tumenggung ikut saja untuk akad sementara. Seperti yang diminta Pak Bondan. Nanti akan dilakukan akad ulang selepas melahirkan.” Ustaz Malik memberi solusi terbaik menurutnya. 

“Ya, bawa saja Ambar. Kalian hanya ingin posisi Rika sama dengan posisi Dewi, kan? Bawalah Ambar dan pergilah dari sini. Jangan menambah kekacauan hari ini!” bentakku pada Bondan. 

“Baiklah, kami akan pergi.” Pak Tumenggung mengalah. Ia juga tak ingin terjadi lagi perseteruan antara anak mereka. 

Lagian pernikahan mereka tidak sah. Mau diapakan lagi. Wajar saja kalau keluarga Bondan menuntut tanggung jawab, sebab posisi anaknya adalah wanita. 

Aku sudah tak ingin berpikir berat lagi sekarang. Yang ada di dalam pikiran hanyalah Dewi. Setidaknya ia harus sehat dulu. Tentu saja ia selama ini menutupi kehamilannya demi menjaga nama baikku, tetapi caranya salah. Hingga kini semua orang pun jadi tahu berita ini. 

Lamunanku terhenti, kala keluarga besar Tumenggung berpamitan dengan wajah sedih. 

“Kami permisi dulu, Pak Rafif. Maafkan atas kejadian ini, semua ini mutlak kesalahan anak kami,” desah Pak Temenggung.

Istrinya tak mengangkat kepala. Ia menunduk sambil mengusap air mata.

“Iya, Pak Tumenggung. Semua ini di luar keinginan kita.”

Lelaki itu memeluk tubuhku, kusambut dengan hangat. 

Kutatap kepergian keluarga Pak Tumenggung, kemudian diikuti oleh keluarga Bondan. Lelaki itu memang tak berubah sifat buruknya. Apakah ia masih menyimpan dendam masa lalu? 

Sebelum berjalan jauh, Bondan membalikkan badan menghadapku. 

“Aku puas melihat penderitaanmu hari ini, Rafif! Itu belumlah cukup untuk membalas dendam masa lalu kita,” kata Bondan pelan. Lalu, ia pergi berjalan pulang dengan angkuh mengiringi Rika dan Ambar yang masih bergandengan tangan. 

Untunglah tak banyak yang mendengar, hanya beberapa orang santri dan Uztaz Malik. 


Bersambung... 


Komentar

Login untuk melihat komentar!