MAAFKAN AKU, AYAH
BAB 3
MAAFKAN AKU, AYAH


Mataku membelalak sempurna kala melihat betapa pasrahnya Mas Ambar saat ini. Ia benar-benar tak berkutik seditpun. Lantas, bagaimana dengan nasibku jika Mas Ambar tak menolak pernikahan tersebut. 

Jika aku boleh meminta pada Tuhan, lebih baik aku mati saja daripada harus menerima kenyataan pahit ini. Ada sebuah sesal yang menyesakkan dada, bukan hanya kejadian ini. Namun, juga tentang hubungan kami selama ini. 

Malu tak terkira, hari ini benar-benar membuatku amat geram. Namun, inilah nyatanya. Para hadirin yang ada pun saling berpandangan dan Berbisik-bisik. Hal ini membuat perasaanku kian hancur. Mas Ambar kejam! 

“Kau dengar itu! Ambar ingin menikahi Rika, bukan anakmu, Rafif!” ejek Pak Bondan. 

Para santri naik darah dan emosi. Ini bukan lagi perihal urusan pribadi tentang pernikahanku, tetapi juga hinaan kepada Ayah. Melihat gelagat para santri, Ayah yang tak suka kekerasan pun mengisyaratkan dengan kedipan mata agar mereka tidak ikut campur. 

“Ambar sudah sah jadi suami Dewi beberapa menit yang lalu, sebelum kau datang. Pengacau!” jelas Ayah. 

“Itu tak masalah, Rafif. Kedatangan kami ke sini hanya untuk meminta pertanggungjawaban Ambar,” tukas Pak Bondan angkuh. 

Sementara Ayah dan Pak Bondan terus berdebat, Rika malah mendekati Mas Ambar yang jaraknya hanya satu meter dari hadapanku. Hal ini tentu saja membuatku tidak fokus dengan Ayah. Perhatianku kini beralih ke Rika dan Mas Ambar. 

“Seandainya kau mau menikahiku sebelum ini, pasti peristiwa ini takkan terjadi, Mas,” ucap Rika. 

“Maaf, Rika. Saat itu aku sedang dalam kondisi tidak sadar. Aku tak mencintaimu, tetapi aku akan mempertanggungjawabkan semua ini. Hanya karena kehamilanmu saja,” jawab Mas Ambar singkat. 

Mas Ambar menatap mataku, tetapi segera kupalingkan wajah. Tak sanggup rasanya saat ini untuk sekedar bertemu pandang dengannya. Lelaki yang baru saja menghalalkan diri ini, yang kuharap ia akan membawa ke lembah kebahagiaan. Namun, kini semuanya terbalik. 

Inikah yang disebut takdir? Mengapa harus datang petaka tepat di hari pernikahanku? Siapa yang hendak disalahkan?

“Mas, tinggalkan saja wanita ini!” hardik Rika dengan sinis. 

Aku kaget bukan kepalang. Lancang sekali wanita berambut sebahu ini. Ia menyuruh Mas Ambar meninggalkanku? Tidak, pokoknya apa pun yang terjadi aku akan tetap bertahan. 

Mendengar penuturan dari Rika, Mas Ambar tak menyahut. Ada raut sedih di wajahnya. Ia menunduk, entah apa yang sedang ia pikirkan. 

“Aku tak bisa memutuskan, semua tergantung Dewi. Jika ia mau dimadu, aku takkan pernah meninggalkannya. Aku memang sangat mencintai dia,” papar Mas Ambar. 

Sejujurnya ada rasa lega mendengar perkataan Mas Ambar. Namun, hati wanita mana yang tak sakit jika dihadapkan pada kenyataan pahit ini? Dimadu? Aku tak sudi, tetapi tak mungkin juga jika menolak. Kembali air mata ini mengalir. 

“Ya, sudah. Terserah aja, yang penting Mas harus menikahiku,” cecar Rika. 

“Wanita tak punya malu!” hardikku disela isak tangis. Di sekelilingku banyak santriwati yang mencoba menenangkan dan memberi tisu. 

Entah sudah berapa lama, tiba-tiba Ayah dan Pak Bondan menghampiri kami. Tentu saja dengan wajah penuh emosi. 

“Dewi, Ambar, dan Rika. Sekarang silakan naik ke atas panggung tepat di depan pelaminan,” perintah Ayah. 

Kami yang tidak tahu apa-apa pun terbengong sejenak. Naik ke atas panggung? Buat apalagi? Bukankah semuanya telah jelas bahwa Mas Ambar harus memenuhi tuntutan Rika. Wanita itu beserta keluarganya mengharuskan Mas Ambar menikahi Rika hari ini juga. 

“Buat apa, Yah?” tanya Rika pada Ayahnya. 

“Sudah, gak usah banyak tanya. Ikuti saja.” 

“Cepat, kok malah bengong. Tak ada ujungnya masalah ini jika hanya orang tua yang saling bertengkar.” Pak Bondan menjelaskan sesuatu yang aku belum paham apa maksudnya.

“Ikutilah kata hatimu, Nak. Ingat, jangan mau dipoligami,” tegas Ayah padaku. 

Akhirnya kami berdiri dan berjalan menaiki panggung. Namun, ada hal yang sangat menyakitkan daripada tertusuk pedang. Saat berjalan, Rika dan Mas Ambar berdampingan. Rika menggandeng lengan Mas Ambar. Lelaki itu tak menolak, tetapi juga tak menerima perlakuan wanita itu. 

Aku berjalan di belakang mereka sendirian. Bukannya seharusnya aku yang berada diposisi Rika sekarang? Walau bagaimanapun, Mas Ambar sudah sah jadi suamiku. Berbeda jauh statusnya dengan Rika yang belum dinikahi. 

Melihat hal ini, Ayah kembali emosi. Ia langsung menatap dua orang yang berada di hadapanku dengan sinis dan benci. 

“Kurang ajar! Tak seharusnya kalian bergandengan tangan. Istri sah Ambar saat ini adalah Dewi, bukan Rika,” ungkap Ayah. Jemari telunjuknya menunjuk kasar ke arah Rika. 

“Wanita tak tahu malu.” Aku menyambut ucapan Ayah. Karena rasa jengkel teramat sangat di rongga dada. 

Rika masih enggan melepaskan tangannya dari Mas Ambar. Para hadirin dan santri terdengar berkali-kali mengucapkan istigfar pertanda heran. 

“Bondan! Bukankah kau tahu, wanita hamil tak boleh dinikahi hingga ia selesai melahirkan!” teriak Ayah mengingatkan. 

Pak Bondan malah tertawa sinis, sudut bibir kanannya naik ke atas hingga kumisnya pun juga terangkat. 

“Itu bukan urusanmu! Yang penting sekarang Ambar adalah hak mutlak Rika. Masalah pernikahan bisa dilakukan ulang setelah melahirkan nanti,” jawab lelaki berkumis tebal tersebut.

Ayah menghela napas panjang, ia mengalah. Lantas, Ayah mendekati kami bertiga. Suasana semakin tegang, wajah-wajah orang yang ada di sini terlihat amat kaku. 

“Jawablah pertanyaan ini dengan sejujurnya, biar semua yang ada di sini tahu kebenarannya. Pertanyaan pertama dimulai dari Ambar.” 

Ayah menatap nanar Mas Ambar, raut kekecewaan terlihat jelas di wajah teduhnya. 

“Benarkah janin yang ada di dalam perut Rika adalah anakmu, Ambar?!” tanya Ayah. 

“Iya, benar anakku.” Mas Ambar pun mengakuinya di hadapan orang banyak. 

Wajahku terasa terbakar api. Sungguh pedih hati ini. Rika melirikku dengan tawa kemenangan. 

“Sudah jelas semuanya, tak perlu lagi menanyai Rika. Itu hanya akan menambah luka hati putriku,” tegas Ayah. 

Betapa kuatnya lelaki yang kusebut Ayah ini, sedari tadi ia menahan bendungan air matanya. Menantunya telah menghamili wanita lain, yang ternyata anak dari musuh bebuyutannya sejak SMA dulu. 

“Dewi kau sudah mendengarnya, bukan? Tentu kau tak ingin dipoligami. Ini belum terlambat, Nak. Lebih baik kau mundur dan mengalah,” jelas Ayah. 

Mendengar perkataan Ayah, jantungku berdetak kencang tak karuan. Ayah, maafkan aku. Air mata kembali membasahi pipi. 

“Tidak, Yah. Dewi tak mau mundur, biarlah poligami. Dewi rela dimadu,” ucapku lantang. 

Sontak saja semua orang membelalak heran. Tak sedih yang menutup mulutnya. Pasti tak ada yang menyangka bahwa dimadu adalah pilihanku. 

“Jangan bodoh, Nak! Banyak di luar sana lelaki yang lebih baik dari dia!” Ayah menunjuk wajah Mas Ambar dengan geram. 

Ayah, maafkan aku. Aku bersalah padamu. Entah harus bagaimana kuungkapkan semua ini. Mungkin memang ini sudah saatnya untuk jujur. Aku gagal jadi putri yang baik untuk Ayah. Penyesalan ini memuncak kala teringat foto mendiang Ibu. Maafkan Dewi, Bu. 

“Dewi sudah hamil tiga minggu, Yah,” isakku lagi. 

“Maafkan Dewi, Ayah,” sambungku. 

Tiba-tiba kepalaku pusing dan mual. Aku kehilangan keseimbangan, pandangan gelap. Setelah itu aku tak ingat apa-apa lagi. 



Bersambung... 

Makin seru nih, tak disangka ternyata si Dewi mengakui bahwa dia juga hamil. 


Komentar

Login untuk melihat komentar!