PETAKA HARI PERNIKAHAN
BAB 1
PETAKA HARI PERNIKAHAN 

PoV Dewi

Hari ini pernikahanku, hari yang membahagiakan untuk melanjutkan kehidupan yang baru. Pelaminan megah nan kokok berbalut warna maroon dan gold telah siap. Dihiasi pula dengan bunga berwarna-warni, serta lampu pijar khusus pelaminan. Acara pernikahanku dengan Mas Ambar sampai malam. Maklum saja, aku adalah anak tunggal. Karena Ibu meninggal saat melahirkanku ke dunia ini. 

Yang kumiliki di dunia ini hanyalah Ayah. Beliau membesarkanku seorang diri, hingga sekarang pun ia tak kunjung menikah lagi. Pria sepuh itu tampak semringah di hari pernikahan putrinya ini. Ayah yang berprofesi sebagai salah satu tenaga pengajar matematika di pondok pesantren, membuat acara pernikahanku bernuansa religi. Tak ada acara musik selayaknya pernikahan biasa. 

Santri Ayah sudah berlatih nasyid beberapa bulan yang lalu untuk memeriahkan acara sakralku ini. Para pemuda itu kini berseragam hijau muda dan dengan memegang alat tabuh masing-masing dan mic. 

Kue tart besar khusus dibuat untuk hari ini. Kue tiga tingkat berwarna putih dan diberi bunga serta pita merah muda menambah anggun kue tart itu. Ya, hari pernikahan ini tepat hari ulang tahunku yang ke-24 tahun. Kubayangkan hari ini adalah hari teristimewa yang takkan pernah terlupakan. 

Aku mengintip semua persiapan hari bahagia ini dari jendela, saat ini tubuhku sudah berbalut kebaya putih dan sudah selesai dihias. Jilbab kombinasi warna putih dan gold juga sudah terpasang, bersama dengan mahkota di atas kepalaku.

Kamar pengantin ini juga tak kalah meriah. Ranjang dihiasi kelambu dengan banyak sekali hiasan bunga menjuntai. Hingga lantai yang diukir dengan kelopak bunga mawar dan melati yang sudah diberi pengawet sebelumnya agar tidak layu semalaman. Hamparan bunga itu bertuliskan namaku dan nama Mas Ambar, yang jika malam nanti akan dinyalakan lilin berwarna merah muda. Sungguh romantis malam nanti, aku tak sabar ingin melaluinya. 

“Mbak Dewi cantik sekali, aslinya saja cantik. Apalagi sekarang,” puji si tukang rias. 

Aku hanya tersenyum malu, memang kata orang diriku ini cantik. Sama persis seperti wajah mendiang Ibu. Wajahku oval, hidung bangir, bibir tipis, bermata bulat dan alisku lebat serta hitam legam. Bahkan, saat ini sama sekali tak dipakaikan pensil alis. 

“Sebentar lagi mempelai pria datang, siap-siap, ya.” Tante Alen selaku tukang rias menyodorkan sepatu untukku pakai. 

“Iya, Tante,” jawabku pelan. 

Dadaku berdebar tak karuan. Sebentar lagi diri ini akan mengubah status diri menjadi istri Mas Ambar. Aku merasa amat beruntung bisa menikah dengannya. Ia baik, tampan, dan juga mapan. Mas Ambar bekerja di perusahaan asing dan menjabat sebagai komisaris eksekutif. 

“Itu rombongan mempelai pria sudah datang,” jelas Tante Alen. 

Aku yang tadi sedang menjelajahi pikiran, kini tersadar. Dada ini kian berdebar kencang, bunga-bunga cinta merekah di rongga dada. Sebentar lagi kebahagiaan nyata akan kureguk. Membina bahtera rumah tangga bersama orang yang sangat kucintai. 

Tim nasyid pun telah mulai bersuara dengan senandung selawat “Ya Habibal Qolbi” untuk menyambut kedatangan Mas Ambar serta rombongan. Senyumku mengembang sempurna, tak pernah ada rasa bahagia yang kurasa sebelum hari ini. 

Acara pun dimulai, beberapa acara yang dipandu oleh pembawa acara mulai berjalan. Tak sabar rasanya menanti acara ijab kabul. Sudah lama kami tak bersua, aku juga sudah satu bulan dipingit di dalam rumah. Kembali terbayang senyum manis Mas Ambar, seketika jiwa ini semakin merindu. 

Teringat kembali kala beberapa bulan yang lalu, saat itu aku dan Mas Ambar makan disebuah kafe di pusat kota. Suasana sore dengan rintik hujan gerimis melanda. Tak terasa dingin, tetapi sejuk. Entah itu karena memang cuaca atau mungkin karena jiwaku saat itu sedang disapa kehangatan cinta. 

“Sabarlah, Sayang. Kita dalam beberapa bulan ke depan akan tak bersua. Namun, itu sebuah pertanda bahwa kita akan selamanya bersama. Nantikan aku datang untuk mengucapkan ikrar suci pernikahan di hadapan ayahmu,” ucap Mas Ambar. 

Perkataannya bak embun yang menyejukkan rongga dadaku. Saat itu aku merasa bahwa sedang jadi wanita paling beruntung di dunia ini. Tatapan Mas Ambar menggambarkan kepastian atas janjinya. Dan hari itu telah datang sekarang. 

Beberapa santriwati masuk ke dalam kamar, menemuiku. Mereka terlihat anggun dengan gamis kebaya yang membalut tubuhnya. Serta hijab panjang yang menutupi dada mereka. 

“Mbak Dewi, ayo keluar. Sudah saatnya ijab kabul,” kata Lina. 

Aku mengangguk pelan. Perasaan deg-degan dan bahagia bercampur jadi satu. 

Empat orang santriwati menuntunku keluar ruangan. Kami berjalan pelan menuju tempat akad. Di sana sudah ada Mas Ambar dan Ayah. Aku duduk di sebelah Ayah, sedangkan Mas Ambar duduk berhadapan dengan Ayah. 

Semakin tampan saja rupanya Mas Ambar. Ia sangat gagah dengan balutan jas hitam itu. Lesung pipinya semakin jelas terlihat kala ia tersenyum. 

Acara akad nikah pun dimulai. Ayah dan Mas Ambar saling berjabat tangan. 

“Ambar Tumenggung, kunikahkan engkau dengan anakku yang bernama Dewi Zahrana. Dengan maskawin seperangkat alat salat dan emas sepuluh gram dibayar tunai.” Ayah dengan lantang mengucapkan kalimat tersebut. 

“Saya terima nikahnya Dewi Zahrana binti Rafif Nurdin, dengan maskawin tersebut dibayar tunai,” ucap Mas Ambar tegas. 

“Bagaimana saksi? Sah?”

“Sah!” Beramai-ramai orang yang ada di sini mengucapkannya. 

Terlihat Mas Ambar tersenyum bahagia. Ia sudah menepati janjinya padaku hari ini. Janji sehidup semati di depan Ayahku. 

Sekarang sah sudah, aku telah menjadi istri dari Mas Ambar. Hatiku bahagia tak terkira. Begitu juga dengan Ayah, beliau sudah menyelesaikan tugasnya sebagai seorang Ayah. Ia terharu saat melepasku. 

Acara akad nikah telah selesai, dilanjutkan oleh pembacaan doa. Kami mengikuti dengan khidmat. Aku berharap doa yang di-aminkan semua orang yang ada di sini terkabul. Semoga kami menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah, dan warahmah. 

“Hentikaaaaan! Batalkan pernikahan ini!” teriak seseorang yang baru datang. 

Ada apa ini? Mengapa ada kekacauan di hari pernikahanku. Siapa gerangan lelaki paruh baya yang berteriak barusan? Banyak sekali pertanyaan dalam benakku. 

Suara teriakan tersebut membuat orang-orang terperanjat sekaligus terdiam seketika.

Datanglah empat orang lelaki dan dua orang perempuan mendekat. Perasaanku tak enak. Mas Ambar terlihat membelalak melihat siapa yang datang itu. Apa mungkin Mas Ambar mengenal mereka? 

“Pernikahan ini tidak sah! Pernikahan ini harus dibatalkan!” pekik lelaki yang lebih muda. 

“Ada apa gerangan? Jangan merusak acara pernikahan anakku! Bicarakan semua baik-baik.” Ayah berdiri sambil mencoba mengendalikan situasi. 

“Kau! Bukankah kau Rafif? Musuh bubuyutanku sejak SMA. Ternyata gadis itu anakmu?” tunjuk lelaki yang kuduga dia adalah ayah dari gadis yang bersamanya. Wajah mereka amat mirip. 

“Ya, aku Rafif! Apa perlumu merusak acara anakku, Bondan?!” Ayah mulai emosi. Dadanya naik turun menahan amarah. 

Entah apa yang terjadi di antara mereka berdua, yang pastinya mereka sudah saling mengenal satu sama lain. Musuh bubuyutan katanya? Aku tidak mengerti. Memangnya apa masalah mereka saat masih muda dulu? Mengapa seseorang yang Ayah panggil Bondan itu ingin merusak pernikahanku? 


Bersambung... 

Komentar

Login untuk melihat komentar!