Happy reading jangan lupa vote bintang lima ❤️❤️❤️
**
Kutatap seluruh sudut kamar tempatku berada saat ini, duduk sebagai pengantin yang sedang menunggu mempelai prianya menghampiri ke peraduan.
Hari ini, dengan ekspektasi malam pertama yang indah selama bertahun-tahun, tampaknya harus kukubur dalam-dalam semua ke'halu'an itu, malam ini, malam
pertama dengan pria yang belum sebulan kukenal, dia Bastian , si banci yang membuatku terpaksa menikah dengannya.
Ingin kutumbuk dan kujemur dia. Kujadikan dendeng lalu kusantap sebagai lauk makan
Aku geram menyadari kini aku terdampar, di kamar tidurku sendiri, sebagai pengantin dengan riasan bold, Henna di jemari dan gaun yang lumayan mewah. Lampu kamar di atur dengan pencahayaan temaram, lilin cantik memendarkan cahaya lembut dari meja rias. Ranjang bertabur kelopak mawar dengan hiasan dua angsa yang saling memadu kasih.
Memadu kasih? Sebentar ... Aku tak akan melakukan itu, bukan? I can't imagine it.
Membayangkan si pria kemayu dengan senyum genit dan jemari lentiknya yang akan menyentuhku, fyuh! Aku bisa kejang.
Tok ... Tok
Ketukan dipintu menyentakkan lamunanku, kubenahi posisi duduk dan segera menurunkan cadar pengantin ke wajahku. Entah mengapa meski dongkol, menghadapi malam pertama ini hatiku berdebar-debar. Apalagi ketika panel kayu itu terbuka dan dan wajah pria itu timbul dari baliknya.
Ia tersenyum lebar dan menghampiriku.
"Hei, masih duduk di situ boneka?" Tanyanya sambil meraih tasnya mengeluarkan baju kaus lalu ******kemejanya.
"Hmm," gumamku.
"Kenapa gak ganti baju?" tanyanya menggoda.
Oh demi Tuhan, apa aku harus berteriak di telinganya jika malam ini aku adalah pengantin.
Seharusnya ia duduk di sampingku, berbicara sebentar dan membuka cadar wajahku namun dia santai santai saja, Mengganti bajunya yang ia gunakan untuk menyambut keluarga lalu beringsut ke kamar mandi, kudengar ia mencuci muka dan menggosok giginya.
Lima menit kemudian ia sudah keluar dari sana sambil mengusap wajahnya dengan handuk kecil dan bersenandung riang.
Bocah tengil.
"Malam ini ... Kita gak ngapa-ngapain 'kan?" tanyaku berhati-hati takut menyinggungnya.
Ia yang sedang berdiri narsis di depan cermin sambil berlengggok-lenggok memutar kiri dan kanan, menatapku sekilas lalu tertawa.
"Emangnya kita mau ngapain, kalo kamu mau bobok, ya bobok aja, aku mau maskeran dulu."
"Oh," jawabku singkat masih dari balik cadar.
"Tunggu dulu ..." Ia menatapku lekat sambil memegangi tube skincarenya.
"Apa?"
"Kita ... Akan melakukan itu ... sesuatu yang romantis?"
"Maksudmu?"
"Yang itu ...." Ia mengedip nakal.
Aku hanya mendengkus kasar melihatnya, kusibak cadar yang membuatku gerah lalu menuju lemari mengambil piyama dan mengganti pakaian ke kamar mandi.
"Romantis apanya ....," sungutku sendiri.
**
Kurebahkan diri di ranjang sambil berkali kali menghela napas panjang. Dan pria itu, duh aku malu menyebutnya suamiku, ia masih asyik mengenakan masker di kaca rias.
Tak lama berselang, ia mendatangiku lalu merebahkan diri di sampingku. Melihat wajahnya yang putih tertutup masker membuatku ngeri.
"Kita akan tidur seranjang?"
"Iya," jawabnya santai, "kecuali, kamu gak suka."
"Iya, aku gak suka," jawabku ketus.
"Hiahaha," ia tertawa renyah lalu bangkit dan menarik bed cover yang kini kukenakan untuk menyelimuti diri.
"Hei, Apa yang kamu lakukan?"
"Kamu bisa tidur di ranjang hangat, sedangkan aku di lantai, bagi-bagi donk, kamu dapat kasurnya aku selimutnya."
"Yang benar aja, ini kamarku!"
Tok tok ...
Ketukan pintu membuat kami terdiam dan saling memandang.
"Eftita, jangan terlalu bersemangat Nak, nanti ranjangnya patah, hihihi ...," kata mami dari balik pintu.
"Iya Mi, Tian bakal pelan-pelan kok, sama istri tersayang," kata Bastian sambil mengedipkan mata padaku.
Jiah, aku mual.
"Baik, jangan dekati aku!" Kataku sengit.
"Dih, pede banget, jijay!" katanya dengan aksen bencongnya.
"Kalo jijik ngapain nikah?"
"Iseng aja!" Ia membentangkan selimut lalu menjatuhkan diri dengan santai diatas salah satu boneka beruangku yang ia ambil dari lemari.
"Itu bonekaku!"
"Yang ngaku ini milik Tian, siapa?" tanyanya cuek lalu memasang headset dan memejamkan mata.
Menyebalkan.
Oh Demi Tuhan, belum satu malam saja aku rasanya sudah tak tahan bersamanya, apalagi seumur hidupku.
"Kenapa KAU kirimkan jodoh semacam ini?" ratapku sendiri membatin pada Tuhan.
Kurebahkan diri meski hati ini dongkol, sembari menarik napas dalam-dalam dan mengingat Kembali peristiwa apa saja yang telah membawaku sampai tersesat sejauh ini, hingga ke pelaminan bersama si Banci.
**
Satu bulan lalu,
Sinar mentari begitu garang dengan hawa yang panas memanggang, aku berdiri di perempatan mengatur lalu lintas dengan seksama. Dua lapis pakaian yang kenakan membuatku semakin gerah ditambah atribut dan topi. Bising kendaraan sedikit membuat telingaku pekak, di jam siang seperti ini, jalanan kota kembali berdesakan, para supir dan pengendara berlomba dan saling mendahului berebut bisa melaju lebih cepat, sedikit lengah bisa terjadi tabrakan beruntun dan tanggung jawabku sebagai pengatur lalu lintas akan dipertanyakan.
Tiba-tiba diantara lautan kendaraan itu, kulihat seorang pengendara yang sedang mendorong motornya dengan payah, kuhampiri ia dan kubantu agar pengendara lain bisa memberinya ruang untuk menepi ke bahu jalan. Kupastikan dari cara ia mendorong dan keringat yang bercucuran di wajah hingga lehernya, pasti motornya tengah rusak.
"Makasih, Bu Polisi," katanya sambil menghempas dirinya ke trotoar jalan mengambil posisi duduk.
"Motormu kenapa?"
"Mogok, gak tahu sebabnya," jawabnya lembut sambil membenahi rambutnya ke belakang telinga.
"Kamu dari mana dan mau kemana?"
"Dari klub, mau pulang," jawabnya.
Melihat gayanya yang kemayu dan sedikit riasan make up di wajahnya membuatku berasumsi negatif.
"Buka jok motornya, saya mau periksa!"
Ia sedikit terkesiap, namun ia tak menolak, masih dengan lesu ia bangkit dan membuka joknya. Ketika dudukan motor itu terbuka, kesimpulanku semakin terkumpul di kepala.
"Kamu jujur sama saya, kamu dari mana?" Selidikku.
"Sa-saya dari klub Mbak," katanya sedikit memundurkan diri.
"Klub apa? Klub malam? Kamu abis mangkal di pengkolan kan, jangan bohong kamu?!"
Ia terperanjat seketika mendengar kata-kataku.
"Eh cyin, saya biar begini-beggini saya orangnya lurus."
"Lurus apanya?!" Kataku sambil melirik sepatu hak tinggi dari dalam jok motornya.
"Eh itu, itu highheel Mamaku semalam dia lupa," jawabnya.
"Jangan alasan, itu bajunya juga,", kataku sambil menunjuk tumpukan baju berbahan brokat berwarna hijau.
"Ini kain menari, lihat nah," katanya sambil membuka kain panjang tersebut.
"Kamu jujur deh, sebelum saya bawa ke Dinsos buat dibina."
"Jujur Apanya, Bu eftita," kataya sambil melirik badge namaku.
"Kalo kamu bencong, yang habis mangkal atau kamu baru pulang setelah kemalaman menarikan tarian India di kondangan."
"Astajim ... Nona, anda merendahkan golongan tertentu," katanya sambil menarik sudut bibirnya memberengut manja.
Ish, ish, ish.
"Saya gak suka dengan orang yang melenceng dari kodrat!"
"Lho ini hidup saya, kok anda baper sih?"
"Baik, maaf, tapi ikut saya ke kantor!"
"Atas tuduhan apa?"
"Nanti saya tentukan."
"Duh ... cyin, jangan bikin ribet deh, ah. Panas tahu."
Aku hanya menggeleng-geleng saja melihat tingkahnya yang kemayu melindungi diri dari panas matahari.
Siapa sangka dia akan menjadi suamiku.