iseng pagi-pagi
Pagi hari, di hari pertama setelah pernikahan
Aku telah siap dan dengan seragam dan siap pergi pekerjaan kantor kulihat Bastian baru bangun dan keluar dari kamar, ia terlihat menguap dan mengucek matanya.

"Duh menantu Mama, udah bangun ya, sini Nak," sapa Mama di meja makan sambil mengisyaratkan agar bencong ganteng mendekat.

Aku lupa menyebutnya suami.

"Iya Ma," dia mendekat.

"Gimana Malam pertamanya?" tanya Mama sambil berkedip mata kepada pada Bastian.

"Lancar Ma, mantap," ucapnya sambil mengacungkan jempol.

"Alhamdulillah berarti mimpi Mama untuk segera menimang cucu akan  segera real menjadi kenyataan," ujar Mama sambil menepuk tangan dengan gembira.

"Apaan sih, Mama?" aku mendelik ke arah wanita yang paling kucintai di dunia itu.

"Ayo, dong siapin makan untuk suamimu bikinkan dia kopi," suruhnya, "Kamu minum apa?" tanya mama yang beralih pada Bastian.

"Aku mau kopi susu aja," ujarnya sambil menatap nakal padaku.

"Bikin sendiri, aku mau berangkat ini udah jam 7.30." aku menunjukkan jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan.

Plak! 

Mama menggeplak tanganku lalu melotot, "Suamimu harus dilayani, dia adalah pemimpin keluarga dan surganya seorang istri, ayo bikin aja kopinya!" Mama berkata dengan ketus.

Kok, aku jadi kayak anak tiri, sih?


Akhirnya dengan langkah yang sedikit malas aku bangkit dan menuju dapur menyeduhkan kopi sesuai pesanannya. Tiba-tiba, jiwa isengku meronta untuk melakukan sesuatu.

Sambil melirik dia yang  menuju kamar seusai mandi, aku memasukkan satu sendok teh garam ke dalam kopi buatanku kemudian aku membawa kopi itu ke atas meja.

10 menit kemudian suamiku keluar, ia sudah rapi dengan kemeja dan celana jeans-nya  menuju meja makan karena dia adalah seorang wirausaha jadi dia bebas mengenakan apapun yang dia inginkan.

"Ini ... ini kopimu Bas," kataku.

Plak!

Sekali lagi Mama nggak menggeplak tanganku membuatku gusar

"Apaan sih Mama, geplak geplok dari tadi," sungutku kesal.

"Sama suami jangan bilang panggil namanya nggak sopan. Bilang Aa, Mas, Abang  atau siapa aja," kata Mama sambil kembali membeliak ke arahku.
Sedang suamiku tertawa terbahak-bahak.

Ia berkedip dengan penuh kemenangan lalu mengambil tempat duduk di sampingku.

"Itu kopinya udah aku siapkan, spesial, coba  aja," kataku sambil mengangsurkan gelas itu ke arahnya.

"Iya." Ia tersenyum gembira lalu mulai menyesap aroma kopi yang tercium begitu menggoda,  ketika mencicipinya, ia melirikku dan Mama bergantian raut wajahnya datar saja sedang mertuanya itu menatapnya dengan tajam dan menunggu apa responnya.

"Gimana Bastian kopi buatan Eftita?"tanya Mama.

"Enak Ma enak banget," ujarnya sambil mengacungkan jempol, "mau coba? Cobain  deh Ma," katanya.


 "Mama cobain, deh," ujarnya yang membuatku panik karena khawatir Mama akan berteriak akibat jiwa isengku.


"Apaan sih mah,  mama gak boleh ambil kopi suamiku," ujarku sedikit merajuk kepada Mama yang membuatnya mengembangkan senyuman.

"Nah gitu dong sayang, sama suami itu sayang,  nggak boleh kasar  nggak boleh membantah."

"Betul itu, Ma," timpalnya.


"Iya Ma, aku tahu aku ngerti kok kalau aku harus berbakti kepadanya, ya kan sayang?" kataku sambil melirik sekaligus mendelik.


"Iya betul itu." Ia tertawa dengan penuh keceriaan.

"Oh ya kamu enggak usah bawa motor sendiri, kamu bisa diantar aja  oleh suamimu ke tempat kerja."

"Nggak usah Ma ... nggak usah," kataku menolaknya dengan cepat.

Aku malu dengan teman-temanku karena harus berjalan dengan pria setengah jadi tentu saja mereka  akan menertawai karena selama ini kriteria Aku sangat rumit tentang pria idaman.

"Enggak apa-apa loh, gak.merepotian kok,  kamu kan istriku," ujarnya kepadaku sambil menatap Mama.

"Ikuti apa kata suamimu!" Mama menunjuk ke arahku dengan tegas.

Aku hanya mendengus kesal lalu mengembalikan kunci motor kepada Mama.

"Iya deh aku berangkat bareng Bastian," ujarku dengan nada rendah.


"Ya hahaha." dia tertawa penuh kemenangan.


*

Setelah berpamitan dan mencium tangan Mama kami masuk ke dalam mobil dan perlahan kendaraan itu bergerak meninggalkan halaman rumah, lambaian tangan Mama masih terlihat dari spion dan aku membalasnya dengan senyuman dan lambaian kecil.

"Kamu puas kan udah bikin aku dimarahin Mam" kataku sambil mencubit tangannya.

"Nggak puaslah Cyin ...
Kamu udah nambahin garam dikopi Aku,  dan aku nggak ngasih tahu Mama lho."

"Itu akibat karena kamu udah nyuruh aku."

"Ya ampun tugas istri itu kan bikinkan kopi suami, Aku kan nggak minta  disiapin air mandi, atau sampai dimandikan,"   katanya dengan gaya melambainya memainkan tangan yang benar-benar membuatku memutar bola mata.

"Nanti siang aku jemput ya," tambahnya.

"Gak usah aku naik taksi online."

"ayo ... masih mau membantah dengan suami,"  ucapnya sambil berkedip-kedip manja

Aku hanya mampu menggumam dengan gemas dengan sikapnya yang benar-benar genit.

Plak

Aku metonjok lengannya
"Auw sakit ouw mamiiii ... duh ...." 
Dia mengaduh kesakitan.

"Kamu perempuan atau tukang pukul? sakit banget cyin," keluhnya.

"Kamu nggak tahu kalau beristri polwan itu sesuatu yang sangat beresiko?"

"Iya ... iya tapi aku kan nggak bersalah, Aku bukan samsak Cyin, ya ampyuun." Ia memegang kepalanya dengan aksen sangat menggelikan..

"Mulai hari ini kamu adalah samsak tempat untuk Aku latihan tinju."

"Aih,  jangan dong aih ...aih ...aih ...." Bibirnya  yang lentik membuatku ingin mengguntingnya inginku pukul-pukul dan melampiaskan kekesalanku namun tak lama kemudian mobil itu berhenti tepat di depan gerbang kantor Polresta kota.

"Aku turun dulu ya aku pergi," ujarku sambil mengambil tas

"Kamuupa sesuatu kayaknya," ujarnya sambil menunjuk dan memainkan jemarinya yang lentik.

"Lupa apaan?"

"Cium tangan suami," katanya sambil menyodorkan  yang kuku yang sudah di treatment dengan manicure.

"Nggak mau males."

"Kamu Malu ya, karena tangan kamu nggak secantik tanganku?" godanya membuatku benar-benar murka.

"Iya aku malu-malu dengan semua hal tentang  kamu!" Kataku lantang tapi tak bermaksud menyakitinya.

Tapi.yiba-tiba raut wajahnya berubah, senyumnya memudar lantas ia menunduk dan membuat aku menjadi tidak enak karena ucapanku barusan.

"Maaf ...." kataku pelan.

Ia tidak menjawab sedikitpun.

"Ya udah sini aku cium tangannya," kataku sambil meraih tangannya lalu mencium tangan itu kemudian aku keluar dari mobil dan malambai padanya.

"Love you .. mmuah," bibir itu mengerucut membuatku gemas.

Mobil merah itu kemudian meluncur menuju cafe sekaligus sanggar tari miliknya dimana ia mencari nafkah sekaligus mengembangkan bakat dan menularkannya kepada siswa tari yang belajar di sana.




Komentar

Login untuk melihat komentar!