Aku Lelah


Hari keempat belas Romadhon.

Sore yang indah. Shaina menjangkau tubuh mungil Affan yang tampak bergerak cepat ingin digendong. Hari ini seperti biasa, Shaina sudah selesai masak sederhana tapi sehat. Bening bayam dan goreng hati ayam kampung. Tak lupa juga dia masak kolak kesukaan Bapak. Kolak pisang dan kolang Kaling. 

Bagaimana bisa lupa akan kesukaan Bapak mertuanya, sejak menikah dengan Ikbal setiap bukan Romadhon, Shaina lalu diminta membuat kolak sama bapak mertuanya yang baik hati. Shaina tidak pernah menolak, tahu kalau beli diluar Bapak tidak akan menghabiskannya. Sering Bapak memuji masakan Shaina yang memang lezat.

Affan tampak segar dan lucu. Memakai stelan kaos bayi panjang  warna biru langit dengan rambut klimis dan harum minyak telon membuat siapapun akan merasa gemas dan terpanggil untuk mencium dan menggendongnya. Dengan ringan Shaina melangkah sambil menggendong bayinya.

Berjalan menyusuri rumput di halaman belakang rumah yang cukup luas dengan aneka macam tumbuhan yang terdiri dari berbagai jenis bunga dan beberapa pohon pelindung, membuat suasana di halaman belakang memang sangat nyaman, terlebih di sore hari dengan angin sepoi-sepoi dan hamparan langit biru yang sebentar lagi berubah keemasan.

Shaina terus melangkah menyusuri rerumputan hijau. Sesekali menunjuk aneka bunga yang tampak berseri di senja hari. Dia Tampak sangat menikmati senja dengan Sang buah hati. Bukankah hidup harus disyukuri. Bukankah apapun kesedihan jika dihadapi dengan ikhlas akan terasa lebih enteng. 

Lupakan kenangan tentang Ikbal yang selama ini sering menemaninya berjalan menyusuri kota di senja hari atau sekedar menemaninya berjalan di area persawahan yang dekat dengan tempat tinggal mereka.

Kenangan tentang Ikbal memang manis. Ikbal sempurna sebagai seorang suami dan ayah, sayang dia melakukan nya bukan atas dasar cinta, melainkan hanya semata kewajiban yang harus dijalani saat dia telah memilih menjadi seorang suami. Mata Shaina mengerjap lirih, setegar apapun dia mencoba kuat tapi terkadang rasa sakit itu masih hadir mengelus kesendiriannya.

"Hai, Sayang." Shaina sedikit terperanjat. Panggilan Ikbal yang riang dari arah pintu belakang membuat langkahnya terhenti. 

"Anak Papa lagi lihat apa, sih?" tanyanya mendekati Shaina dan Affan. Memasang wajah manis. Sepertinya dia baru pulang kerja, masih memakai kemeja tanpa dasi dan celana bahan. Tampan sekali.

"Sayang, nanti Papa beliin baju baru. Anak Papa harus ganteng di hari raya." Ikbal mengedipkan matanya ke arah Affan masih memamerkan senyum manisnya.

"Dek, nanti kita ke toko baju buat belanja. Mas, mau belikan kamu dan Affan baju baru buat lebaran." Ikbal menatap wajah Shaina.

"Tidak usah, Mas. Aku belanja online saja." Shaina menggeleng 

"Tapi kamu bisa memilih baju kesukaan di sana. Biar puas, Dek."

"Ah." Shaina mengalihkan tatapannya ke arah bunga Soka yang tumbuh indah di pojok halaman.

" Mau kan, Dek?"

"Baiklah, Mas."

" Besok hari libur, Mas antar kamu keliling kota sepuasnya."

Shaina tidak menjawab. Tatapannya terbang ke arakan Mega yang mulai menguning 

Ah, seandainya Lastri tidak hadir di pernikahan dirinya dan Ikbal, dia mungkin sudah merasa menjadi wanita paling bahagia. Desah hati Shaina, sendu.

***

Ikbal menepati janjinya. Hari ini dia bersiap mengantar Shaina membeli perlengkapan lebaran di toko khusus perlengkapan bayi di kotanya. 

Subuh sehabis sahur, dia sudah mengirim pesan WA memastikan kalau dia akan mengantar Shaina.

"Oke, Dek. Siap-siap jam delapan, agar hari belum panas." Pesannya yang dijawab Shaina dengan pendek, Ya.

Sebetulnya Shaina malas, mengingat semalam Ibu sudah menyindirnya terus saat berpapasan di teras paviliun saat Shaina menyiram bunga. 

" Sudah ditalak, tapi masih nyusahin.  Harusnya kamu sedikit mikir kalau Ikbal itu sudah milik Lastri sepenuhnya. Kaya, cantik juga terpelajar." Ibu menyindir dengan mimik yang sangat tidak ramah.

"Kalau Ibu mau, suruh Mas Ikbal meminta saya pergi dari rumah ini. Detik inipun saya bawa Affan pulang ke rumah Mama," jawab Shaina tegas dan mampu membuat wajah Ibu keruh.

" Harusnya Ibu yang rajin pergi ngaji faham saat kata talak terucap tidak serta Merta Mas Ikbal bebas dari kewajiban menafkahi dan memberi tempat tinggal, apalagi saya punya bayi. "

Ibu melengos.

"Kamu jadi pandai bicara, Shaina."

"Karena ibu juga harus mengerti kebenaran."

"Huh." Ibu tampak kesal. Dengan langkah lebar meninggalkan Shaina yang masih memegang ember menyirami bunga-bunga yang hampir kering. Lastri mana perduli dengan segala hal seperti ini , kerjaannya main hape dan belanja. Paling banter, teriak -teriak minta suaminya mendatangkan Asisten rumah tangga. 

Terhitung sejak Ikbal menikahi Lastri, dua orang sudah Asisten rumah tangga,  yang sempat bekerja di rumah Ibu dan dua-duanya kabur di hari kedua dan keempat karena tidak tahan dengan kecerewetan Lastri dan Ibu. Duo kuntilanak itu memang kompak dalam urusan menyakiti perasaan orang lain, dan ini membuat Bapak murka dan melarang Ibu mencari lagi Asisten rumah tangga baru.

" Dek." Ketukan di pintu kembali membuyarkan lamunannya.

Shaina perlahan beranjak mendekati pintu dan membukanya. Dengan gamis biru langit dengan hijab senada tampak Shaina manis sekali. Ikbal tampak sedikit mematung, meneliti wajah Shaina yang disapu riasan natural tapi cantik.

"Kenapa, Mas?" tanya Shaina tak enak hati. Pandangan Ikbal tak seperti biasanya.

"Oh iya, anu...Affan sudah siap?" Ikbal terlihat salah tingkah.

"Sudah, Mas. Dia senang diajak Papanya. Mas, kan akhir-akhir ini, sibuk dengan Mbak Lastri. Tapi tak mengapa, Mas. Aku mengerti kamu bukan milik kami lagi."

Ikbal tersenyum pahit. Ada rona bersalah di wajahnya.

"Ayuk, Dek. Mas tunggu di mobil."

"Baiklah." Shaina mengangguk, bersiap masuk kembali ke dalam kamar untuk menggendong Affan.

"Ikbal, tunggu." 
Sebuah suara yang sangat dikenal Shaina memaksanya menoleh. Ibu menyusul Ikbal ke paviliun.

" Antar Lastri, melihat mobil baru. Tadi Papanya menelepon, agar mobil lama Lastri diganti yang baru." Ibu menjelaskan.

"Maksud, Ibu?"

"Kamu antar istrimu ke dealer. Istri sulthonahmah kepengen ganti mobil juga tinggal ngedip."

" Kok, mendadak."

"Papanya barusan telepon sudah transfer sekian ratus juta,"kata Ibu bangga.

"Memangnya menantu kere, apa-apa harus menunggu lama di buat beli sesuatu. Jangan-jangan sampai kiamatpun kagak jadi beli gegara gak ada duit. Hihi."

"Lagian mantu kere dan mantu sultonah itu beda banget. Ibarat mutiara dan pasir, jelas gak level." Lanjut Ibu makin tajam.

" Jangan begitu, Bu." Ikbal memotong. Shaina yang baru keluar dari kamar dan menggendong Affan, hanya memalingkan wajah dan bersiap kembali ke dalam kamar. Wajahnya tampak mendung, membuat Ikbal. Maafkan Ibu, Dek. Batin Ikbal penuh penyesalan.

" Tunggu, Dek." Ikbal memanggil Shaina.

"Pergilah, Mas. Betul kata Ibu, aku ibarat pasir, gak penting." Suara Shaina terdengar lirih.

"Jangan dengarkan, Ibu. Ayok kita pergi. Biarkan Lastri menunda rencananya, tunggu aku sehabis mengantarmu." Ikbal menggamit tangan Shaina.

" Ikbal?"

Mama tampak protes.

"Mana mungkin Lastri yang harus menunggu? Kamu waras Ikbal?" Mama mendelik.

"Aku sudah janji dari kemarin dengan Shaina. Bilang sama mantu kesayangan Mama, aku bosan dengan sikapnya yang manja."


"Ikbal? Dia mantan kamu kan? Kenapa kamu selalu bersikap dingin akhir-akhir ini?" Ibu terlihat geram.

"Aku tidak mau Lastri ngambek dan uring-uringan. Mana dari semalam gak mau makan, gegara masakan Mama karanya keasinan. Ayolah Ikbal, bujuk dia...Mama takut kenapa-kenapa sama mantu kesayangan Mama. Kalau dia sakit atau ngambek bijimane Bal?"

"Dia bisa menunggu, Ma. Lagian aku gak lama nganter Shaina."

" Dia maunya sekarang. Dari tadi sudah merajuk." Mama bersikeras.

"Lagian, dulu kau cinta mati sama dia, kenapa sekarang berubah, hah?" Mama menutup bicaranya yang sudah kayak gerbong KRL panjang dan merepet.

" Dulu memang Lastri mantanku, tapi menikahinya bukan sepenuhnya keinginanku, Ma. Jadi, bilang berhentilah bersikap manja dan lebay, aku lelah..."

"Ayok, Dek. Kita pergi."

"Ikbal?"Ibu melotot.