Sahur kali ini terasa berbeda dan lebih sunyi dari biasa, meski pun di luar terdengar riuh oleh teriakan, dan suara orang menabuh panci membangunkan warga untuk sahur.
Dulu ayah juga sering berkeliling untuk membangunkan warga dan pulang setelah menjelang makan sahur. Setiap ada rombongan ngarak sahur yang lewat di depan rumah, kami bertiga akan berlarian ke ruang tamu, mengintip dari balik jendela apakah rombongan ayah yang lewat atau bukan.
Sekarang kami seolah tuli, mendengar suara rombongan ngarak sahur lewat di depan rumah, kami tetap duduk dan makan sahur dengan tenang.
Dari ujung mata aku mencoba mencuri pandang wajah ibu dan kedua adikku, melihat apakah masih ada bulir air mata yang jatuh di pipi mereka, ternyata air mata itu sudah kering tertumpah habis saat pemakaman ayah. Hanya gelagat Riki yang masih tak biasa, ia mengambil sebuah piring dan gelas kosong. Menyisihkan nasi, lengkap dengan sayur dan lauknya, ia juga mengisi gelas dengan air yang penuh.
“Riki, jangan main-main dengan makanan, pamali!” tegur ibu, mengambil alih piring dari tangan Riki.
“Dede lagi pisahkan makanan buat ayah, nanti siang Dede mau antarkan. Kasian ayah tidur sendirian dalam tanah, kelaparan.” Jelasnya panjang lebar tanpa dengan wajah menunduk.
Aku yang mendengar penjelasannya tersentak kaget. Kulihat wajah Riki dan ibu bergantian, masih terlukis mendung di sana.
Ibu terdiam beberapa saat memperhatikan wajah Riki yang mulai terlihat mendung.
Ibu menarik nafas panjang dan berkata “Cepat habiskan makanannya, pulang dari masjid kita mampir ke makam ayah.”
Rini yang sedari tadi diam, tiba-tiba ikut bicara. “Rini ikut, Bu,” ucapnya sendu.
“Iya, semua boleh ikut melihat ayah, tapi sekarang cepat habiskan makanannya, sebentar lagi masuk waktu imsak,” perintah ibu.
Ternyata semua masih sama. ibu, aku, Rini dan Riki masih sama-sama belum bisa menerima kepergian ayah. Kami hanya berpura-pura tenang untuk menguatkan satu sama lain. Berpura-pura untuk menutupi kesepian di hati kami. Ketenangan yang di tampakkan hanya sebentuk kebohongan agar tidak melukai hati yang lain.
“Buruan mandi dan jangan lupa gosok gigi yang bersih. Kita salat subuh dan tadarus di masjid, nanti sebelum pulang, kita mampir ke makam ayah,” Pesan ibu
Kami bergegas masuk ke kamar mandi, berebut ingin jadi yang pertama selesai agar tidak membuat ibu lebih lama menunggu. Dulu kami selalu bersama ayah ke masjid, ibu hanya salat di rumah.
Pulang dari masjid, ayah akan mengajak kami menghapal surah-surah pendek, katanya agar saat salat kami tidak hanya membaca Al Fatihah dan Al Ikhlas saja. Aku tertawa sendiri mengingat kejadian itu, ucapan ayah seolah menyindirku, beliau tahu kalau aku salat sendirian hanya membaca surah Al Fatihah, Al Ikhlas dan Al’Ashr.
Sepanjang perjalanan menuju masjid, ibu berpesan pada Riki agar masuk di barisan shaf laki-laki paling depan, tidak boleh menangis apalagi mencari ibu sehingga masuk ke dalam shaf perempuan.
Ibu bilang jika Riki tidak mau menurut dan menangis, berarti dia anak cengeng yang belum dewasa, tidak bisa seperti ayah. Jika masih tetap ngotot masuk barisan shaf perempuan, ibu akan belikan hijab untuk Riki pakai saat lebaran nanti. Aku dan Rini tertawa mendengar ancaman Ibu, sedangkan Riki Cuma mendengkus kesal.
Meskipun keberatan dengan perintah ibu, tapi Riki tetap anak yang penurut, ia masuk di barisan shaf laki-laki, tapi bukan paling depan melainkan shaf paling belakang. Aku, Rini, dan Ibu tertawa melihat Riki mengintip kami dari balik tirai. Berulang kali ibu memintanya pindah ke barisan shaf yang ada di depan, tapi ditolak Riki dengan alasan shaf depan isinya kakek-kakek semua, dan kalau ia ikut salat di barisan shaf depan akan terlihat seperti kakek-kakek juga.
Pulang dari masjid tidak lupa kami mampir ke makam. Sudah tiga hari ayah tidur di tanah merah itu, tetapi baru hari ini kami datang melihat ayah lagi. Ibu membaca surah yasin, aku, Rini dan Riki hanya berjongkok di samping makam, merapikan bunga-bunga kering yang bertebaran di atas pusara Ayah.
“Hari ini Ida datang membawa anak-anak melihat mas, maafkan Ida kalau nanti tak sempat kemari lagi,” ucap ibu sambil mengusap batu nisan.
"Ida dan anak-anak harus pindah, kami tidak bisa tinggal di rumah itu lagi. Untuk sementara Rika, Rini, dan Riki dititipkan di rumah mama, menunggu sampai Ida punya penghasilan, dan mampu mengontrak rumah sendiri.
"Tolong doakan Ida bisa menjaga Anak-anak dengan baik ya, Mas."
Kulihat ibu menyeka air mata, entah apa yang membuat ibu semakin sedih, kalau ibu khawatir tidak bisa melihat ayah lagi, sepertinya terlalu berlebihan. Rumah mbah uti tidak terlalu jauh dari sini, kami bisa kapan saja melihat ayah, menggunakan angkot atau minta diantar om Hendro.
Kugenggam tangan ibu, melalui sentuhan ingin aku sampaikan bahwa semua akan baik-baik saja, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Tinggal di rumah mbah uti bukan hal yang buruk.
Mbah uti memiliki rumah yang sangat besar, banyak kamar kosong yang bisa di pakai, karena mbah Uti tinggal seorang diri. Tidak masalah kalau lebaran nanti kami berempat harus berbagi kamar, sebab setiap tahun, menjelang lebaran, semua keluarga pasti berkumpul di rumah mbah Uti.
“Kita pulang, Bu!" ajakku.
Ibu mengangguk, memanggil kedua adikku yang ternyata sudah lari entah kemana, asik bermain-main di area pemakaman sampai tak mengingat waktu untuk pulang. Mereka datang dengan tubuh yang di penuhi tanah. Baju yang tadinya putih, berubah warna menjadi kecoklatan, seperti baru keluar dari dalam berlumpur.
“Ibu jangan marah, Dede udah besar sama macam ayah. Tak boleh marah Dede depan orang.” Riki berkilah, saat melihat wajah ibu mulai mengeras. Pandai sekali anak ini mengelak dari amarah ibu.
“Badan cuma seinci, mengaku besar macam ayah? Jari kelingking Mbak saja lebih tinggi dari Dede,” ledekku, menunjukkan jari kelingking pada Riki.
“Oooh, Mbak lupa tadi waktu kita mau ke masjid ibu bilang apa? kalau Dede salat di bagian shaf laki-laki artinya Dede udah dewasa dan besar macam ayah.” jelasnya, mencoba mengingatkanku akan obrolan sepanjang perjalanan ke masjid tadi.
“Dede masuk shaf belakang, yang ibu mau Dede di shaf depan,” Ledekku lagi
“Shaf depan tak ada anak kecil, semua datuk yang sudah tumbuh janggut. kalau Dede masuk shaf depan, selesai salat tumbuh janggut macam mana?” tanyanya merajuk.
“Berarti Dede udah jadi datuk, nanti dipanggil datuk bukan Dede lagi,” celetuk Rini.
“Mana boleh Dede jadi datuk, umur Dede baru … satu, dua, tiga tahun.” Jawabnya sambil mencoba menghitung dengan jari.
Mulutnya mengatakan tiga tahun, tetapi yang ia tunjukkan empat jari tangan kanan.
Kami semua tertawa mendengar kekesalan yang ia tumpahkan. Raut muka ibu yang tadi tampak kesal berubah cerah, tertawa melihat tingkah Riki yang tak mau kalah dan sok tua.
“Ayo pulang, matahari sudah tinggi,” ajak Ibu. “Datuk Riki jalan di depan dengan Mbak Rika, jangan lari-lari nanti jatuh.’’
Aku dan Rini yang mendengar panggilan Ibu untuk Riki, tertawa keras sampai sakit perut. Riki memasamkan muka merasa kesal dipanggil datuk. Ia menunjukkan kepalan tangan pada Rini yang masih tertawa terpingkal-pingkal.