Mobil pengangkut barang sudah datang, sebagian kursi, meja dan lemari sudah di angkut pemiliknya. Tersisa tempat tidur, serta beberapa kursi kecil, dan beberapa barang dapur yang masih menunggu giliran untuk diangkut.
Ibu memang menjual semua isi rumah, karena tidak mungkin kami pindah ke rumah mbah uti dengan membawa perabot yang besar-besar.
"Mau di letakkan di mana semua meja, kursi, dan lemari? Rumah mbah Uti memang besar, tapi isi perabotnya juga banyak. Daripada menumpuk lebih baik dijual saja, bisa menghasilkan uang untuk pegangan kita beberapa hari ke depan." Begitulah kata ibu, saat aku bertanya kenapa menjual seluruh isi rumah.
Melihat rumah ini, rasanya sudah tidak sama lagi seperti kemarin. Sebagian ruangan sudah kosong, sebagian lagi tampak masih ada kardus yang berjajar dan tersusun rapi. Di sudut lain tampak beberapa keranjang yang terisi penuh dengan mainan milikku, Riki, dan juga Rini.
Aku pergi ke halaman belakang, di sana masih tampak rimbun pohon singkong yang sempat di tanam ayah beberapa minggu lalu. Hari terakhir saat ayah masih terlihat segar dan sehat, sebab setelah hari itu ayah mulai menderita yang akhirnya harus membuat ayah menyerah kalah pada penyakitnya, berpulang ke rahmatullah.
Kenangan keluarga kami di rumah ini tidak akan pernah aku lupakan. Kenangan tentang ayah dan tentang masa kecil kami bersama. Di rumah ini kami pernah menikmati masa kecil yang bahagia, pernah memiliki ayah terhebat di seluruh dunia, pernah merasakan keindahan utuhnya sebuah keluarga. Aku pasti akan merindukan rumah ini.
Sedang asyik mengumpulkan serpihan hari-hari bahagia kami di rumah ini, tiba-tiba aku mendengar suara mbah uti dan tante Lis yang beradu dengan teriakan ibu. Entah apa yang mereka ributkan, tapi suara mereka terdengar begitu menakutkan di telinga, ada bentakan, kutukan, dan sumpah serapah.
Riki dan Rini menangis berpelukan dan berlari menghampiriku, aura ketakutan terpancar dari wajah polos mereka.
Pasti mereka takut melihat pertengkaran yang terjadi antara ibu, mbah uti dan tante Lis, pikirku.
Sudah biasa jika mbah uti atau tante Lis datang dengan membawa suara petir mereka.
Kubawa Rini dan Riki duduk di antara rimbunnya pohon singkong, mencoba mengajak mereka bermain, mengalihkan perhatian dari keributan yang terjadi di ruang depan.
“Dede, takut apa?” tanyaku perlahan.
Rini yang mendengar pertanyaanku menjawab lirih. “Mbah Uti marah sama ibu, tante Lis juga ikut marah.”
“Mbah Uti baru datang, kenapa marah?" tanyaku penasaran.
“Tak tau, tiba-tiba mbah uti teriak gini ‘aaaaahhh … ’ sambil tunjuk-tunjuk ibu.” Jelas Rini seraya berdiri sambil berkacak pinggang, memperagakan bagaimana mbah Uti berteriak dan marah pada ibu.
“terus, kenapa Rini dan Dede nangis?”
“Rini kaget dengar suara mbah Uti teriak, besar macam harimau. Kalau dede, tak tau kenapa menangis,” jawabnya santai.
Kesal mendengar jawaban Rini yang tak sesuai dugaan penyebab ia menangis membuatku mengalihkan pertanyaan pada Riki.
“Mbak Rini nangis sebab takut dengar suara mbah Uti yang besar, kalau Dede, kenapa menangis?”
“Dede liat Mbak Rini menangis, Dede ikut nangis juga,” jawabnya sembari mengorek-ngorek tanah dengan potongan kayu kecil.
“jadi … Dede nangis cuma gara-gara ikutan Mbak Rini?" tanyaku kesal, menatap Riki yang memandangku tanpa dosa.
“Iya, kasihan mbak Rini nangis sendirian,” jawabnya asal.
Aku menghembuskan nafas kesal, ternyata penyebab Riki menangis cuma gara-gara ikutan Rini. Entah kenapa anak berdua ini suka sekali membuat orang khawatir dengan ulahnya.
“Mbak masuk ke dalam dulu ya, liatin ibu. Kalian berdua main di sini, jangan bertengkat dan jangan masuk ke dalam!” Perintahku pada mereka berdua sambil membersihkan bagian belakang bajuku yang kotor terkena tanah.
Masuk ke dalam rumah, masih terdengar suara mbah uti yang memarahi ibu, sedangkan tante Lis tampak sibuk melipat pakaian Rini dan memasukkannya ke dalam tas. Aku berjalan mendekati ibu yang sedang membereskan beberapa buah buku dan duduk di pangkuannya.
Wajah ibu terlihat mendung, tertutup kabut tebal saat dimarahi oleh mbah Uti. “Ibu, kenapa sedih?” tanyaku.
“Ibu nggak apa-apa, Nak.” Jawab Ibu pelan, tapi dengan suara serak, menahan tangis.
Wajah mbah uti tampak sangar, membongkar semua pakaian yang sudah ibu susun di dalam tas.
“Kau serahkan saja Rini pada Lilis, jangan sok merawat semua anakmu jika kau saja tidak punya kemampuan,” gerutu mbah Uti. “Rika biar ikut Mama, kau bawa Riki saja. Cukuplah kau besarkan dia, tak perlu mengasuh anak perempuan. Lanjut mbah uti sambil mununjuk-nunjuk muka ibu.
“Benar itu, Dah,” sela tante Lis. “Daripada kau repot mengurus ketiga anakmu, Biarkan saja Rini ikut aku dan Rika ikut mama!”
Ibu cuma terdiam, sepertinya enggan untuk menuruti permintaan mbah uti dan tante Lis, tapi ibu juga tidak mau beradu urat dengan mereka.
Aku tahu, hal ini pasti sangat sulit untuk ibu, dipaksa berpisah dengan anak-anaknya, apalagi ibu sudah berjanji di depan makam ayah akan menjaga kami dengan baik.
“Kau, jangan macam orang bisu, tunduk muka dalam-dalam tak bersuara! Tak kau hormati aku sebagai mertua?” tanya mbah uti dengan suara keras.
Ibu menarik nafas panjang dan menghembuskannya dengan kasar. garis wajahnya menegang pertanda menahan amarah yang membuncah sampai ke ubun-ubun. Aku terdiam, masuk semakin dalam ke pangkuan ibu, takut mbah uti akan membawaku pulang ke rumahnya hari ini.
“Mama dan Lilis tidakkah terlalu dzalim padaku? Baru berapa hari mas Anto meninggal, Mama dan Lilis sudah berniat memisahkan Ida dari anak-anak!” balas ibu dengan suara bergetar. Matanya merah menahan tangis dan marah.
“Ida janji akan rawat anak-anak dengan baik, Ida cuma titip anak-anak sebentar sampai punya cukup uang buat bayar kontrakan rumah. Tidak akan Ida susahkan mama dengan tanggung jawab sebagai orang tua," lanjut ibu, mengusap air mata yang akhirnya tertumpah.
“Kalau sampai Lebaran nanti kau tak pulang menjemput anak-anakmu, jangan salahkan Mama kalau kau cuma bisa bertemu Rika!" ancam mbah Uti pada ibu. Matanya melotot tajam, membuat wajah mbah tuanya terlihat semakin mengerikan.
‘Pantas saja Rini takut, wajah mbah Uti menakutkan.’ Batinku
Mbah uti mengajak tante Lis pulang sambil tetap mengomeli ibu tanpa henti, sementara tante Lilis terlihat sangat kecewa. Dikeluarkannya kembali semua baju-baju Rini yang tadi sempat dimasukkan ke dalam tas.
Sepulangnya mbah uti dan tante Lis, rumah kembali menjadi sunyi. Keributan yang tadi sempat memancing rasa ingin tahu, menguap entah kemana, kejadian tadi membuatku merasa sedih dan mendapatkan satu gambaran lagi, tentang nasib seorang anak yatim.
Anak yatim yang terlahir dari orang tua miskin, tidak akan disukai semua orang, dan hanya dianggap sebagai beban. Aku mulai mengerti kenapa saat di makam ayah kemarin, ibu merasa sedih jika kami harus pindah ke rumah mbah Uti.
Jika benar kami harus berpisah nanti, berapa lama kami akan terpisah? Bagaimana caranya agar bisa berkumpul kembali? Apa yang harus aku lakukan agar kami tetap bersama? Semua pertanyaan ini mendadak memenuhi pikiranku.
Aku tidak ingin kami berpisah, biar pun kami harus tinggal di gubuk tidak apa-apa, asalkan tetap bersama. Kini tak hanya ibu, aku juga turut merasa sedih.
Bagaimana nasib Riki dan Rini kalau harus tinggal bersama orang lain? Mereka masih kecil dan sangat manja, apa ada orang yang mau menjaga dan memanjakan mereka dengan kasih sayang seperti ibu? Walaupu jarang menangis, tapi Rini sangat penakut, begitu pun Riki, sangat pemarah dan keras kepala. Apakah ada yang bisa bersabar dengan perangai mereka berdua?
Apa Rika sudah gagal menjaga keluarga kita, yah? Apakah Rika sudah membuat kecewa ayah dan ibu, karena tak bisa membantu meringan beban keluarga? Apakah Rika sudah gagal menjadi anak tertua kebanggan ayah? Tanyaku dalam hati.