Rumah besar nan megah yang ada di hadapan kami, tertutup rapat oleh pagar yang sangat tinggi. Pohon-pohon bunga berwarna warni, tumbuh subur menghiasi taman. Di sisi bagian kanan, tampak sebuah ayunan yang biasa aku pakai bermain dengan para sepupu. Di sisi kiri, berjejer rapi pohon mangga dan jambu air dengan daunnya yang rimbun.
Ibu memencet bel beberapa kali, tak lama kemudian tampak Bude Asih keluar dari pintu samping. Dengan tergesa-gesa ia membukakan pintu pagar untuk kami.
“Maaf, Mbak Ida, tadi Bude lagi masak buat Ibu,” Jelas Bude Asih.
“Nggak apa-apa Bude. Kami angkut sisa barang ....” bimbang Ibu meneruskan, khawatir Bude Asih tidak tahu kalau kami pindah kemari.
“Udah ditunggu ibu dari pagi, ayo masuk,” ajak Bude. “Ibu bilang, sisa barangnya taruh saja di gudang biar nggak numpuk di dalam.”
“Iya, Bude, makasih,” jawab ibu pelan.
Bude Asih membantu membawakan barang-barang kami yang tidak seberapa. Selain baju, dan peralatan sekolah, barang-barang yang lain semuanya di simpang di gudang.
Tidak ada barang berharga yang kami bawa, selain sedikit barang pecah belah yang biasa kami gunakan di rumah dan foto keluarga, satu-satunya harta berharga yang kami punya.
Aku menggandeng Riki masuk ke dalam menyusul ibu, sedangkan Rini berlari ke arah pohon jambu yang sedang berbuah lebat. Bagaikan anak monyet, Rini lincah memanjat dan memetik beberapa buah jambu, memberikannya padaku juga Riki.
“Mbak Rini, jambu Dede Cuma dua?” bisik Riki. Takut suaranya terdengar orang lain.
“Tak boleh ambil banyak-banyak, nanti mbah uti marah,” balas Rini, juga sambil berbisik.
“Mau makan di mana? Kalau di dalam ketahuan mbah uti?” aku ikut bertanya.
Mbah Uti memang marah kalau kami memetik buah yang tergantung menggoda di pohon. Bukan pelit, tapi mbah Uti khawatir kalau kami memanjat pohon dan terjatuh. Kalau ingin makan, biasanya mbah Uti atau orang lain yang lebih tua mengambilkannya untuk kami.
“Makan di ayunan, yuk!" ajak Riki. “Dede biasa sembunyi di ayunan, Mbah uti tak tau," jelasnya lagi.
Bersembunyi dan makan buah hasil memetik diam-diam tanpa izin, sudah sering kami lakukan saat berkunjung ke rumah mbah uti. Esok dan ke depannya, pasti akan sering kami lakukan. Hiburan yang menyenangkan di rumah mbah Uti adalah makan secara sembunyi-sembunyi.
Kenapa makan saja harus bersembunyi seperti maling? mbah uti sangat ketat dan disiplin. Semua kegiatan ada jadwalnya, dan tidak boleh dilanggar. Bangun harus pagi, terlambat sedikit disiram menggunakan air dingin. Makan harus sesuai jam, kalau terlambat tidak akan ada makanan yang tersisa bisa dimakan. Ketahuan makan sebelum waktunya? Bersiaplah dengan hukuman menghadap tembok, berdiri dengan kaki satu selama 30 menit.
Peraturan yang ketat di rumah mbah uti tidak membuat semua cucu-cucunya patuh. Hampir semua cucunya melakukan hal yang sama seperti kami, makan secara bersembunyi. Dari cucu paling kecil, sampai cucu yang sudah besar, tak luput bersembunyi di ayunan untuk santai memakan, makanan hasil selundupan.
***
Pulang dari tarawih, kami semua duduk di teras depan. Aku, Rini, dan Riki duduk di lantai sambil menikmati puding jagung buatan ibu. Sementara ibu dan mbah uti duduk di kursi panjang, membicarakan sudah berapa hari puasa yang jalani.
“Lusa, Ida berangkat ke Pontianak, Ma. Ada teman yang menawari pekerjaan, kalau tak segera diisi nanti pekerjaannya diambil orang."
“Kenapa harus jauh-jauh ke Pontianak, memangnya di Singkawang ini tidak ada pekerjaan?”
“Di Pontianak gajinya lebih gede, Ma, lumayan buat kami hidup berempat.”
“Apa kamu nggak mikir, sebentar lagi Lebaran, anak-anakmu gimana?”
“Nggak lama, Ma. Cuma dua minggu Ida di Pontianak.”
“Terserah kamu ajalah, Mama cuma nggak mau anak-anakmu nanti bersedih. Semua sepupunya berkumpul saat Lebaran, lengkap dengan orang tuanya.
"Bagaimana dengan anakmu? Nggak ada siapa-siapa yang menemani, ayahnya baru meninggal dan ibunya malah pergi ke kota! Apa nggak bisa ditunda dulu, tunggu selesai Lebaran baru berangkat?”
Ibu terdiam mendengar kata-kata mbah uti, mungkin ibu berpikir apa yang di katakan mbah Uti benar. Namun, apa daya, ibu harus mencari uang untuk masa depan kami.
Aku tahu ibu tidak memiliki simpanan uang lagi. Uang yang kami punya, hanyalah hasil dari menjual perabot rumah. Bukan ingin memiliki pakaian baru, tapi setidaknya ibu juga ingin bisa memberikan kami makanan dan kue-kue yang enak untuk lebaran.
Aku mendekati ibu, dan menyentuh tangannya. Berharap ibu mengerti arti sentuhanku, bahwa aku ikhlas ditinggalkan ibu ke kota. Ikhlas jika Lebaran nanti harus kami lalui bertiga tanpa ayah dan ibu, walaupun berada di antara para sepupu yang masih memiliki keluarga utuh.
Sekilas aku menatap bintang di langit jauh. Berharap di antara bintang yang bersinar itu ada tatapan ayah memperhatikan kami. Melihat bahwa kami baik-baik saja dan akan selalu berusaha untuk baik-baik saja, agar ayah tak perlu mencemaskan kami di sini.
Ayah ... aku sangat merindukanmu.
Aroma malam yang menenangkan ini, membuat aku teringat saat Ramadan dua tahun yang lalu. Ramadan pertamaku mengenal arti puasa, berbagi dan menahan hawa nafsu. Ayah ajarkan padaku, bagaimana dan apa arti puasa yang sebenarnya, tidak hanya sekedar menahan lapar dan haus.
“Rika hebat, puasa pertama sudah bisa satu hari penuh”
“Rika mau macam Ayah, bisa tahan lapar dan haus sehari penuh.”
“memangnya puasa cuma menahan lapar dan haus?” tanya Ayah saat itu.
“Tidak makan, dan tidak minum sampai azan magrib. Apalagi kalau bukan tahan lapar dan haus?” kataku, menjawab pertanyaan Ayah.
“Puasa bukan hanya menahan lapar dan haus. Di dalam puasa ada banyak pelajaran yang harus Diterapkan.”
“pelajaran apa, Yah?”
“Pelajaran untuk sabar dan menahan hawa nafsu. Biasanya Rika suka berantem dengan Rini, selama puasa Rika belajar sabar agar tidak mudah marah.
"Setan sangat suka dengan orang yang marah-marah apalagi saat puasa, tapi Rika bisa melawan godaan setan untuk tidak marah pada Rini.
“Pelajaran berbagi dan bersedekah. Dengan berpuasa, kita bisa ikut merasakan kelaparan dan haus seperti yang dirasakan saudara-saadara kita yang kekurangan di luar sana. Ini selalu mengingatkan kita untuk bersedekah pada mereka yang kekurangan.”
Sekelumit kenangan tentang ayah. Kenangan yang menunjukkan bahwa Ayah adalah manusia berhati lembut, dan hangat.
Ayah guru terbaik yang mengajarkan aku kehidupan, mengutamakan orang lain di atas kepentingan diri sendiri. Mengajarkan aku bagaimana hidup saling menghormati, menyayangi dan menghargai tanpa merasa diri paling tinggi.
Ayah ... terima kasih telah mengajariku banyak hal. Terima kasih telah menjadi seorang Ayah dan seorang sahabat. Terima kasih telah menjadi Ayah yang terhebat untukku. Semua nasehatmu tidak akan pernah aku lupakan, telah terpatri jauh di dalam sanubariku. Ucapku dalam hati, mengingat kembali kasih sayang ayah
Bintang ... tolong pinjamkan sinarmu, untuk menerangi ayah yang telah tertidur pulas, agar ia tidak kegelapan. Angin malam, sampaikan rinduku pada ayah, katakan padanya kami di sini baik-baik saja. Embun malam, tolong jangan kau selimuti ayah dengan kedinginan. Tuhan, titip ayahku. Izinkan kami berkumpul lagi di yaumul Mashar, nanti.