POV Ibu
Semenjak mas Anto jatuh sakit, Aku merasa lemah sendirian. Namun, tak kutunjukkan kelemahan itu. Aku harus tampak kuat, agar tidak menambah beban pikiran suami dan anak-anak.

Sakit yang diderita mas Anto bukanlah sakit yang biasa, ada banyak komplikasi penyakit di balik tubuh ringkih itu. Sedaya upaya aku mengusahakan kesembuhannya tapi takdir berkata lain, mas Anto harus mendahului kami semua.

Sedih? Iya, aku sangat sedih. Terbayangkan di depan mata, bagaimana nanti harus membesarkan tiga orang anak sekaligus, sendirian tanpa bantuan suami.
Anak-anak memang sangat pengertian, tidak banyak menuntut atau pun manja. Ketika ayah mereka sakit, tidak ada seorang pun yang menyusahkan. Aku tinggalkan mereka bertiga di rumah tanpa pengawasan orang dewasa, dan ternyata mereka bisa saling menjaga.

Siapa sangka sulungku yang baru berumur enam tahun memiliki pemikiran yang sangat luar biasa. Sulungku sungguh dewasa, dia yang paling banyak membantuku melewati hari-hari yang teramat sulit.

Rika sangat bisa kuandalkan dalam menjaga kedua adiknya. Ketika aku pulang ke rumah, Rika dan kedua adiknya sudah dalam keadaan bersih, rumah tidak pernah berantakan, serta pakaian kotor tertumpuk rapi di keranjang.

Di hari meninggalnya mas Anto, aku pulang sangat terlambat sebab harus mengurus administrasi agar bisa membawa jenazahnya pulang, malam itu juga. Di tengah kesibukan mengurus surat kematian dan semua biaya rumah sakit, aku sangat mengkhawatirkan keadaan anak-anak, bagaimana makan malamnya, bagaimana tidurnya, sebab tidak pernah sekali pun mereka kutinggalkan hingga lewat magrib. Namun kekhawatiranku ternyata tidak terbukti, Rika anak sulungku bisa menjaga kedua adiknya dengan sangat baik.

Sampai di rumah, aku melihat mereka sudah tertidur nyenyak. Para tetangga datang membantu membawa jenazah mas Anto ke dalam dan membaringkannya di ruangan tengah.

Tidak disangka ternyata Rika terbangun malam itu, tanpa suara ia mengintip dari balik pintu kamar. Sulungku, ia menangis tanpa suara di sudut gelap kamar. Menangis karena mengerti bahwa ia kini tak lagi memiliki ayah.

Terbuat dari apa hati putriku, ini? Di saat anak-anak lain meraung-raung menolak kenyataan jika ayah mereka meninggal, tapi tidak dengan putriku. Ia hanya terisak pelan dan membisikkan agar ayahnya tidur nyenyak, berjanji akan mengambil tanggung jawab ayahnya untuk menjaga kami.

Pilu dan malu secara bersamaan hadir menyeruak di dadaku. Pilu, karena anakku harus menerima kenyataan, mereka sudah tak memiliki ayah. Malu, sebab Rika yang berusia jauh di bawahku bisa ikhlas menerima takdir dari yang maha kuasa.

Kedewasaan anakku terbukti lagi, Ia menenangkan aku dengan caranya sendiri. Mendengar keributan yang dibuat oleh nenek dan tantenya, Rika datang dari arah dapur, menemaniku menerima amarah dari mertua. Tangan kecilnya menggenggam erat tanganku, mengalirkan kekuatan dan keberanian untuk menolak permintaan mertua yang Ingin memisahkan aku dan anak-anak.

Tubuh kecil tetapi berjiwa besar dengan pemikiran dewasa yang dimiliki Rika, ditularkannya padaku, membuatku memiliki keberanian lebih. Keberanian menatap masa depan, bahwa kami sekeluarga akan baik-baik saja. Aku akan bekerja lebih keras dan tidak akan pernah membiarkan anak-anakku terpisah.

Pov End


****

“Bu, kalau kita tetap tinggal di rumah ini tak bolehkah?” tanyaku berhati-hati. Takut membuat Ibu terluka dengan pertanyaanku.

Ibu yang masih membereskan beberapa barang pecah belah, membungkusnya dengan kertas kemudian menyusunnya ke dalam kardus. 

Ibh menghentikan kegiatannya sementara waktu, memperhatikanku dengan mata teduhnya sebelum memberikan jawaban.

“Rumah ini milik pemerintah yang disediakan untuk orang-orang yang bekerja di sini. Ayah sudah meninggal kita tak boleh tinggal di sini lagi,” jelas ibu panjang lebar.

“Rika tak paham, tapi kalau kita pindah dari sini bolehkah kita cari tempat yang lain? Ke mana saja asal jangan rumah mbah uti.” Pintaku pada ibu. 

Aku takut jika kami pindah ke rumah mbah Uti, Rini dan Riki akan di bawa ke rumah tante Lis dan kami akan terpisah.

“Jangan khawatir, Ibu akan secepatnya menjemput kalian. Kita tidak akan lama di rumah mbah uti,” kata ibu menenangkanku. “Rika, bantu Ibu jaga jaga adik-adik.. Jangan nakal di rumah mbah uti,” pinta ibu.

“Berapa lama Ibu pergi?”

“Secepatnya Ibu akan pulang menjemput kalian ... secepat yang Ibu bisa,” jawab ibu, walau terdengar ada nada ragu pada suaranya.

Pembicaraan di sore yang lenggang seperti ini, sungguh membuat perasaan tidak nyaman. Ditambah dengan kesunyian yang dirasakan, tidak hanya di dalam rumah, tetapi juga masuk ke dalam hati.

Rumput alang-alang yang tumbuh semakin tinggi dan subur di samping rumah, seolah mengisyaratkan tidak hanya kepala keluarga rumah ini yang meninggal tetapi kehidupan di dalam rumah ini juga ikut mati, membuat suasana kian terasa suram.

Dulu aku sangat menyukai rumah ini. Hari pertama kami pindah kemari, saat usiaku empat tahun. Masih lekat di ingatan, aku dan Rini bermain di bawah pohon kemiri yang tumbuh subur dan berbuah lebat di samping bagian kiri rumah. Salah satu buah kemiri gugur, dan mengenai kepalaku menyebabkan tumbuh sedikit benjolan. Rini melihat aku meringis kesakitan langsung mengadu pada ibu. Lucunya Rini mengadu sambil menangis, hingga membuat ibu berpikir bahwa Rinilah yang kesakitan.

Sore mulai menguning, memaksaku menghentikan kegiatan merangkai kenangan manis silam, dan mulai meletakkan serpihan kenangan itu pada album memori. Berharap kenangan yang berharga ini tidak hilang, dan selalu mampu mempersatukan kami.

Tidak mau berlama-lama terpaku pada masa lalu, aku mulai bergegas kembali pada kesibukan membantu ibu menyusun piring-piring yang telah dibungkus kertas. 

“Rika, ajak adik-adik mandi, udah sore!” perintah ibu. “Ibu siapkan makanan untuk kita berbuka.”

Aku beranjak menuruti perintah ibu, memanggil kedua adikku yang bermain di halaman belakang, mengajak mereka mandi dan bersiap untuk berbuka puasa.


***

Azan magrib terdengar berkumandang dari sebuah stasiun TV nasional yang di buka ibu. Layaknya anak-anak lain seusiaku, aku pun sangat gembira begitu terdengar suara panggilan salat, tanda pemutus niat puasa. 

Berebutan dengan kedua adikku, menuang es cincau dan mengambil sebuah kue talam sebagai pembatal puasa. Tak lama sesudahnya kami mulai salat berjamaah dengan ibu sebagai imam.

Selesai melaksanakan kewajiban 3 rakaat, ibu membekali kami dengan nasehat, terutama untukku. Banyak sekali wejangan yang beliau sampaikan. 

“Jangan pernah menyalahkan takdir atau nasib yang terjadi pada kita, semua sudah digariskan oleh Allah SWR. Hidup, maut, dan rezeki semuanya sudah tertulis di Lauh Mahfudz. Yang harus kita lakukan sebagai manusia hannyalah berdoa dan berusaha agar Allah SWT rida dengan semua yang kita lakukan.”

“Laut Mafuz, itu apa Bu?” tanya Riki.

“Bukan Laut Mafuz, De! Lauh Mahfudz.” jelas ibu. “Itu adalah kitab, tempat Allah swt menuliskan seluruh kejadian di alam semesta.” 

“Ko, Laut Mafuz De?” tanyaku pada Riki.

“Dede dengarnya laut, Mbak,” jawabnya cuek.

“Telinga Dede banyak congek, ibu bilang lauh, Dede dengar laut!” gerutu Rini kesal.

“Udah, jangan berantem! Yuk, kita makan, semua pasti udah lapar!" ibu menengahi, agar tidak terjadi pertengkaran. 

Kami semua mengangguk, menyetujui kata-kata ibu. Sebenarnya sedari tadi cacing di perut sudah berdemo minta makan, tapi kami masih mendengarkan nasehat ibu, tidak ada yang berani mengatakan lapar sampai ibu menyudahi ceramahnya.