Tampar Aku Tuhan
ALASAN SUAMI SELALU MENYURUHKU UNTUK KB (3)

sebelum baca mohon subscribe dulu ya kak
biar semangat nulisnya terima kasih.

🌹🌹🌹

Rasa penasaranku semakin bergejolak. Tatkala sosok mirip mas Bagas tengah melaju menuju kursi antrian. Namun bedanya, mereka mengantri di bagian poli kandungan. 

Rasa getir dan cemas menjadi satu, apakah benar wanita itu hanya kerabatnya mas Bagas saja. Tapi kalau pun iya, mengapa ia pergi ke poli kandungan tidak ditemani suami atau dengan sanak saudara yang lainnya. 

Dibuat panas dengan rasa keingintahuan yang terus menggerogoti, akhirnya kuikuti mereka berdua dengan jarak yang lumayan jauh. Ya, aku kini tengah berada di barisan kursi paling belakang. Sedangkan mereka berada di depan, samar-samar kulihat tangan pria itu mengelus pelan perut buncit si wanita. Ya Tuhan, apakah benar itu mas Bagas? Rasanya hatiku mendadak tersayat melihat pemandangan luar biasa di depan sana.

Karena tak tahan, lekas aku bangkit hendak menanyai mereka terang-terangan. Untuk membuktikan apakah dugaanku benar atau salah. 

"Pasien berikutnya silakan masuk, untuk Ibu Azkia." Kakiku yang hendak melangkah reflek berhenti mendengar suara dari spiker yang menerangkan panggilan untuk pasien. Selang beberapa detik, wanita yang sedari tadi kuintai itu berdiri dan masuk ke dalam ruangan. Tentu si lelaki juga ikut masuk bersamaan. Sejengkal pun mereka tak berjarak sama sekali, begitu dekat dan sangat lekat. 

Wajar bila mereka cepat mendapat antrian, karena masih pagi jadi belum banyak pengujung lain yang datang untuk periksa. 

Selepas mereka berdua masuk ke ruangan. Aku menengadahkan wajah ke atas menatap papan nama Dokter yang terpahat di sana. 

Dokter Andra namanya. Aku ingat, dulu aku pernah mengantarkan sepupuku untuk periksa di sini. Dokter spesialis kandungan yang namanya lumayan terkenal di kota ini. 

Dengan perasaan tak menentu. Kuputuskan untuk kembali duduk ke tempat semula. Aku akan langsung menanyakan pada Dokter Andra soal siapa dua orang yang tadi diperiksanya. 

Kuketuk-ketuk layar ponsel yang kugenggam erat, sudah hampir lima belas menit aku duduk di sini dan mereka berdua belum juga ke luar dari ruangan.

Mataku menyisir pandangan ke sekitar. Kulihat pintu kayu ruangan Dokter Andra mulai tersibak setengah terbuka. Akhirnya yang kutunggu muncul juga, pria dan wanita yang barusan ke luar mereka langsung bergegas pergi. 

Tanpa permisi, aku tergopoh setengah berlari masuk ke dalam. 

"Pagi, Dok." sapaku ketika sampai di depan Dokter Andra. 

"Iya, Pagi. Mbak siapa? Kenapa tiba-tiba masuk? Bukankah asisten saya belum memanggil nama pasien berikutnya ya," ucap Dokter Andra di balik masker biru yang ia kenakan. 

"Bolehkah saya duduk?" tanyaku berharap ia meluangkan sedikit waktu untuk aku bertanya.

"Ya, boleh. Silakan." ujarnya kemudian meletakan kedua tangan di atas meja. 

"Dokter masih ingat saya?" Perlahan, kubuka masker yang menutupi setengah wajahku. Mata Dokter Andra sedikit membeliak. "saya dulu pernah ngaterin sepupu saya perika di sini, Dok. Dan juga, saya hanya ingin bertanya, siapa pria dan wanita yang tadi periksa di sini?" 

"Pria dan wanita yang mana ya, Mbak? Pasien saya banyak, bukan hanya satu atau dua orang saja." ujar Dokter santai. Namun perangainya seperti menyembunyikan sesuatu, terlihat dari gesture tubuhnya. 

"Tadi, Dok. Yang barusan ke luar. Itu pasti Bagas 'kan nama lelakinya?" cetusku to the point. Aku paling tidak bisa menahan seuatu dan harus bertele-tele. 

Dokter Andra terdiam. Ia lantas tertunduk dan memasang wajah kuyu. 

"Maaf, Mbak. Anda salah orang. Tadi bukan Bagas." jawabnya memalingkan wajah. 

"Nggak usah bohong, Dok. Saya tahu itu Bagas suami saya, Dokter mau saya bikin kerusuhan di sini? Saya mohon, Dok. Jelaskan pada saya siapa wanita itu? Dokter pun sudah kenal 'kan dengan suami saya? Jadi, pasti Dokter tahu semuanya." selorohku menodongkan beruntun pertanyaan juga permohonan. 

Ia masih terpaku. Sejenak dihelanya napas panjang berulang kali. 

"Apa pun yang Dokter katakan. Pasti saya sanggup menerimanya. Dan saya berjanji tidak akan menyangkut pautkan semuanya sama Dokter." kataku meyakinkan. 

Dokter Andra langsung menatapku dalam. 

"Iya, dia Bagas suami kamu. Dan tadi itu istrinya." pungkasnya pelan. Seketika pernyataan itu membuat hatiku hancur berkeping. Air mata pun berlolosan tanpa dapat kubendung lagi. Tubuhku rasanya kaku dan limbung, lututku serasa tak punya otot lagi untuk menopang bobotku. Tuhan, tolong tampar aku, agar aku sadar dari kenyataan pahit ini. 

Tok! 

Tok! 

Terdengar ketukan pintu dari luar. Reflek aku langsung merunduk sambil menyeka air mata di pipi. 

"Masuk." sahut Dokter Andra pada orang yang mengetuk pintu.

"Maaf, Dok. Ponsel saya ketinggalan." ucap seseorang yang lagi-lagi membuat jantungku berhenti berdetak. 

Bersambung....  

siapa ya kira-kira yang datang?? 

Komentar

Login untuk melihat komentar!