ALASAN SUAMI SELALU MENYURUHKU UNTUK KB (4)
Happy reading.
🌹🌹🌹
"Maaf, Dok. Ponsel saya ketinggalan." ucap seseorang yang lagi-lagi membuat jantungku berhenti berdetak.
Secepat kilat, Dokter Andra berdiri dan meraih ponsel berwarna hitam pekat di atas meja. Aku tahu, itu memanglah ponsel mas Bagas.
"Tunggu di situ saja, biar saya ambilkan. Soalnya di sini ada pasien saya." sergah Dokter Andra lantas mengantarkan gawai itu ke arah luar.
Kuhembuskan napas lega. Syukurlah mas Bagas tak jadi masuk ruangan ini lagi. Kalau dia sampai tahu aku di sini bisa gawat. Batinku lega.
Selang beberapa detik. Dokter Andra kembali duduk di depanku, terperantarai meja persegi yang terbuat dari kayu yang dilapisi kaca bening.
"Winda, sekarang sudah jelas 'kan? Sudah tidak ada yang saya tutupi lagi." ujar lelaki berbaju serba putih itu secara gamblang. "untuk masalah ini, mohon jangan ikut sertakan saya dalam urusan rumah tanggamu dengan Bagas. Kau tahu sendiri 'kan? Saya dan Bagas berteman baik, dan Bagas pun selalu menghormati saya seperti yang lainnya. Meski kita berteman, namun bila di lingkungan rumah sakit hubungan kita tak jauh berbeda antara pasien dan tenaga kesehatan. Kau tahu, di sini yang sebagai pasien saya bukan Bagas, melainkan Azkia, istrinya."
"Ya, saya mengerti. Terima kasih banyak sudah mau membantu saya." Meski berat, kucoba untuk berdiri dan beringsut pergi dari ruangan ini. Hatiku terlalu sakit untuk menerima kenyataan yang benar-benar di luar nalar pikiran. Tega-teganya mas Bagas berkhianat padaku, padahal ia bilang dia sangat mencintaiku lebih dari apa pun. Nyatanya itu hanya omong kosong belaka.
Langkah gontai perlahan menapak di lantai sejengkal demi sejengkal. Bulir bening yang masih berderai tak kunjung berhenti meski berulang kali kuseka dengan punggung tanganku. Begini sakitnyakah rasanya dibohongi? Akan kupastikan mas Bagas membayar air mata yang kulinangkan hari ini.
Punggung tangan seseorang terlihat di seberang sana. Ia tergopoh setengah berlari menuju lobi. Aku lekas bergegas mengikuti langkah pria yang kutafsirkan itu adalah mas Bagas. Pasti dia mau mengantarkan selingkukannya pulang. Pikirku.
Selepas ia tiba di parkiran, ternyata wanita bernama Azkia sudah menunggu di samping mobil. Wanita dengan dress selutut berwarna oranye itu menyambut kedatangan mas Bagas dengan sunggingan senyum merekah penuh kebahagiaan.
Aku melihat gerak-gerik mereka dari balik tembok pembatas antara parkiran dan toilet umum di dekat taman samping. Jelas sekali adegan demi adegan mereka lakukan sangat romantis dan manis.
"Anak Papa udah nunggu lama ya," ucap mas Bagas ketika sampai di depan Azkia. Tangan kekarnya mengelus lembut perut Azkia yang tengah berdiri bersandar di pintu mobil.
"Iya, habisnya Papa Bagas lama sih," jawab Azkia menirukan gaya bicara anak-anak balita yang baru belajar berbicara.
Ludahku rasanya tercekat di tenggorokan. Meski aku berusaha tegar, bohong bila aku tidak menangis melihat semua di depan mata.
Jadi ini, mas. Alasan kamu menyuruhku untuk KB. Batinku menjerit, ingin menampar keras wajah mas Bagas. Namun, kurasa itu belum cukup untuk membalas sakit hati ini padanya.
"Ayo masuk, keburu siang. Soalnya nanti aku mau ke kantor." Mas Bagas membukakan pintu untuk Azkia. Azkia lantas masuk ke mobil. Sebelum ia masuk, kulihat jemari Azkia mengelus pucuk kepala mas Bagas dengan manjanya. Siapa yang tak luka? Hal seperti itu biasa aku lakukan pada mas Bagas. Dan kini, wanita lain yang melakukannya.
Mobil mas Bagas perlahan melaju meninggalkan parkiran. Beruntung tadi mobilku kuparkirkan di tempat paling ujung, jadi mas Bagas tidak tahu kalau aku berada di sini. Meski rumah sakit ini luas, Tuhan selalu ada cara menunjukan kebenaran yang selama ini telah tertimbun oleh manisnya tutur kata. Mas Bagas yang selalu bersikap baik dan harmonis, nyatanya tak lebih dari seorang ular dan menelusup diam-diam mematukku dari belakang.
Tak ingin kehilangan jejak, gegas berlari masuk ke mobil untuk mengejar mas Bagas.
Jalanan pagi ini padat merayap seperti biasanya. Mobil mas Bagas berada di depan terhalang beberapa mobil yang juga sama tengah melaju searah.
Setelah arus perlahan mulai bergerak. Mobil mas Bagas berbelok ke kanan pada tikungan perempatan jalan. Dan itu arah ke rumah ibu mertuaku.
Akan dibawa ke mana wanita simpananya itu?
Apa ibu tahu kalau mas Bagas punya selingkuhan?
Arrgh! Aku berteriak sambil memukul setir dengan kencang. Kenapa bisa setega ini dia berbuat hal demikian. Apa salahku?
Buru-buru kuredam sebentar emosiku. Dan lanjut menguntiti mobil mas Bagas yang masih melaju di sana. Aku sengaja menjaga jarak yang lumayan jauh, takut ketahuan. Jika aku melabrak mereka terang-terangan itu terlalu instan bagi mereka. Jadi lebih baik kuberi mereka pelajaran secara diam-diam dan lebih menyakitkan.
Setengah jam berlalu, mas Bagas memberhentikan mobilnya di depan rumah ibu. Benar dugaanku, kalau ibu tahu semuanya. Sengaja kutinggal mobilku di persimpangan jalan dekat bengkel. Karena aku memilih jalan kaki agar semua tidak mencurigakan.
Di samping rumah ibu ada pohon jambu air yang lumayan rimbun. Di sinilah sekarang keberadaanku, menguping pembicaraan mereka semua.
"Gimana kandungannya? Sehat 'kan?" tanya ibu begitu mas Bagas dan Azkia mendaratkan bobot mereka di kursi teras.
"Sehat kok, Bu." cetus mas Bagas lantas menatap Azkia dan ibu bergantian.
"Bu, aku titip Azkia ya, aku mau ke kantor dulu." pamit mas Bagas pada kedua wanita di dekatnya.
"Iya, Gas. Ibu pasti akan jagain Azkia dengan baik kok." Ibu menyahut seraya tersenyum sabit. Sedang si Azkia terlihat malu-malu.
Mas Bagas melambaikan tangan dan langsung beringsut masuk ke dalam mobil hitam miliknya.
Drrt!
Drrt!
Satu pesan masuk pada aplikasi berlogo hijau milikku.
Kukerjabkan mata beberapa kali, dengan helaan napas yang mulai tak teratur. Kupaksa membuka pesan tersebut meski gemetar. Pesan itu ternyata dari mas Bagas.
Sekali tekan, pesan via Whatsapp itu langsung terpampang di layar gawaiku.
[Winda, kamu udah berangkat suntik KB 'kan? Kalau belum biar aku jemput.] Pesan yang dikirim mas Bagas langsung membuatku terkesiap.
Kugigit bibir bawah. Harus kujawab apa ini?
Bersambung....
Yuhu, kalian mau Winda balas apa. Silakan komen siapa tahu ntar akan aku jadikan tulisan di episode berikutnya.