AMBIL UANG
Aku menarik tangan Elis menuju toilet . Karena ini masalah serius, harus diterangkan sekarang juga. 

"Ini wc duduk. Gini cara makenya!"

"Enggak kotor gitu, Aa?" 

"Enggak, Sayang. Nah, untuk menghilangkan kotoran dari lubang wc, tekan ini. Terus pakai selang untuk membersihkam belas kotoran di anus kita!" 

Elis manggut-manggut seolah mengerti. Kelihatannya, sih serius paham, tapi aku tak yakin. 

"Peragakan!" 

Ternyata kali ini dia paham. Baguslah otakku tidak perlu meledak harus menerangkan berulang-ulang.

Nahas benar nasibku punya istri kurang cerdas. Ini gara-gara Abeng sialan. Bisa-bisanya menjebakku hingga terpaksa menikahi Elis.

*

"Tolooooong!"

"Eh, tunggu, tunggu, tunggu aku bukan penjahat, aku tak sengaja masuk kamar kamu. Beneran!"

Aku mengarahkan dua tangan ke depan, menggoyangkan telapak untuk memintanya diam. 

"Bohong, kamu pasti mau jahat sama saya, tolooooong!"

Aku coba mendekati perempuan yang rambutnya acak-acakan. Tentu saja wanita itu makin ketakutan. Lalu, makin keras jeritannya. Refleks aku menghambur ke arahnya dan membekap mulut yang masih terbuka. 

"Aya naon iyeu! Heh, wani siah rek jahat ka anak aing!"

( Ada apa ini? Berani kamu berbuat jahat pada anak saya)

Sialnya, seorang lelaki bertubuh tambun mendobrak pintu. Ia berteriak hingga telingaku pekak. 

"Ini salah paham, salah paham, Pak. Kita bicara baik-baik. Saya gak jahat!"

Aku melepas bekapan dan berusaha mengklarifikasi salah paham ini.

"Halah, mana aya maling ngaku! Ayung seret jelema iyeu ka kantor desa!"

Aku pasrah ketika dua lelaki desa Cigeulis membawaku ke kantor desa. Pasrah juga ketika tatapan sinis dilemparkan sepanjang perjalanan.

Di desa semua orang tak ada yang percaya kalau ini salah paham. Mereka memaksaku mengakui kesalahan yang dituduhkan bahwa akan memerkosa anak pak Qosim.

Bersumpah pun tak ada gunanya, akhirnya hukuman dijatuhkan. Aku harus menikahi Elis malam ini juga. Kalau tidak, kasus ini akan dibawa ke polisi dan namaku akan dipublikasikan sebagai penjahat.

Inilah liburan pembawa petaka dalam hidup. Aku yakin Abenglah yang bermain dalam perkara ini. 

*

"Aa, beras, gula, minyak, kopi, susu, teh, terigu, telur, mau habis!" terang Elis saat aku sedang asyik nonton bola. 

"Terus?"

"Nya atuh beli, Aa kasep."

"Beli saja, itu'kan tugasmu sebagai istri. Masa harus aku. Sudah sana, ganggu saja!"

"Emm, emmm, Elis gak punya uangnya. Pan Elis gak kerja."

Aku menepuk jidat saat sadar sejak menikah belum memberinya uang. Aku mengambil dompet, ketika dibuka tak ada uang cash banyak. Sampai lupa belum ambil di ATM.

"Belanja sana, pake itu! Ini pinnya!"

Aku melempar kartu ATM plus pinnya. Elis meraih kartu di atas meja, lalu membolak-balikan benda tersebut.

"Aa, buat belanja mah perlunya uang, bukan ini. Entar Elis diketawain sama tukang warungnya!"

Duh, Gusti!

"Ganti baju, kita belanja, Cepaaat!"

Elis sampai berlari-lari sebab teriakanku. Dia pasti sadar kalau tak cepat bisa makin tandukan kepala suaminya.

Dalam waktu lima menit wanita itu sudah siapa dengan pakaian lusuh dan tas tak modisnya. Aku bisa bayangkan bagaimana orang akan memandangi kami berdua.. Tuan dan pembantu.

Saat gadis apa tak pernah terpikir untuk beli pakaian dan tas agak bagus. Atau kemiskinan yang membuatnya tidak memiliki keinginan itu.

"Tak ada pakaian lebih baik?"

Ia memegang bagian pinggir gamis lusuhnya, lalu menarik sedikit. Kemudian mengusap bagian depan.

"Ini paling bagus, biasa Elis pakai ke undangan!"

Tobat!

"Tak usah bawa tas! Simpan sana!"

"I, iya!"

"Cepat!"

*

Sebelum masuk ke supermarket, aku mengajaknya ke mesin ATM. Rencananya nanti akan kubuatka ATM agar tau cara menggunakan. Sekarang ajari saja dulu supaya bisa memakai punyaku.

Pelan-pelan kujelaskan sambil mempraktekannya. Agar ia mengerti, aku mengulanginya.

"Ih, kok, keluar uang, Aa. Ini mesin ajaib, ya?" 

Aku memutarkan bola mata. Kupikir ia lebih tertarik pada hasil akhir, bukan proses. Dasar!

"Paham tidak caranya mengeluarkan uang itu?"

"Iya!"

"Coba sebutkan tahapannya, baru praktekan!"

Kurasa Elis tidak bodoh. Ia hanya tak banyak memiliki informasi tentang teknologi. Lagi-lagi kemiskinan membuatnya tak punya kesempatan mengakses hal tersebut. Terlebih hidupnya jauh dari perkotaan.

"Aa, ini uangnya buat kita?"

"Iya, Sayang akooh!"

Aku sudah kesal tingkat dewa dengan pertanyaan anehnya. Memangnya ini uang mbahmu.

"Aa!"

"Iya, apalagi?"

"Mesin ATM nya baik, ya ngasih uang sama kita."

Untung mesin ATM nya di ruang tertutup, kalau tidak, aku gak tahu harus nutup muka pakai apa.

*

Jangan lupa ikuti akun Hanin, berlangganan cerita dan bintang lima



















Komentar

Login untuk melihat komentar!