Elis bingung kenapa Aa gak juga datang menjemput. Mana emak nanya terus-terusan. Tetangga juga sudah banyak yang ngomongin. Apalagi ceu Encum. Semangat pisan ngehina-hina.
Elis gak berani keluar sebab takut diejek tetangga. Untuk urusan belanja semua diurus emak. Elis yang mengerjakan pekerjaan rumah tangga.
"Emak era, Lis, era diomongkeun tatangga. Ka mana atuh nyusul si borokokok, teh!"
(Emak malu, Lis, malu diomongin tetangga. Ke mana nyusul si borokokok!"
Emak terus bicara sampai kuping Elis panas. Dada juga sama jadi panas. Sedih, kesel bingung nyampur-nyampur di hati.
Aa kenapa tega sama Elis?
Ke mana Elis harus nyari Aa? Alamat rumahnya juga tidak tahu. Mau menghubungi tak ada nomor HP nya.
Kenapa tidak kepikiran minta nomor Aa dan alamatnya. Kenapa Elis percaya begitu saja pada Aa. Elis memang terlalu bodoh, gampang dibohongi.
"Jangan cuma nangis, tapi mikir harus bagaimana!"
Diomongin begitu Elis malah tambah nangis. Habis enggak tahu harus bagaimana. Bingung sebab tak ada cara menghubungi Aa.
"Udah nangisnya, tuh ada tamu, malu!"
Elis berusaha tak menangis lagi. Takutnya kedengeran sama tamu. Nanti jadi bahan omongan lagi di luar.
"Elis, ada ceu Lilih, mau bicara sama kamu!"
Elis ke dapur dulu untuk cuci muka supaya gak keliatan habis nangis. Setelah itu menemui ceu Lilih. Perempuan itu suka bantu perempuan untuk bisa kerja di kota. Dulu, Elis juga ditawarin, tapi ditolak sama abah.
"Ada apa Ceu?"
"Eceu sudah dengar gosip tentang kamu. Eceu bisa bantu mencarikan suami kamu di kota. Caranya Elis ikut kerja sama Eceu di Jakarta. Nanti kita sama-sama cari!"
Elis dan emak saling pandang. Wajah emak langsung kelihatan cerah. Tapi, Elis tidak sebab masih bingung.
"Tapi saya tidak punya alamat Aa dan nomor telponnya, Ceu!"
"Gampang eta, mah. Nanti kita keliling Jakarta buat nyari Aa. Pokokna mah serahkan saja sama Eceu!"
"Emak mah setuju Elis ikut ke Jakarta. Kalau nunggu si Bas mah enggak tahu kapan datang. Mending dicari. Kalau enggak ketemu juga tetap bisa ksrja di kota!"
"Tah, bener, Emak!" jawab ceu Lilih semangat.
"Elis mah minta izin abah dulu, ya, Ceu!"
*
"Elis sehat? Jarang keliatan, takutnya sakit?" tanya kang Qosim pas Elis nyapu halaman.
"Alhamdulilah, Kang!"
"Akang turut prihatin atas musibah yang menimpa Elis. Yang sabarnya."
"Iya, Kang. Eh, begini, Kang Elis mau nanya, boleh?"
Elia menceritakan pada kang Qosim soal tawaran ke Jakarta dari ceu Lilih. Juga bilang kalau emak dan abah sudah setuju. Rencananya akan berangkat besok.
"Kata akang mah jangan, Lis. Jakarta itu kota gede pisan. Mencari suami kamu sementara gak ada alamat itu seperti nyari jarum dina kesik (pasir) ."
Elis tidak menyangka kang Qosim justru melarang. Dikira mau mendukung. Tapi, kang Qosim orang baik. Gak mungkin bohong.
"Lagian akang tidak percaya sama ceu Lilih. Ada abah tidak, akang mau masuk. Kita ngobrol di dalam. Takut ada yang mendengar."
Untung abah belum pergi ke sawah. Tadi katanya sakit perut jadi masih di rumah.
Di dalam rumah kang Qosim menyampaikan pendapatnya soal tawaran kerja ke Jakarta.
Dipikir-pikir bener juga, ya. Waktu diajak Aa ke emol saja Elis melihat gedung pada tinggi, jalannya besar. Kalau semua begitu, pasti kota itu besar banget.
"Alah kamu jangan suuzon sama orang, Qosim. Ceu Lilih berniat baik, mau nolong. Daripada ibu kamu bisanya ngehina kami!"
"Mak, Qosim pernah ke Jakarta. Mak, kehidupan di Jakarta keras pisan. Kejahatan di sana banyak, Mak. Bahaya untuk orang yang gak tahu apa-apa!"
Kang Qosim juga bilang kalau dia tidak percaya sama ceu Lilih. Tidak jelas juga apa pekerjaan yang ditawarkan. Bagaimana kalau jual diri.
"Abah satuju sama Qosim. Kamu tidak boleh ke Jakarta. Kajeun si borokoko mah. Lamun manehna teu datang deui disumpahan ku aing hirup bakal balangsak, paeh kasiksa!"
(Abah setuju sama Qosim, Kamu tidak boleh ke Jakarta. Biar so Borokoko. Kalau dia tak datang lagi, saya bersumpah hidupnya akan sengsara. Mati tersiksa)
"Abah jangan begitu atuh!"
"Maneh teh geus nyaho salaki edan, dibela keneh. Si Bas mah kudu dibacok!"
(Kamu, sudah tahu suami gila, dibela terus. Si Bas harus disabet golok)
Elis gemetar mendengar abah marah-marah. Takut kalau sumpah abah menimpa Aa. Abah teh jawara silat dulu. Kalau Aa dihajar kasihan.
Kang Qosim juga menawarkan bantuan nyari Aa. Jadi abah saja dengan kang Qosim yang ke Jakarta katanya. Elis dan emak di rumah.
*
Abah dan kang Qosim hari ini ke Jakarta. Katanya daripada nunggu gak jelas, lebih baik berusaha.
"Kamu dan emak tak boleh ke mana-mana, keluar kalau ada perlu saja!"
"Iya, abah!"
"Abah, kalau ketemu Aa jangan diapa-apainnya! Oan masih suami Elis!"
"Moal dinanaonkeun, paling oge dipaehan!"
(Tidak diapa-apakan. Paling dibunuh!)
Jantung Elis nau lompat mendengar kata-kata abah. Marahnya memang menakutkan. Duh, kalau sampai ketemu, bisa habis Aa. Kasihan amatnya.
"Ini nomor HP, akang. Kalau ada apa-apa pinjem HP ke siapa saja untuk menghubungi, ya."
"Iya, kang Qosim!"
Elis berharap pisan Aa bisa ditemukan sama abah dan kang Qosim.
Aa, kenapa memperlakukan Elis begini? Aa, kalau memang tak suka kenapa tidak menceraikan Elis saja. Jangan malah tidak ada kepastian begini.
Elis sadar diri, Elis mah bodoh, gak pantas jadi istri Aa.
Tapi, Elis juga manusia, punya perasaan sama dengan orang lain.