#6 Dilamar Suami Istri

 
Dipandanginya sekilas wajah anak muda di hadapannya. Tidak  begtu tampan sebenarnya, perawakannya pun termasuk pendek.

Namun, Ibra memang memiliki pesona tersendiri. Pintar bicara, mahir berdalil-dalil, entah berapa juz hafalannya.
Kini sosoknya mendadak sangar di mata Saribanon.

Duhai, kemanakah gerangan larinya ketulusan yang dulu begitu mewarnai kepribadianmu, Saudaraku, gumamnya membatin.

Apakah ini sebagi pengaruh posisinya sekarang?
Kabar yang beredar, Ibra telah menerima donasi dalam hitungan M dan M dari Timur Tengah.
Ah, entahlah!

“Baiklah, selamat tinggal, Tad!” Saribanon memungkas percakapan singkat mereka.
Ibra masih mengawasinya. Melalui kaca spion kendaraan panitia yang menjemputnya, Saribanon masih melihat sosok itu.

Kira-kira apa yang ada dalam pikiran Ibra yang telah punya gandengan tiga perempuan itu, ya, pikirnya.
Ibra, Ibra, ada apakah dengan lelaki 40-an itu?

Merasa hebatkah?
Merasa punya hak memiliki lebih dari satu istrikah?
Berapa anaknya sekarang?
Lima, enam atau tujuh?
Mungkin selusin, dua lusin sebentar lagi!
Seketika ada yang berkecamuk riuh dalam dadanya.
Ia tak banyak bicara sejak panitia menjemputnya.

Mengapa harus diperjumpakan dengan Ibra sekarang? Hanya Allah Swt yang Maha Mengetahui  jawaban-Nya.
Kendaraan yang membawanya dari BIL, Bandara Lombok Internasional melaju dengan tenang ke arah Lombok Timur. Sebuah pondok pesantren telah menanti kehadirannya.

Pesantren ini di bawah pimpinan seorang sahabat yang pernah ditemuinya di Turki sepuluh tahun silam.

“Teteh, apa kabar? Kangeeen!” suara Fatma terdengar bening dari seberang melalui ponsel.
Degh!

Jantung Saribanon mendadak berdetak kencang sekali. Alih-alih jumpa tak sengaja dengan Ibra, mendadak kini ditelepon Fatma?

“Barusan diberi tahu si adik, katanya mereka ketemu Teteh di Bandara Lombok, ya?” sambung hafidzah asli Malang itu, membuyarkan seluruh angannya.

“Iya, iya, Dek, alhamdulillah. Baik, baik…. Betul, ketemu sekejap di Bandara tadi. Hmm, bagaimana kabar anak-anak, Dek?” sahutnya setelah merapikan detak jantungnya kembali.

“Anak-anak sehat, Teteh. Azra si sulung sudah mondok di pesantrennya Neng Kulsum. Dia juga merindukan Teteh, eh, ini kami sedang di pondok Neng Kulsum loh, Teteh….”
Akhirnya!
Setidaknya ada dampak positifnya, pikir Saribanon.

Fatma kini berani bepergian tanpa Ibra. Mengantar putrinya dari Malang ke Madura, hanya ditemani si bungsu yang masih menyusuinya. Satu hal yang mungkin tak pernah terpikirkan sebelumnya oleh Fatma.

“Mengurus anak-anak sendiri dan bepergian tanpa suami itu tabu bagiku, Teteh,” kata perempuan itu tiga tahun yang silam.

Namun, sekarang Fatma melakukannya. Ia mengurus anak-anak tanpa suami yang sedang bepergian dengan madunya.

“Mereka pulang dari rumah keluarga si adik, Teteh. Mau lanjut ke Malaysia,” ringan terdengar suara itu.
“Tidak apa-apa, ya, eh, tidak ikut ke Malaysia?” usik Saribanon.

“Kan giliran si adik yang mendampingi. Kami, saya dan Ustad sudah ke sana bulan lalu,” jelas Fatma.
“Begitu ya….” Saribanon masih menerka-terka maksud perkataan Fatma.

”Yah, hitung-hitung bulan madu kedualah mereka itu. Teteh tahu kan, si adik ketiga baru kehilangan bayinya. Mereka tinggal di Malaysia, makanya Ustad dan si adik kedua menengoknya sekarang. Oya, si adik kedua itu sedang hamil muda, loh, Teteh….”
Masya Allah, begitu rupanya!

Lakon cinta Fatma-Ibra dengan dua adiknya itu sungguh dramatis. Kalau dtulis tentu akan menjadi sebuah novel langka dengan tema poligami itu indah.

“Hidup itu pilihan, ya Teteh. Saya dan Ustad baik-baik saja, demikian juga dengan dua adik. Kami semua baik-baik saja. Oke, selamat menikmati keindahan bumi seribu masjid, ya Teteh. Assalamu alaikum….”
Saribanon menjawab salamnya dengan perasaan mengharu biru. 

Dalam umurnya menjelang 59, seingatnya baru kali inilah menemukan bentuk pernikahan seperti itu.

Satu suami tiga istri, delapan anak, mereka baik-baik saja.
“Makanya, Teteh, terima sajalah lamaran Kyai,” ujar Farah, sahabat yang pernah ditemuinya di Turki itu.

Kini Farah telah menjadi seorang Nyai, istri pemimpin sebuah pesantren besar. Ada kesempatan berdua dan curhatan sebagaimana galibnya sahabat lama.

“Appppaaa?!” seru Saribanon tertahan, mendadak tersedak makanan yang sedang dikunyahnya.
Farah tertawa, buru-buru menyodorkan gelas air teh tawar kesukaannya.

“Tenang, tenang, takkan lari jodoh dikejar….”
“Jodoh dikejar apaan sih?” seru Saribanon mulai kesal.

Perempuan muda ini umurnya sebaya Jay, anaknya dua dan sebaya cucunya. Suaminya, seorang Kyai muda yang sedang naik daun di kawasan NTB. Umurnya paling juga 40-an.
“Intinya, aku setuju sekali kalau abinya Nisa menikahi Teteh.”
“Ah, sinting!” teriak Saribanon tertahan di tenggorokan.

Dipandanginya mata perempuan muda yang duduk anggun di hadapannya. Cantik, pintar, sudah bergelar Doktor dalam usia muda. Kurang apalagi, coba?

“Ayolah, Teteh, kita jalan bareng untuk kemashlahatan dunia dan akhirat,” suara perempuan muda itu terdengar semakin aneh di telinganya. “Kita ingin kelak kembali bersama di jannah-Nya, bukan?”

“Tidak perlu harus dengan menghancurkan rumah tangga orang untuk meraih kemaslahatan dunia dan akhirat, Nak. Sudah, ya, jangan perpanjang lagi perbincangan aneh begini,” tukasnya seraya bangkit, kemudian bergegas meninggalkan Farah dengan perasaan galau.

Farah masih melontarkan pernyataan,”Tidak ada yang merasa terganggu, Teteh. Tak ada pula pernikahan yang sudah dihancurkan, sesiapapun!”
Ah, sudah tidak waras otak anak ini, gerutu Saribanon tak menggubrisnya lagi.

Seminggu tinggal di pesantren Farah, ia berusaha keras untuk tetap fokus dengan tujuan utama keberadaan dirinya di tempat terpencil ini. Menularkan virus menulis di kalangan santri. Titik!

“Tugasku sudah selesai, Neng Farah dan Kyai, alhamdulillah. Mereka berhasil mengumpulkan karya, Teteh tinggal menyuntingnya nanti, kemudian menerbitkannya,” lapornya pagi itu, ketika makan sahur bersama.
“Alhamdulillah wa syukurillah,” sambut pasangan suami istri itu dengan takzim.

“Kira-kira kapan DL turun cetaknya, Teteh?” tanya Kyai
“Ya, agar kami bisa kalkulasikan dananya sekarang,” timpah Farah.
“Hmmm, beri waktu seminggu, ya….”
Suaranya mendadak tersendat. 

Tiba-tiba Saribanon baru menyadari belum mendapatkan konfirmasi tiket kepulangannya.
“Oya, sudah Teteh cek email  berkali-kali, sepertinya belum masuk tiket pulangku?”

“Siapa bilang Teteh bisa pulang?” tukas Farah tertawa kecil.
Sepasang mata Saribanon menatap tajam wajah cantik di depannya.
”Maksudmu apa?”

“Bagaimana kalau kami tidak akan membiarkan Teteh pergi lagi dari sini, hayo?” tanya Kyai.
“Iya, kami akan menahan Teteh selamanya di sini….”
“Bahkan kami sudah membicarakan hal ini dengan Bang Jay dan Mbak Lia,” tukas Kyai terdengar serius sekali.

“Mereka sama sekali tidak keberatan dengan niat baik kami, Teteh. Bayangkan, kita akan menjadi sebuah keluarga besar yang sakinah mawadah warahmah,” ditimpah suara istrinya yang tak kalah seriusnya.
Kali ini Saribanon tak bisa menahan rasa kesal dan kecewanya.

“Kalian ini, sungguh anak-anak yang senang membuat orang tua jantungan!” desisnya menyemburkan ketaksukaan hatinya.”Oke, tidak ada tiket dari kalian, ya!”
Pasangan suami istri itu menggeleng kompak sambil tersenyum penuh misteri.

“Cukup! Bukan berarti aku tak bisa cari tiket sendiri!” cetusnya seraya berlalu, meninggalkan mereka yang tidak berkomentar lagi.

Sepanjang hari itu Saribanon lebih banyak mengurung diri di kamarnya. Hingga ia menemukan kesempatan untuk melarikan diri dari tempat itu.

Sebuah rumah pantai di Senggigi, milik keluarga Dewi, kini menjadi tempat rehatnya sementara. Ia tak peduli dengan kehebohan yang ditinggalkannya di pesantren At Taqwa. 

Diam-diam pergi dinihari, tanpa sepengetahuan Farah dan suaminya. Ia sengaja mematikan ponselnya, sama sekali tidak membalas pesan-pesan yang masuk.

“Silakan tempati saja sesuka Bunda,” kata Dewi dari rumah musim panas di Inggris.”Kalau boleh tahu Bunda sedang apa di Lombok?”
“Menulis seperti biasa, hanya tak mau ada gangguan siapapun,” kilahnya.

“Begitu, ya…. Tapi sehat-sehat saja kan, Bun?”
“Alhamdulillah baik….”
“Oke, kalau ada apa-apa jangan sungkan kabari aku,” pinta Dewi.

Sehari, dua hari, tiga hari dilaluinya dengan senyap. Ia pun mengebut dengan laptop kesayangannya. Ingin menyelesaikan sebuah novelet pesanan sahabatnya untuk sebuah majalah bergengsi.

Ada tiga orang yang mengurus bungalow menemaninya. Mereka sangat ramah dan telaten melayaninya.

Suami-istri, Hanan dan Siti, asli orang Lombok, tugasnya mengurus rumah, memasak dan merawat kebun serta kolam. 

Satu lagi, seorang perempuan muda, kemenakan Hanan, bertugas mengurus keuangan dan lainnya.
“Rumah pantai ini kadang disewa kru film untuk syuting,” ujar Fitri yang selalu siap melayaninya.

Kemudian ia menyebutkan sejumlah film layar lebar yang pernah syuting di sini. Saribanon bergeming, jari-jemarinya sibuk memainkan keyboard laptop kesayangannya.
“Apa Umah tidak mau jalan ke satu tempat?” usik Fitri untuk ke sekian kalinya menawarinya menjadi guide tur.

Kali ini, entah mengapa, Saribanon melepas pandangannya dari keyboard. Dipandanginya sekilas wajah manis segar di hadapannya.
Perempuan muda ini sebaya Lia, belum lama balik dari Hongkong.

Sepuluh tahun bekerja sebagai Buruh Migran Indonesia di berbagai penempatan; Malaysia, Singapura, Brunei, Arab Saudi berakhir di negerinya si Jackie Chan.
Bersambung

Komentar

Login untuk melihat komentar!