“Chi, jaga kekompakan anak Banten, geh!” Begitu kata Teh Nur. Jadi meski saat ngisi formulir, si Imat tetap pasang tampang sok kegantengan banget ke arah aku, Aku ngga bisa ngelakuin apa-apa karena udah ada tekanan juga dari Sang Ketua Karang Taruna Banten.
“Jaga kekompakan Banten, ya! Biar dipandang bagus sama propinsi lain.”
“Siap, Boss!” Giton semangat menjawab.
Habis mengisi formulir, kita langsung diantar ke–sebut aja namanya–Mandarin Language Center singkat aja jadi MLC. Di MLC ini kita akan dididik dalam pendidikan dan pelatihan Bahasa Mandarin dengan sistem semimiliter.
What?! Semimiliter? Duh ngebayanginnya aja udah bikin tulang aku lemes. Jadi disiplinnya ketat, begitu kata Pak Ganang. Beliau tinggal di dalam MLC. Di samping belakang MLC ada sekitar lima rumah yang ditempati oleh beberapa petugas termasuk Pak Ganang dan keluarga. Makanya yang akan membina kami nanti, ya, Pak Ganang dan teman-temannya.
Sesampainya di MLC, Teh Nur langsung ngajakin aku buat cari kamar. Pak Ganang bilang, kamar buat cewek ada di Barak D. Ingat ya semua ini namanya BARAK, awas kalau kebaca BERAK. Plis yang lagi makan mohon maaf lahir batin dulu.
Jadiiii.... Barak itu semacam gedung yang berisi kamar-kamar dan sebuah ruangan kecil buat ruang tamu. Satu barak ada dua lantai.
Aku baru menurunkan tas ranselku ketika ada perbincangan hangat antara Giltno dengan Teh Nur dan kontinen Banten lainnya. Aku menghampiri mereka.
“Wah gawat, geh. Aku ngga dikasih tau kalau kita bakal dididik sama Petugas dengan sistem semiliter.”
“Jelas aja, kan, kita nanti mau dijadiin TKI ke Taiwan!”
“Hah!” Aku langsung nimbrung binti kaget, “Ke Taiwan! Wah asyik dong! Bisa ketemu sama Ef Se!”
“Yeee… jadi TKI! Te Ka Iiii! Mau lo?!” ketus Imat menatap tajam ke arahku.
Aku melihat ke Giton, cowok berbibir seksi itu mengangguk. “Kok aku ngga dikasih tau, sih, kalau tujuan kita ke sini itu mau dijadiin Te Ka I!?”
“Kalau cewek jadi Te Ka We!” ralat Ardi.
“Iya, TKI! TKW! Kok aku ngga dikasih tau!?”
“Kita juga baru tahuuu Achi!”
“Kapan taunya?”
“Barusan Achi!”
“Terus! Pulang aja aaah!”
“Ngga usah, Achi! Sayang. Tiga bulan gratis belajar Bahasa Mandarin! Sekarang, kan, kursus Bahasa Mandarin mahal. Udah ikutan aja!” jelas Giton.
“Iya, udah terlanjur, nanti bilang aja ngga mau ikut jadi TKI!” cibir Imat.
“Dapet uang saku ini,” samber Kang Nana.
Wah… mataku berbinar-binar. Rasanya dunia hijau damai tentram dan penuh duit. Mendengar ada cling-cling yang bakalan masuk pundi-pundi dompetku, aku jadi semangat lagi. “Lumayan-lumayan! Berapa uang sakunya? Buat tiga bulan, kan? Lima ratus ribu!”
Kang Nana menggeleng. Giton langsung mengeluarkan segepok uang dan membagikan selembar lima puluh ribuan satu per satu kepada kontinen yang lain. “Ini dari Pak Haji,” kata Giton menyebutkan nama panggilan Ketua Karang Taruna Banten.
Aku pikir bakalan ada lembar lima puluh ribu kedua, ketiga dan keempat seperti biasa kalau lagi main kartu remi, tapi duit di tangan Giton udah abis.
“Segini doang, Ton!?” tanyaku.
“Iya, buat tiga bulan!”
“Hah! Tiga bulan cuma lima puluh ribu!?”
Fyuuuh… bakal jadi apa hari-hari aku di asrama ini, ya! Ada rasa bimbang menari-nari. Separuh hati aku bilang. Aku harus pulang. Separuh hati aku lagi bilang, aku harus ikutan Diklat ini, separuh hati lagi ilang dimakan ayam, yang separuh lagi diambil sama DEWA 19 buat dijadiin Separuh Nafas. (Generasi milenial yang ngga ngerti lagu separuh napas, plis gugling ya jangan males. Biar tambah pengetahuannya begitulah).
Sekarang napas aku bener-bener separo. Naik turun! Ngik-Ngek-Ngok. Pelan-pelan, aku mengikuti Teh Nur, mantap berjalan ke Barak D! Di mana sudah ada enam perempuan di sana, berdiri memandang kami dari kejauhan. Setidaknya aku punya mimpi yang mau aku taruh di sini! Aku ngga mau jadi pengangguran dan jomblo terus-terusan. Aku pengen juga bisa kerja, setidaknya jadi Guru Bahasa Mandarin juga bisa. Itulah yang aku jadikan motivasi saat ini. Pertama Belajar Bahasa Mandarin gratis! Karena kalau ikut kursus harganya mahal banget, setidaknya di sini semua gratis, dari buku, kamus, sampai makan katanya juga gratis.
Sudah hampir satu tahun ini aku ngejomblo, padahal umurku udah masuk 20 tahun. Oh No! Udah kepala dua! Udah agak tua. Sejujurnya sejak SMA aku selalu planning tentang target hidupku. Di umur 22 tahun nanti, aku ingin sudah menikah, punya suami. Tapi di kampus, susah sekali nyari cowok yang mau sama aku, sekalinya ada yang suka, akunya yang ngga suka. Hmm… selama tiga bulan di sini apakah aku masih jomblo, ya? Mudah-mudahan ngga. Syukur-syukur aku dapet pangeran impian di sini. Who Knows?
***