Bab 5 - BERANTEM NYOK, JANGAN DAMAI

Sore harinya tiba-tiba terjadi keributan di tengah lapangan yang berada di depan musholla. Saat itu aku lagi coba buat jalan-jalan sebentar, melihat kondisi lingkungan asrama di mana aku bakalan tinggal selama tiga bulan di sini. 

Tahu-tahu saja dari arah barak B muncul sekitar 4 orang saling baku hantam. Mereka saling caci dengan bahasa daerah dan beberapa nama binatang yang populer disebut kalau orang lagi emosi. Hei! Hei! Ini baru hari pertama, kenapa udah pada berantem, sih.

           Udah gitu cowok-cowok yang ada di sekeliling mereka bukannya misahin malah ngasih dukungan. Keempat orang itu saling tonjok dan tendang. Aku dengar mereka sepertinya memperebutkan sesuatu.

           “Itu kamarku!”

           “Seenaknya saja kau bicara! Barak kami sudah penuh! Kontinen kau pergi saja!”

           Aksi pukul-pukulan itu akhirnya berhenti setelah Pak Ganang datang dengan meniup peluit kencang. Meski udah dipisahin sama petugas tetap saja keempat orang itu kayaknya ngotot mau menghabisi lawannya.

           “Ada apa ini, hah!?” tanya Pak Ganang. “Ini hari pertama. Tolong jaga ketertiban di asrama ini. Jangan bikin ribut!”

           “Begini, Pak!” salah satu teman orang yang tadi berantem itu angkat bicara, “Kami kontinen dari Riau sudah datang duluan dan menempati kamar di barak B! Tapi kami diusir sama mereka!”

           “Kalian kontinen darimana?” tanya Pak Ganang pada salah satu dari empat orang yang berantem itu.

           “Jawa Barat!”

           “Dengar, ya. Tujuan Karang Taruna melatih kalian bahasa mandarin di sini salah satunya adalah untuk mempersatukan pemuda-pemuda Indonesia. Agar negeri kita ini kuat, maka pemuda dan pemudi Indonesia harus menjaga persatuan dan kesatuan. Saling bahu membahu. Menuntut ilmu dan menyumbangkan ilmu untuk Indonesia. Bukannya berantem!”

           “Tapi kami sudah tempati kamar di barak B!” sela salah satu kontinen Jawa Barat.

           “Kan, bisa pakai barak C!” ujar Pak Ganang,

           “Semua barak sudah penuh, Pak.”

           “Ya sudah-sudah… biar saya yang atur penempatan kamarnya. Kalian kembali ke barak masing-masing. Setelah ini saya tidak mau lagi mendengar ada yang berantem di asrama. Atau kalian dengan tidak terhormat akan dikeluarkan dari asrama ini. Paham!?”

           Semua nampak menunduk.

           “Paham tidak!?”

           “Paham, Pak….”

           Setelah itu cowok-cowok itu pada bubar. Emang, sih, gak semua kontinen dari Riau dan Jawa Barat itu yang berantem. Cuma satu atau dua orang aja di antara mereka. Itu pun –menurut gue- mungkin karena salah ngomong atau nyenggol-nyenggol harga diri. Makanya ribut. Aah… anak cowok, kalau udah emosi susah, deh, nahannya. Penyelesaiannya pasti tonjok-tonjokkan dulu. Ngga kayak anak cewek, paling banter Cuma jutek-jutekan aja.

           Ya… untung ributnya ngga lama-lama. Dan setelah keributan ini, aku ngga pernah dengar ada keributan lagi, tuh. Paling Cuma ribut-ribut kecil karena ngerebutin cewek atau kalah dalam pertandingan sepak bola. Wajarlah… Cuma ngga nyampe berantem banget. Paling sekali tonjok dua kali tonjok udah selesai. Mereka juga takut kalau dikeluarkan dari asrama, kan?

 Soalnya mereka juga pasti punya mimpi mau ke Taiwan. Mereka semua punya impian, ke Taiwan, kerja di negeri orang dengan gaji yang tinggi dan pulang ke Indonesia dengan membawa uang berjuta-juta dan bisa sejahtera di kampung halaman. Well… ke Taiwan? Jadi TKI? Ya ampun!


***

Di malam yang menyenangkan, pasca ribut-ribut tadi sore. Semua peserta yang ada di dalam barak disuruh keluar lalu dibariskan oleh Pak Ganang. Pikirku, kita bakalan disuruh buat saling kenalan satu sama lain, maklum muka-mukanya pada asing semuanya. Tapi tiba-tiba aja Pak Ganang membawa dua orang perempuan yang baru datang dari Provinsi Bangka Belitung, muka mereka cantik dan putih-putih, yang satu rambutnya panjang yang satu rambutnya pendek.

 Yang berambut panjang ini nangis sesegukan di depan semua barisan. Aku dan semua orang yang lagi dibarisin otomatis pada celingak-celinguk. Watts de meteran aya naon, sih? Kok ada yang bombay? Dramatis sekali nampaknya seperti koki yang abis ngiris bawang terus lupa cuci tangan lalu langsung ngucek-ngucek mata. Sedih juga ngeliat tuh cewek. Usut punya maksut, ternyata si Cewek Rambut Panjang itu keilangan dompetnya. Kontan aja, kita semua dituduh sebagai tersangka. Busyet, deh! Karena tuh cewek naroh tasnya di barak D. Barak cewek satu-satunya.

           Alhasil malam pertama di asrama MLC pun disibukkan dengan bongkar muat tas, ransel, dan dompet. Si Cewek terus nangis, meski volumenya dan pitch control-nya udah mulai teratur dan berirama, tapi tetap aja tangisan si Cewek yang indah penuh dengan nada pesona, tidak membuat gentar si Maling buat ngebalikin dompet tuh cewek. Akhirnya seseorang melapor kalau dia menemukan dompet, tapi isinya cuma KTP doang! Dan emang punya cewek berambut panjang itu. Si Cewek kehilangan uang yang dia bawa dari Bangka Belitung. 

Karena kasihan, aku dan anak-anak Banten lainnya urun tangan dan memberikan bantuan keuangan seadanya. Kalau Giton kayaknya bukan hanya memberikan bantuan uang, dia juga memberikan hati dan jiwa raga yang tulus alias mulai pedekatein tuh cewek. Dasar, bujang kacang, ngga di mana-mana selalu aja ada pancingnya, tinggal dilempar dikit, dapet deh ikannya, tapi kecil… kecil!

           Lepas beberapa waktu, akhirnya kami semua mulai akrab. Berkat rayuan Giton pula, si Cewek mantan kecopetan itu akhirnya bisa tersenyum lagi juga sama kita. Namanya Angel. Aku juga kenalan sama cowok anak Jogja dan Semarang. Ada Anton, Eddy, Santoni, Agus, Yano, dan lain-lain yang aku lupa namanya. Semua rasanya jadi cerah ceria aja sepanjang malam. Apalagi ketemu teman baru dari daerah beda, pastilah banyak hal baru yang bisa diceritakan. Kami ngumpul di depan barak, mungkin karena baru pertama masuk, belum ada peraturan ketat mengenai jam malam. 

Jadi sampai jam 12 malam, kami terus aja ngobrol dan cekakak-cekikik. Sampai kemudian si Yano, entah dari mana dia dapatkan gitar. Dia mulai genjrang-genjreng pasang lagu oral alias lagu bacotan, melodi bacot dan drum bacot campur keprokan botol Aqua. Dia pun mulai memainkan sebuah intro lagu-lagu jadul milik Bang Iwan Fals. Karena aku kurang hapal, aku dan Angel cuma bisa tepuk tangan doang. Kalau di bus Patas, tepuk tangan bisa dapet duit, kalau di sini tepuk tangan abis itu bengong.

           Cewek-cewek yang lain udah mulai ngantuk. Capek kali ya dari perjalanan jauh. Mereka ada di kamar masing-masing entah sedang apa. Hanya aku dan Angel aja yang mendadak akrab. Mungkin karena senasib kali, ya. Udah digariskan Tuhan kalau aku dan Angel sama-sama bernasib cantik dan menarik. Jadi mohon maaf kalau aku ini benar adanya.

           Karena protes ngga ngerti lagu apaan, aku buru-buru request.

“Minta lagunya Cokelat! Yang Karma! Karma!” pintaku. Maklum jomblo, pengennya kasih karma ke cowok-cowok yang ngga pernah sadar kalau aku ini cantik.

Lalu, mulailah lagu Karma dinyanyikan. Aku mulai nyanyi dengan keras dan nyaring, seolah seakan sepertinya aku sedang ada di atas panggung megah dengan ribuan penonton, kukeluarkan suara sekencang mungkin, sepede mungkin.

           

Sekian lama kita bersama ternyata kau juga sama saja

           Kau kira kupercaya semua segala tipu daya oh percuma

           ….               

           Jangan menangis sayang, kuingin kau rasakan sakitnya terbuang sia-sia

memang kau pantas dapatkan!

Jreng… jreng… gonjreng! Gengjreng!

Memang kau pantas dapatkan!

Suaraku keras mengakhiri lagu.

Yano mulai genjreng… gonjreng lagi…

Back to reff

Jongrang… gonjreng…

Memang kau pantas dapatkan!

Pekikku….

Tepuk tangan mulai membahana. Agus dan Anton mulai senyum lebar.

“Wah, Angel, suara kamu bagus sekali!” kata Agus yang gayanya agak-agak feminim kayak cewek gitu.

“Agus yang nyanyi aku. Aku Achi!” ralatku, mungkin dia lupa namaku.

“Ah Angel bisa aja merendah, suara elo bagus, kok,” Agus menyentuh bahu Angel yang duduk di sebelahku. Si Angel dari tadi cuma mangap-mangap aja, kok, kagak nyanyi!

“Tapi yang nyanyi tadi aku, Gus, bukannya Angel!”

“Ah… tapi, kan, yang tadi kecopetan kan, si Angel!”

Crap!

Apa hubungannya sama suara aku!? Arrrghhh… suara aku! Suara bagus aku! Dibilang suara Angel! Angel pliss bela diri dong, kalau elo ngga nyanyi.

“Makasih, ya, Gus…” kata Angel mematahkan semangatku yang udah menggebu-gebu. Hiks… sejak kecil kepengen banget jadi penyanyi tapi ngga pernah kesampean karena ngga ada penyanyi yang giginya bolong-bolong karena dikhawatirkan menganggu konser karena sakit gigi yang tiba-tiba datang.

Sedang asyiknya berdebat dengan diri sendiri, tiba-tiba terdengar jeritan keras dari arah atas. Seperti suara orang teriak-teriak ngamuk. Sejurus kemudian, seorang cewek pendek yang kemudian aku tahu namanya Mbak Ade langsung keluar barak lalu manggilin semua yang ada di depan barak.

“Tolong! Nilam seperti kerasukan!”

Mendengar ada kata kerasukan, semua langsung berdiri dan tergopoh-gopoh naik ke atas barak. Ya ampyun… aku harap dia kerasukan bukan karena dengar aku nyanyi, kan? Pliss bukan, dong, kalau iya berarti aku emang berbakat jadi penyanyi, dong? Aku kan ngga nolak.


Aku ikutan naik ke atas, ke lantai dua barak D, barak yang sebenarnya khusus buat cewek-cewek. Sebenarnya Petugas di sini, kan, sudah melarang lelaki berhidung belang naik ke atas, tapi laki-laki yang naik ke lantai atas semuanya tidak ada yang berhidung belang, hidung mereka normal, senormalnya manusia yang normal, tidak ada yang belang.

Dengan khawatir, Anton membuka pintu kamar asal suara teriakan. Di sana ada Nilam yang sedang menjerit sambil menangis, Mbak Ade–teman satu propinsinya Nilam–sibuk ngasih minyak angin ke kakinya Nilam, sesekali dia pake sendiri ke jidatnya, pusing kali, ya, mikirin orang kesurupan. Lha wong kesurupan kok dipikirin, ya, ditolongin, dong! Dikeluarin setannya! Maka dengan sigap Anton membacakan ayat-ayat suci Al-Qur’an yang aku kurang tahu dia baca ayat apa. Anton memegang ujung kaki Nilam, cewek kecil tapi bohai itu langsung geliat geliut, semua disuruh baca surat Yasin. Kalo gak apal tinggal buka mulut aja, mangap-mangap sok bisa dot net.

Setelah beberapa menit, Nilam nampak lebih tenang, Anton member isyarat agar cowok-cowok lainnya segera pergi. Tetapi Mbak Ade meminta agar Anton tetap di lantai atas, takut Nilamnya kambuh dan setannya balik lagi.

 Hiiy… ngga merinding, sih, cuma kok agak-agak ngga nyaman gitu, ya, secara udah malem banget menjelang Shubuh pula. Alhasil, beberapa cowok nemplok di jendela ruang tamu lantai atas, nungguin Nilam kenapa-kenapa. Malah ngarep terjadi kesurupan lagi kali ya. Tapi nyatanya Nilam baik-baik aja sampai aku ketiduran lalu akhirnya lupa makan sahur.