Ada rasa canggung setelah sekian tahun tak bertemu dengannya. Dulu, kami pernah dekat. Kisah itu akhirnya menguap begitu saja tanpa kejelasan. Tepatnya dia pergi tanpa kabar selepas kami lulus sekolah dari bangku SMA.
Sekarang dia justru di depanku. Entah apa yang dia lakukan di sini?
"Kamu masih tetap cantik seperti dulu, Nesh," ujarnya memuji.
"Sekian tahun tak ada kabar, giliran bertemu masih saja suka ngegombal kamu, As."
Dia malah terbahak. Ha ha ha.
"Beneran kamu masih cantik, Nesh. Malah sekarang makin tambah cantik, kok."
"Makasih."
"Mbak ini baksonya." Si abang bakso menyerahkan mangkok bakso padaku. Ada piring kecil sebagai alas agar panas tak mengenai tangan.
Aroma wangi juga gurihnya masih sama seperti biasa. Setiap pulang aku memang tak pernah absen untuk makan bakso ini.
"Oh, ya, Nesh kamu sudah nikah?"
Aku mengangguk. "Dulu."
Untung sekarang tak seramai tadi. Hanya sisa kami bertiga juga si abang yang lagi mencuci mangkok kotor di dekat gerobak miliknya.
"Maksudnya?" Andreas bahkan sampai berhenti mengunyah bakso miliknya.
"Iya, aku sudah cerai sekarang."
"Oh, sorry."
Aku tersenyum. "Tak apa. Semua sudah jalannya."
"Oh, ya, As kamu kok bisa pindah ke sini? Maksudku bisa beli rumah di sini?"
Sejak masih jadi teman di sekolah sampai kami dekat. Aku memang lebih suka manggil di 'As'. Awalnya sih dia protes, tetapi aku gak peduli. Gak ribet saja panggil dia begitu. Ngirit kata.
"Iya, itu rumah yang beliin orang tuaku. Katanya kalau aku nikah gak usah pusing mikir tempat tinggal lagi. Aku mah tinggal terima beres. Mereka yang urus semua."
"Kapan kamu nikah? Jangan lupa undang-undang pas hari bahagia!"
Dia hanya mengangkat bahu.
"Calonnya belum ada. Selama ini aku sibuk kerja, sampai lupa umur dan lupa pula kalau jomblo."
"Aku dengar kabar setelah lulus SMA kamu pindah ke luar negeri ya, As?"
Lagi, Andreas mengangguk. "Maaf, ya, untuk yang dulu."
"Sudah gak usah dibahas lagi."
Aku melanjutkan aktifitasku makan bakso yang kuahnya tak lagi mengepulkan asap. Asyik ngobrol sampai lupa mau makan bola daging yang dimasukin ke kuah.
"Mbak Nesha, Narsiah pulang dulu, ya. Takut dicariin Bi Inah." Gadis itu ternyata sudah mengkosongkan mangkok miliknya.
Duh, malah ditinggal lagi. Namun, aku tak punya pilihan walaupun tadi sebetulnya juga sudah minta izin.
"Ok deh. Nanti aku yang bayar baksonya."
"Makasih ya, Mbak. Narsiah duluan." Gadis yang bentuk tubuhnya masih ramping itu segera beranjak dari kursinya dan melangkah untuk pulang.
Tak lama sudah tak terlihat punggungnya saat melewati tikungan di depan.
"Sudah gede kok masih keluar minta ditemenin." Tiba-tiba Andreas meledek.
Aku hanya mendecih sebal.
"Biar ramai, As." Kali ini aku jewer kuping dia.
"Nesh. Besok ada acara gak? Jalan, yuk!"
What? Dia ngajakin aku jalan.
"Acara apaan?"
"Buat temen ke kondangan." Lalu, dia nyengir. Memperlihatkan deretan gigi putihnya yang terpasang behel.
"Ya salam. Jadi jomblo mau nyewa aku buat jadi pasangan. Berani berapa?" tantangku.
"Makan bakso sepuasnya."
Sialan. Masa iya harga diriku disamain sama bakso.
"Please!"
Nah, kan. Dia tiba-tiba nongol ada maunya.
.
Sepanjang jalan menuju rumah aku masih terus memikirkan perkataan Andreas.
Dia ingin datang ke acara resepsi pernikahan salah satu anak dari kerabat mamanya. Hanya saja diminta bawa pasangan. Kalau gak orang tuanya bakal nyariin dia jodoh.
Gak nyambung banget. Terus apa hubungannya sama aku coba? Tadi aku sempat tanya begitu. Eh, dia jawab kebetulan bertemu sama aku ya sekalian minta tolong.
Andreas itu orangnya good looking. Berasal dari keluarga kaya juga. Ayahnya pengusaha. Ibunya memiliki usaha butik.
Klung!
Aku melirik gawai di sampingku. Tadi Andreas memang meminta nomorku.
'Please!'
Aku mengerutkan kening. Andai Widia di sini pasti sudah kusodorkan dia. Kali saja mereka bakal jodoh.
'Please, Nesh!'
'Kenapa musti aku sih? Emang gak punya teman cewek lain apa?'
'Gak ada yang sebaik kamu.'
Gubrak!
'Bayarannya mahal.'
'Beres.'
Eh, gak apa-apa kali ya aku Terima tawaran dia. Kali saja nanti di sana bertemu pangeran berkuda.
Katanya obat patah hati itu jatuh cinta lagi. Bukan ingin segera naik pelaminan lagi juga. Setidaknya biar ada warna pelangi lain dalam hidup. Untuk menuju ke sana aku harus memikirkan dengan baik. Duh, mikir apa sih aku ini?
Aku hanya ingin cari suasana baru. Cari pertemanan baru yang mungkin saja akan membantuku di kemudian hari. Katanya, banyak teman banyak rezeki.
'Ok. Jangan lupa tf secepatnya!'
.
Dua hari kemudian Andreas datang menjemput ke rumah.
"Wah, sampai pangling aku Nesh. Kirain bidadari dari mana gitu," ujarnya sampai melongo melihatku.
Aku mengibaskan tanganku tepat di depan wajahnya. "Sudah gombalnya. Ayuk buruan jalan."
Setelah berpamitan dengan Mama dan Papa, kami pun pergi ke pesta yang di mana tempatnya aku sendiri masih tidak tahu. Andreas cuma bilang ada di daerah Pondok Indah. Dia bilang bukan di gedung, melainkan di rumah pribadi pengantin.
Menikmati perjalanan diselingi perbincangan di antara kami. Dari yang remeh temeh sampai masalah serius. Ya, aku bilang ingin menjodohkan dia dengan Widia.
"Kamu serius mau jodohin aku sama dia?" tanya Anderas saat aku bilang tentang niatku.
"Iyalah. Kan, kalian sama jomblo akut. Siapa tahu jodoh, kan."
Andreas malah cengengngesan.
"Kenapa? Gak mau?" tanyaku mendesak.
"Bukan itu. Aku...."
"Jangan bilang kamu mau balikan sama aku, ya, As," ujarku menyelan ucapannya. Anehnya, seraut wajahnya jadi memerah gitu.
"Ha ha ha. Aku cuma bercanda, As. Aku lebih seneng andai kamu jodoh sama Widia. Dia itu gadis yang baik. Pasti akan jadi istri yang baik buat kamu. Mau, ya?"
"Kenapa gak kamu saja yang jadi calonku?"
Deg!
Manik kelam di balik lensa bertingkat itu menatap tajam ke arahku. Beruntung kami sedang berhenti di lampu merah.
"Gak lucu bercanda kamu itu, As. Ini aku sudah pura-pura jadi pasanganmu. Ogah kalau disuruh beneran."
"Iya, deh." Andreas tampak pasrah.
"Baiklah Mak comblang. Andreas Pratama siap menjalani pendekatan dengan Widia Kumala Sari."
"Cie-cie nama panjangnya saja masih diingat dengan jelas," godaku yang berhasil membuat lelaki di belakang kemudi itu salting.
Tak terasa mobil sudah berada di depan sebuah rumah yang telah disulap untuk acara pesta. Telah banyak orang berlalu-lalang saat aku mengintip ke luar jendela.
Andreas mengajakku untuk turun.
Saat hendak ingin masuk entah kenapa kaki terasa sulit untuk digerakkan bersamaan dengan mataku yang tak sengaja melihat tulisan yang ada di rangkaian bunga--berisi ucapan selamat untuk mempelai pengantin.
Aku seketika diam mematung.
"Nesh, kok malah berhenti di situ." Telingaku seakan tuli tak mendengar ucapan dari Andreas.
"Nesh." Andreas ternyata kembali menyentak lamunanku.
"As, kok kamu gak bilang sih kalau nama pengantinnya Erlang dan Dinda."
"Lha, emang kamu kenal dengan pengantin lelakinya? Kalau sama Dinda sudah pasti kamu kenal. Aku juga kaget saat tahu ternyata kami masih kerabat."
"Aku pulang saja deh," Aku membalikkan badan dan hendak pergi. Bahas, Andreas malah mencekal pergelangan tanganku.
"Nanggung, Nesh sudah sampai sini juga."
"Sorry."
Aku tak mungkin masuk ke dalam menghadiri pesta resepsi pernikahan mantan suami sendiri. Pasti di sana juga ada keluarganya Mas Erlang.
"Eh, Nesha. Kok masih di sini. Kenapa belum masuk?"
Mati aku. Itu, kan tante Rima, mamanya Andreas. "Oh, jadi ini gadis istimewa yang Andreas ceritakan."
Gak nyangka tante Rima masih ingat saja sama aku. Padahal cuma bertemu sekali dulu.