Story Berujung Curiga



"Nesh, coba lihat deh mantan kamu mau nikah lagi nih!" Widia menunjukkan story seseorang di aplikasi hijau. 

Story milik Adelia, mantan adik iparku. Aku dan kakaknya resmi berpisah 6 bulan yang lalu. Sejak saat itu sengaja aku menghapus semua nomor yang terhubung pada mantan suamiku itu. Bukan apa, aku hanya ingin menjaga kewarasan otakku dari benalu seperti Mas Erlang. Mantan suamiku yang tidak tahu diri. Meski hubunganku dengan keluarganya--orang tua dan adiknya--baik-baik saja. Selama ini mereka juga tidak pernah merecoki rumah tanggaku. 

Sudah aku naikkan derajat hidupnya. Hingga akhirnya bisa hidup enak. Eh, ujungnya malah mengkhianati setia juga kepercayaanku padanya. Dia selingkuh, main hati dengan perempuan lain di belakangku. Tak terima aku langsung menggugat cerai lelaki yang dulu karyawan di kantor milik orang tuaku. 

"Trus apa hubungannya denganku?" Aku memutar bola mata. Bagiku semua sudah berakhir dan tak ada lagi yang harus aku sesali di sini. Walaupun sejujurnya rasa perih itu tak menafikan masih saja terasa di ceruk hati hingga menembus atma. Perempuan mana yang tak sakit  hati kalau lakinya bermain hati dan mengkhianati cinta suci? 

"Ya, kali saja kamu kepo dengan calon mempelai wanitanya."

Dih, ngapain juga harus kepo. Paling juga si pelakor itu. Ketahuan selingkuh jadi sekalian saja dibawa naik ke pelaminan. Persis seperti cerita dalam sinetron yang kerap kali mama tonton. Bahkan meski alurnya ujungnya sama, tetap saja wanita yang melahirkanku itu tak berhenti menontonnya. Katanya sih buat hiburan, sebab aku belum bisa memberinya cucu di usia pernikahanku yang sudah setahun lebih. 


Hingga peristiwa itu terjadi, dengan mata kepalaku sendiri memergoki suamiku bergandeng mesra dengan perempuan di sebuah mall. Aku tidak langsung melabrak, cukup aku diam dan mengamati, tak lupa juga mengambil bukti agar lelaki itu tak akan bisa mengelak lagi nanti. 

"Yakin gak pengen tahu?" Widia kembali menyenggol bahuku. 

Aku menggeleng. Lebih baik aku memang tidak perlu tahu. 

Widia kemudian kembali menekuri gawai miliknya. 

Kali ini dia kembali membuatku penasaran dengan berita lain. 

"Eh, Nesh, coba lihat story milik Dinda deh! Dia juga mau nikah lho."

"Oh."

Dinda itu teman lamaku saat sekolah SMA dulu. Kami lumayan akrab sejak pertama kali dia masuk ke sekolah. Tepatnya sejak dia pindah ke kota ini. Dengar kabar dia masuk sekolah  bergengsi ini karena mendapatkan beasiswa. 

Beberapa kali Dinda main ke rumah. Bukan hanya akrab denganku saja, melainkan dengan keluargaku semua, termasuk papa dan mama. Tidak ada kejanggalan yang aneh dari gadis pemilik mata bulat itu. Dia ramah dan sopan, meskipun agak tertutup soal keluarganya. 

Sayang, setelah lulus SMA dia melanjutkan kuliah yang berbeda universitas denganku juga Widia. Meski begitu, sesekali kami masih bertemu untuk melepas rindu. 

Ah, aku malah melamunkan si Dinda yang sudah lama tak bersua. 

"Wid, kita balik ke kantor, yuk. Ini jam makan siang sudah habis," ajakku pada gadis yang masih betah melanjang di usianya yang sudah menginjak angka seperempat abad tersebut. Katanya, dia ingin menemukan pria yang tepat baru akan menikah. 

Sejak papa sering sakit--saat aku baru duduk di bangku kuliah semester akhir-- pekerjaan kantor diambil alih oleh kakak pertamaku. Sebelum itu dia memang telah banyak membantu papa di kantor. Memang telah disiapkan sebagai penerus di perusahaan. Aku sih hanya bantu-bantu sebisanya hingga aku menikah dan fokus mengurus suami di rumah. Apalagi atas rekomendasiku ke kakak, Mas Erlang menduduki posisi yang bagus di kantor sebagai manager. 

Aku mengenal Mas Erlang saat kuliah dulu. Dia lelaki baik dan juga pintar. Masuk ke Universitas juga melalui jalur beasiswa penuh. Sayang, kepintarannya tidak dimanfaatkan dengan baik. Saat segalanya sudah dia gengam, dia, malah lupa dari mana asalnya. Lupa akan janjinya akan setia dan tak akan membuatku menjatuhkan air mata walau setetespun. 

Bulshit. 

Setelah bercerai kehidupanku berubah. Kesepian yang menjadi alasan utamaku meminta kakak agar aku diperbolehkan lagi kerja di kantor. Apalagi mantan suamiku juga sudah tidak bekerja di sana. Tepatnya, dipecat oleh kakakku. 

Di rumah memang ada papa dan mama juga. Namun, tetap saja semua terasa berbeda. Mungkin lebih tepatnya aku ingin mencari kesibukan agar tak terus memikirkan masalahku. 

Aku tahu ini mungkin tidak adil atas prestasinya di kantor. Hanya saja kakak bilang biar lelaki itu tahu diri di mana seharusnya dia tinggal. 

Hingga akhirnya aku ditugaskan untuk mengurusi cabang yang ada di kota lain. Tepatnya setelah 3 bulan aku kembali bekerja. Tak mau sendiri, aku pun menarik juga Widia akan mau ikut bersamaku. Lumayan, setidaknya aku tidak akan kesepian di sini. 




Malam menyapa menyuguhkan gulita yang pekat dan rasa takut yang berkecamuk bagi sebagian orang. 

Pikiranku terus menerawang sejak membaca story milik Dinda. Lelaki yang ada di foto yang dia unggah sangat mirip seperti Mas Erlang. Meskipun posenya duduk membelakang, tapi aku yakin dia orang yang sangat aku kenal. 

Apa mungkin mereka hanya kenalan singkat dan langsung ingin menikah? Tapi, bukankah wanita yang dulu aku pergoki sedang bermesra dengan mantan suamiku itu bukan Dinda. Atau ada rahasia yang coba mereka tutupi dariku? 

Atau dulu Mas Erlang saat masih berstatus sebagai suamiku menjalin cinta di belakangku dengan dua wanita sekaligus? Gila jika itu benar. 

Sebenarnya aku sudah tidak ingin tahu-menahu soal kehidupan mantan suamiku setelah kami berpisah. Entah kenapa foto itu justru membuat pikiranku berkelana? 

"Wid, calon suaminya Dinda namanya siapa?" Aku menyenggol gadis yang sibuk menekuri gawai miliknya. Dia sedang asyik membaca novel di salah satu platform berbayar. Tangan satunya juga sibuk memasukkan camilan ke mulut. 

Gadis bertubuh berisi itu menoleh sejenak. "Gak tahu, orang belum dikasih undangan juga kita."

Widia juga sama seperti Dinda. Dia juga teman dari masa SMA dulu. Bedanya kita kenal sejak pertama kali pendaftaran, berbeda dengan Dinda yang pindah ke sini sudah kelas dua.

Saat kelas tiga orang tua Widia meninggal dunia sebab kecelakaan, di kota tempat kami tinggal dia tidak memiliki saudara. Akhirnya, papa menyarankan agar ikut tinggal dengan keluarga kami. 

Widia juga sudah menganggap orang tuaku seperti orang tuanya. Katanya, dia sangat bersyukur bisa kenal dengan kami. 

"Eh, tapi tunggu, deh, Nesh. Kalau gak salah lihat tadi kok aku ngerasa kenal sama lelaki yang fotonya dia unggah di story tadi. Ya, meskipun gak kelihatan mukanya."

"Siapa?"

Widia tampak diam sejenak, seperti sedang berpikir. Apa dia juga sama sepemikiran denganku menganggap bahwa calonnya Dinda itu mantan suamiku. 

Nah, kan berarti bukan aku saja yang bilang demikian. Gak mungkin gak tiba-tiba mantanku itu punya saudara kembar. Jelas ibu mertuaku bilang anaknya cuma dia, suami sama si Adelia. 

"Kek mantanmu. Eh, sorry, Nesh kalau aku salah." Wajah Widia tampak merasa bersalah. 

"It's ok. Aku pun juga ngerasa gitu. Apa perlu kita selidiki masalah ini?"

"Ciee yang cemburu." Bola mataku langsung melotot ke arahnya. 

"Canda doang."

"Gak lucu," sungutku kesal. Bantal yang di sampingku langsung kutimpuk padanya. 

"Bercanda doang, Nesha sayang."

"Iya."

"Kamu beneran ingin menyelidiki masalah ini?" Widia menatapku serius. Eh, seriburius malah. 

"Iyalah. Aku sih tidak masalah kalau mereka mau nikah. Masalahnya aku gak akan tinggal diam kalau sampai mereka berdua berkhianat di belakangku"

"Bukan apa, tak perlu aku ceritakan pasti kamu tahulah."

Widia mengangguk. "Iya, aku ngerti perasaanmu. Tenang saja apapun yang terjadi aku akan selalu berada di pihakmu."

Kami saling berpelukan. Widia memang sahabat yang baik. Bagiku dia lebih dari itu meski di antara kami tidak ada ikatan darah yang mengalir. 

Bukanlah ikatan saudara itu tak harus ada ikatan darah? Buktinya yang aslinya saudara saja bisa mengaku tak ada hubungan, kan? Bisa merenggang  karena perselisihan yang terjadi di antara mereka. 

Aku dan Widia bukan tak pernah berselisih paham. Hanya saja ujungnya kami selalu akur kembali setelahnya. Aku beruntung memiliki sahabat seperti dia. 


Saat akan memergoki mantan suami selingkuh dia juga yang menenangkan aku agar tidak bersikap bar-bar dan melabrak si pelakor itu. 

"Tenang Nesh. Main cantik kamu. Gak perlu bar-bar ngadepin orang seperti suamimu itu. Kamu gugat sekalian biar dia balik jadi kere lagi." Ya, itu yang Widia bilang saat kami memergoki Mas Erlang mendua hati. 

Widia benar bersikap bersikap lost control hanya akan membuat diriku malu. Apalagi jika lelaki itu akan lebih membeli si pelakor daripada istri sah. 


Komentar

Login untuk melihat komentar!