Sesampai di toilet aku segera mencuci muka di wastafel.
"Aku harus kuat." Aku berusaha menghibur diriku sendiri.
"Revan, terima kasih atas infonya. Tenang saja akan aku tepati janjiku tadi." Selepas mengatakan itu aku pun pergi.
.
Sesampai di rumah aku lihat Mbak Wulan sudah duduk manis di ruang tamu. Mereka sedang asyik ngobrol. Apalagi kalau bukan membahas calon anaknya Mas Asraf yang kemungkinan berjenis kelamin perempuan. Binar bahagia jelas tampak terlihat di wajah kedua wanita beda generasi tersebut.
Entah kenapa ada yang teremas nyeri di dalam sini. Bukan iri, mungkin aku hanya sedang meratapi nasib malangku saja. Belum bisa menjadi wanita yang seutuhnya.
Sejak tahu mereka akan segera menimang cucu. Papa dan mama sangat bahagia. Sangat antusias malah. Kabar baiknya semenjak itu kesehatan papa yang tadinya sempat menurun, kini perlahan semakin sehat kembali.
"Kamu udah pulang, Nesh?" tanya mama begitu melihatku sudah berdiri tak jauh dari mereka.
Aku berjalan cepat dan langsung menjatuhkan pantat ke salah satu sofa yang ada.
"Iya, Ma. Oh, ya, Mama tadi masak apa? Nesha kangen sama masakan rumah?"
"Masak kesukaan kamu. Sudah sana makan dulu!"
"Gurame dimasak asam pedas ya, Ma?"
"Iya."
Aku tersenyum. Baru membayangkan saja air liurku sudah mau menetes.
"Ayo, Mbak Wulan ikut makan sama Nesha!" ajakku pada kakak iparku yang cantik dan juga baik hati. Wanita yang sekarang sudah mengandung tujuh bulan itu hanya mengangguk.
"Kamu saja yang makan. Mbak masih kenyang. Tadi sebelum ke sini juga sudah makan. Kebanyakan makan bikin perut begah dalam posisi hamil besar gini, Nesh."
"Oh, ya, sudah. Nesha pergi makan dulu, ya, Mbak. Kalian lanjutin saja ngobrolnya."
Aku lekas beranjak menuju meja makan yang pasti sudah terhidang semua di sana.
"Mbak Nesha mau makan? Biar bibi siapin?" ujar Bi Inah begitu tahu aku sudah berada di ruang makan. Ada meja besar dengan delapan kursi. Sengaja ditaruh banyak sebab keluarga ini memang banyak jumlah penghuninya kalau pas lagi ngumpul semua.
Setelah nikah Mas Asraf memboyong istrinya ke rumah milik mereka. Hunian dua lantai itu bahkan mereka beli dari tabungan bersama. Kakak iparku itu memiliki usaha toko baju. Kadang aku juga suka ke sana untuk mencari baju. Lumayanlah suka dapat harga diskon.
"Gak usah, Bi. Nesha udah besar. Bisa ambil makan sendiri," tolakku ramah. Bi Inah sudah lama bekerja di rumah ini. Kata mama sejak aku usia dua tahun.
"Bibi sudah makan?" Giliran aku bertanya. Kadang ada rasa miris di hati. Di usia yang sudah tidak muda lagi dia masih belum mau pulang ke kampung.
"Sudah, Mbak." Bi Inah lalu tersenyum.
"Bibi jangan telat makan, ya! Kalau ada apa-apa lekas bilang mama atau papa."
Lagi, wanita yang rambutnya telah banyak memutih itu tersenyum sembari mengangguk.
Tepatnya sudah dua tahun ini Bi Inah tidak bekerja sendiri di rumah ini. Ada Narsiah yang membantu pekerjaannya. Gadis 19 tahun itu masih kerabat jauhnya. Aku yang meminta mama agar mencarikan satu tambahan ART lagi. Apalagi wanita yang melahirkanku itu juga sudah tua. Tak lagi bisa banyak membantu di dapur seperti dulu.
Sejak ada Narsiah tugas Bi Inah tidak lagi terlalu berat. Urusan bersih-bersih dan beberes rumah jadi kerjaan dia. Sementara Bi Inah lebih banyak di dapur. Membantu masak. Atau kalau mama sibuk, tugas masak diserahkan oleh dia sepenuhnya. Kami memang cocok dengan masakan perempuan yang berasal dari daerah Jawa Tengah tersebut. Maklum, mungkin kami berasal dari suki yang sama.
"Alhamdullilah kenyang," ujarku setelah memindahkan sepiring nasi lengkap dengan lauknya ke perut.
Setelah meneguk air putih dan menyisakan gelas kosong. Segera aku beranjak untuk pergi ke kamar. Sudah kenyang mataku malah ngantuk dan ingin tidur.
.
Setelah dua jam akhirnya aku terbangun dari tidurku.
"Siapa yang telpon sebanyak ini?" gumamku ketika gawai sudah di tangan.
"Widia."
Apa mungkin ada masalah dengan pekerjaannya sehingga dia sampai menelpon sebanyak ini?
Anehnya, telpon gak aku jawab. Kenapa tak meninggalkan pesan?
'Kamu telpon banyak banget, Wid? Ada apa?'
Centeng satu.
Ya sudahlah. Kalau penting nanti dia juga kembali menghubungi atau segera membalas pesan dariku.
Aku keluar kamar hendak ke dapur untuk mengambil minum.
"Rumah sepi banget, pada ke mana orang-orang?" Aku celingukan ke sana-kemari. Terlihat cuma Mbak Narsiah di dapur yang sedang merapikan perabot dan menaruh ke tempatnya.
"Pada ke mana, Mbak, kok rumah sepi?" tanyaku yang justru membuat gadis itu tersentak kaget.
"Eh, Mbak Nesha ngagetin saja." Dia sampai mengelus dadanya sendiri. "Mamanya Mbak ikut Mbak Wulan pergi barusan. Kalau papanya Mbak seperti biasa, paling lagi di kamar."
"Oh."
Setelah selesai minum aku berniat menemui papa yang ada di kamar. Sejak pulang tadi pagi aku belum sempat ngobrol sama beliau.
Begitu ada di depan pintu kamar papa, ternyata beliau sedang telpon dengan seseorang. Entah siapa? Mungkin rekan atau kerabatnya.
Telpon dimatikan. Baru mulutku akan sedikit terbuka papa justru kembali berkata," Nirwati maafkan aku."
Keningku mengkerut.
"Nirwati."
Nama siapa yang papa sebut barusan? Terus apa hubungannya dengan papa? Apa dia menyimpan rahasia yang selama ini tidak kami ketahui?
"Pa." Lelaki yang menghadap ke jendela kamar itu tampak tersentak kaget dengan panggilanku.
Bahkan, bukan hanya menyebut nama Nirwati tadi. Papa juga bilang dia merindukan pemilik nama itu.
"Papa lagi ngapain?"
"Lagi menikmati angin saja, Sayang. Sayangnya papa sini. Papa kangen sekali." Kedua tangan itu lalu terbuka dan memintaku datang.
"Nesha juga kangen banget sama Papa."
"Bagaimana kabarmu, Sayang? Apa sudah akan memberikan papa mantu?" godanya kemudian.
"Ish, Papa. Nesha itu belum lama cerai. Lagian masih trauma juga, Pa. Gak mau gegabah dulu."
Papa terkekeh. "Iya, papa cuma bercanda."
"Papa gak ada niat buat jodohin aku sama anaknya teman Papa itu, kan?" selidikku.
Dulu Papa sempat mau menjodohkanku dengan anak dari teman lamanya.
"Kalau Nesha masih berminat."
Hah! Apa iya itu cowok belum juga nikah sampai sekarang? Ah, bodoh amat. Bukan urusanku dia mau sudah nikah atau belum. Gak suka juga.
"Pa, tadi Nesha gak sengaja dengar Papa nyebut nama Nirwati. Memang siapa dia?" Mendengar pertanyaan dariku, seraut wajah yang biasa penuh wibawa itu berubah pias.
"Ah, Nesha salah dengar saja paling. Orang papa tadi lagi telepon seseorang," elak Papa.
Aku menggelengkan kepala. Masa iya aku salah dengar. Jelas-jelas Papa tadi menyebut nama Nirwati.
"Oh, mungkin ya, Pa. Nesha cuma salah dengar," ujarku kemudian. Lebih baik aku tak memperpanjang masalah ini. Tak ingin berdebat dengan Papa juga.
"Kamu berapa hari pulang, Sayang? Apa ada masalah?"
"Belum tahu, Pa mau berapa lama di sini. Nesha baik-baik saja, kok." Aku tidak ingin Papa tahu tentang masalah yang sedang aku hadapi.
"Jangan terlalu banyak pikiran, ya! Sudah waktunya kamu menata hidupmu kembali."
Aku mengangguk. Lalu, memilih pamit keluar dari kamar Papa ketika menyadari ponsel miliknya berdering.
Tak enak meskipun pada orang tua sendiri. Takut dikira nguping pembicaraan.
"Kamu yakin Nirwati punya anak lagi?" Aku yang baru keluar dari kamar Papa seketika kembali kaget.
Bicara sama siapa sih, Papa? Sudah gitu tadi raut wajahnya berubah aneh saat aku tanya tentang pemilik nama Nirwati.
Hmm. Apa lelaki kerap kali menyimpan rahasia dalam hidupnya.
Aku yang tadinya ingin segera pergi, mau tak mau memilih tetap berada di depan kamar Papa.
"Coba kamu cari tahu siapa anaknya Nirwati!" titah Papa entah pada siapa di seberang telpon sana.
Setelah itu panggilan telepon selesai. Buru-buru aku pergi agar tidak ketahuan oleh Papa lagi nguping.