Sikap Mama pun aneh
Aku yang tadinya ingin segera pergi, mau tak mau memilih tetap berada di depan kamar Papa. 


"Coba kamu  cari tahu siapa anaknya Nirwati!" titah Papa entah pada siapa di seberang telpon sana. Mungkin orang kepercayaannya. 


Setelah itu panggilan telepon selesai. Buru-buru aku pergi agar tidak ketahuan oleh Papa lagi nguping. 

Lalu, pergi ke kamarku sendiri untuk mengecek apa Widia sudah membalas pesan dariku. 

'Tadi siang ada insiden kecil di proyek, Nesh. Alhamdullilah sudah beres, kok.'

'Insiden apa?'

'Ada pegawai jatuh. Sudah dibawa ke rumah sakit.'

'Terus gimana keadaannya?'

'Kakinya patah, tapi gak parah kok.'

'Selesaikan masalah ini dengan baik. Oh, ya maaf aku belum bisa balik ke sana dulu. Masih ada yang aku urus di sini.'

'Ok.'

'Gimana sama penyelidikanmu?'

'Ada titik terang. Dinda sudah hamil. Ternyata mereka juga sudah nikah siri sejak lama. Revan yang bilang.'

'Edan tuh orang. Kamu yang sabar, ya, Nesh. Sini peluk online.'

Aku balas emoticon sedang berpelukan. 

'Aku tahu sahabatku Nesha wanita yang kuat.' Aku tersenyum miris membaca pesan dari Widia. Mungkin aku tak sekuat bayanganmu, Wid. 

'Kamu juga baik-baik ya di sana, Wid.'

'Siap.'

Tak lagi membalas pesan dari Widia, ponsel kembali aku taruh di meja. Kini, pikiranku kembali tertuju pada siapa Nirwati? 

Darimana aku harus mulai mencari informasi? Apa iya harus sewa orang buat menelusuri? Ah, bikin pusing saja. Satu belum selesai, ini ada lagi masalah baru yang tak kalah pelik.

"Nesha."

"Nesha."

Suara mama memanggilku. Segera aku keluar kamar untuk menemui. 

Mama sudah duduk manis di ruang tamu. Tak lupa di meja tergeletak beberapa kantong belanjaan. Pasti dia habis borong dari toko milik Mbak Wulan. 

"Kapan Mama pulang?"

"Barusan. Oh, ya Papa kamu ke mana?"

"Di kamar, kan. Tadi Nesha habis bicara pada Papa, kok."

"Di kamar gak ada. Makanya mama manggil kamu."

Keningku mengerut. Terus ke mana Papa pergi? Atau mungkin di ruang kerjanya dulu? 

"Sudah cari ke taman belakang, Ma? Biasanya suka di sana ngasih makan ikan." Di taman belakang sengaja dibuat kolam ikan oleh Papa. Katanya buat hobi sekaligus hiburan saat penat melanda di tengah sibuk dengan pekerjaan. Saat masih aktif di kantor dulu. Sekarang waktunya lebih banyak dihabiskan di dumah setelah memuaskan pensiun. 

Mama menggeleng. 

"Nesh. Tadi mama sama Mbak Wulan ketemu sama mantan suamimu di mall. Bukan itu saja, sekarang dia sudah nikah sama Dinda. Itu, lho teman kamu yang dulu beberapa kali main ke sini. Kok, bisa ya mereka akhirnya jodoh," ujar Mama sedikit keheranan. Jangankan Mama aku saja tak menyangka mereka tega mengkhianatiku. 

Entah Dinda yang lebih dulu menggoda mantanku itu, atau memang Mas Erlang yang mata keranjang. Anehnya, selama kenal dan akhirnya nikah aku tak melihat gelagat yang mencurigakan pada lelaki itu. Sampai pada akhirnya aku memergoki perselingkuhan dia dengan wanita itu. 

Anehnya, dia selingkuh sama siapa, eh, nikahnya sama siapa? Entah siapa dalam di balik semua ini? 

"Jodoh mana tahu, Ma. Seperti jodoh Nesha dan Mas Erlang, mana tahu kalau bakal seumur jagung. Tahu gitu mending dulu gak nikah dan gak berakhir jadi janda.


Mama sempet ngobrol sama mereka?"

"Gak sih. Mereka say hallo doang terus pergi. Mereka sudah lama nikah, ya, kok mama perhatiin perut Dinda kek udah hamil besar itu."

What? Jadi, Dinda itu juga hamil sekarang. 

"Ya mungkin saat masih nikah sama aku dulu. Mas Erlang sudah main hati sama Dinda kali," ujarku berusaha bersikap baik-baik saja. Sejujurnya dadaku bergemuruh hebat. 

"Mungkin ya. Perasaan kalian baru beberapa bulan cerai. Dia saja sudah move on. Nesha juga harus bisa, ya!"

Aku mengangguk saja.

"Kamu yang sabar, ya, Sayang. Mama yakin suatu hari kamu pasti menemukan bahagiamu." Mama mengelus pundakku pelan. 

Aku tersenyum menimpali. 

Aku tengok sekeliling. Takut tiba-tiba ada Papa atau orang lain yang ada di ruangan ini. 

"Nesh, kamu nyari siapa?" tegur Mama. 

Aku menggeleng. "Mama tahu gak siapa itu Nirwati?"

Alis wanita di sebelahku ini malah terangkat naik. "Nirwati siapa?"

Waduh, jadi Mama gak tahu-menahu soal Nirwati. Keceplosan dong! 

"Oh, kirain Mama punya teman yang namanya Nirwati gitu," jelasku sembari menggaruk kepala yang sebetulnya tidak gatal. 

"Ma. Nesha boleh nanya gak?"

Tatapan Mama malah menyelidik tajam ke arahku. Duh, jadi gak enak, kan mau tanya-tanya lagi. 

"Mau tanya apa, Sayang?"

"Hmm.... Mama dulu ketemu Papa di mana? Terus gimana akhirnya bisa nikah?" 

"Tumben kamu nanya gitu?" Bukannya langsung menjawab, Mama seperti ingin mengalihkan pembicaraan. 

"Ya ingin tahu saja, Ma. Kan, kalian hubungannya langgeng gitu. Nesha ingin berguru. Mama, kan tahu...."

Mama langsung meraih jemariku dan menepuknya pelan. "Percaya sama Mama, Sayang. Suatu saat Allah akan kasih jodoh lagi yang terbaik buat kamu. Jangan sedih hanya karena pernah gagal. Justru jadikan kegagalanmu itu pelajaran agar tak melakukan kesalahan yang sama."

"Sudah, ya mama ke kamar dulu mau naruh belanjaan," pamit Mama yang langsung saja mengambil belanjaan dan pergi. 

Nah, kan. Mama beneran menghindar. Apa iya dia juga menyimpan rahasia yang tidak kami tahu? 

Aku menghembuskan nafas kesal. Mas Erlang benar-benar tega menyakitiku. Awas saja kalian! 

"Ma." Wanita yang sudah beberapa langkah menuju kamar pribadinya itu menoleh. 

"Ditanya gitu," protesku sembari cemberut. Mode ngambek. 

"Nanti saja ya, Sayang. Mama sudah kebelet ini." 

"Ma...."

Tidak dihiraukan, wanita kesayanganku itu tetap saja terus berjalan menuju kamar. Tak lama pintu kamarnya kembali tertutup rapat. 


Untuk membunuh sepi, sore hari aku sengaja lari-lari kecil ingin mengitari komplek. Kali saja nanti nemu abang bakso langganan yang biasa mangkal deket pos jaga di depan sana. 

Setelah berganti pakaian dan memakai sepatu khusus tiba-tiba aku kepikiran untuk mengajak Mbak Narsiah. --meski usianya lebih muda aku tetap memanggilnya 'mbak' sebagai bentuk rasa hormat--

"Mbak Narsiah." 

"Iya, Mbak. Ada apa?"

"Mbak sibuk gak?"

"Gak sih. Habis gosok baju, Mbak. Barusan selesai. Mbak Nesha mau olahraga?" Dia memindai penampilanku yang jelas akan pergi cari keringat. Kalau olahraga buat menguruskan badan gak perlu aku lakukan. Bentuknya sudah mungil nan langsing. 

"Iya. Mbak Narsiah mau temenin gak?"

"Hm..."

"Jangan takut nanti aku bilang mama kalau Nesha yang ajak gitu."

Gadis itu tersenyum dan mengangguk. 

Dia kemudian pamit ingin ganti baju dulu. Sekalian bilang sama Bi Inah, takut nanti juga dicari sama dia. 

"Ayo, Mbak!" 

Kami pun pergi ke luar rumah dan segera memulai aktifitas berlari kecil menyusuri jalan yang tak ramai. Sesekali hanya melihat mobil milik para penghuni lain yang baru pulang dari kantor. 

"Sore Mbak Nesha," sapa si bapak satpam begitu berpapasan dengan kami. Sore begini biasa diadakan patroli keliling oleh salah satu dari mereka. 

"Sore Pak Bayu. Keliling, Pak."

"Iya, Mbak. Lama gak lihat Mbak Nesha,"   lanjutnya lagi. Lelaki yang masih tampak gagah di usianya yang tak lagi muda itu memang sudah akrab denganku. Setiap bertemu pasti akan menyapa. 

"Iya, Pak. Kerja di luar kota makanya jarang lihat."

Lelaki yang sudah lama kerja sebagai penjaga keamanan di sini itu tersenyum. 

"Duluan, ya, Pak," pamitku. 

Aku dan Mbak Narsiah terus melanjutkan olahraga sore. Melewati palang pos utama ternyata ada si abang bakso langganan yang lagi di sana. Terlihat beberapa orang sedang makan bakso juga. 

"Mbak laper gak?" tanyaku pada Mbak Narsiah yang beberapa kali terlihat ngos-ngosan. Berulang kali juga mengusap peluh yang membasahi kening juga wajahnya. 

"Dikit, Mbak."

Akhirnya, aku pun mengajaknya untuk menikmati bakso dulu. 

Setelah pesan, kami pun sejenak menunggu si abang bakso meracik pesanan kami.

"Masih suka makan di sini?" 

Deg!

Suara itu, kan? 

Aku pun seketika menoleh ke arah suara yang ternyata ada duduknya membelakangiku. 

"Andreas," pekikku tak menyangka akan bertemu dia di sini. 

"Iya, aku Andreas. Syukurlah kalau masih ingat sama aku." Dia lalu cengengesan. 

Ada rasa canggung setelah sekian tahun tak bertemu dengannya. Dulu, kami pernah dekat. Kisah itu akhirnya menguap begitu saja tanpa kejelasan. Tepatnya dia pergi tanpa kabar. 

Sekarang dia justru di depanku. Entah apa yang dia lakukan di sini? 










Komentar

Login untuk melihat komentar!