BANG BREWOK NAMANYA
"Saya pamit, mba. Terima kasih tumpangan berteduhnya!" ucap lelaki yang bertampang mirip gembel itu.

"Masih hujan besar, Bang. Tunggu reda saja padahal!" cegahku.

Kasihan juga kalau dia kuyup nanti. Apalagi ada petir dan kilat yang cukup memekakkan telinga. Lebih baik berteduh saja dulu. Aku juga tak mempermasalahkan.

"Saya ada urusan mendadak Mba. Maaf, ya merepotkan. Terima kasih sekali lagi!" kilah pria itu.

Tanpa bisa dicegah lagi, lelaki itu sekilat sudah melesat membelah jalan raya. Ia sepertinya tak risau jika seluruh tubuhnya terkena guyuran air dari langit.

Meski punggung pria itu tak tampak lagi, aku tetap mengarahkan pandangan ke jalan yang ia sebrangi. Makin lama, kondisi jalanan makin tinggi genangan airnya. Lampu jalan pun sekarang jadi hidup sebab matahari yang makin tertutup gulungan awan hitam. .

Untuk mengusir kejenuhan, aku menghitung penghasilan hari ini. Aku memisahkan uang produsen yang menitip makanannya dan keuntungan. Hasilnya ternyata masih jauh dari target harian keuntungannya. Alamat diomeli berjam-jam di rumah nanti. Semoga hujan cepat reda dan pembeli segera datang kembali. 

Ternyata, hujan kali ini tergolong lama. Baru reda jelang ashar. Aku hanya bisa pasrah sebab setelah ini pembeli pun tak ada yang datang. Mungkin mereka malas keluar sebab jalanan becek dan udara pun menusuk sampai ke tulang.

Lebih baik menyiapkan diri untuk menerima amarah tante Selvi saat pulang nanti. Lalu aku mulai berbenah sebab harapan itu tak mungkin terwujud lagi sebeb hujan kembali jatuh menimpa bumi.

*

"Cuma segini? Kamu itu ngapain aja Mutia! Jangan-jangan tokonya ditutup, terus kamu kelayapan, gitu?" cecar tante Selvi saat aku menyetorkan keuangan hari ini.

"Hujannya gak berhenti dari siang Tante jadi gak ada pembeli yang datang," jawabku sambil menahan nyeri hebat di kepala. Andai bisa berteriak, aku ingin berteriak meluapkan segala emosi ini.

"Alah, alasan saja! Ya sudah berarti gaji kamu dipotong sebagai hukuman kelalaian kamu!"

"Terserah Tante!"

Setelah berkata begitu, aku berlalu dari hadapannya. Namun, langkahku tertahan oleh cekalan keras tante Selvi.

"Eh, yang sopan kamu bicara pada orang tua! Tante belum berhenti bicara, kamu jangan main pergi gitu aja!" bentak tante Selvi. Saking keras suaranya, telinga ini sampai berdenging. Efeknya kepalaku menjadi lebih nyeri

"Ada apa lagi sih, Mah?" tanya om Arman. Syukurlah pria itu sudah pulang. Aku jadi bisa lepas dari kemurkaan tabte Selvi sekarang.

"Itu Pah. Masa keuntungan cuma segini. Pasti dia kelayapan gak jaga toko!" jawab tante Selvi dengan suara masoh berapi-api

"Hari ini 'kan emang hujan dari siang. Wajarlah. Sudah, sudah kasihan Mutia pasti cape banget. Mut, sana cepat istirahat!"

Aku bersorak dalam hati, tanpa menunda lagi langsung bergegas pergi ke kamar. 

*

Esok harinya lelaki berewokan itu datang lagi. Kali ini ia membeli kue berbeda. Lontong, risol dan kue lumpur. Meski tak hujan, lelaki yang rambutnya tak jelas bentuk itu tetap makan di samping toko. Aku pun meminjamkan kursi seperti kemarin.

Kali ini, aku tak memerhatikannya sebab sibuk melayani pembeli. Alhamdulilah cuacanya cerah hingga banyak yang datang ke sini.

Kalau laris begini, aku takkan diomeli saat menyetorkan hasil penjualan. Tak seperti kemarin yang habis dimarahi. Katanya dasar aku saja yang malas, membawa sial dan masih banyak lagi umpatan tak beradab.

"Cape, ya kerja begini?" tanya lelaki yang tidak kutahu namanya saat sudah tak ada pembeli. Dia bicara sambil menyimpan kursi plastik di sampingku.

"Iya, Bang, cuma udah biasa," jawabku sambil dudulk di kursi warna biru ini.

"Kapan liburnya?" tanyanya lagi.

"Enggak ada. Kerja terus."

"Wah, kok begitu. Karyawan punya hak libur, loh. Kenapa tidak protes?"

Aku menoleh pada lelaki yang gayanya sok akrab ini. Kemudian berpaling dan mengarahkan pandangan pada area jalan.

"Kadang, ada hal yang kita tak bisa protes, Bang."

Kemudian obrolan kami terhenti oleh datangnya pembeli. Lelaki itupun melipir ke samping toko. Mungkin ia mengerti posisinya. Pembeli bisa jijik kalau melihat ada orang bertampang gembel di dalam toko.

Setelah pembeli pergi, ia masuk lagi. Kali ini duduk selonjoran di lantai. Saat kucegah, dia menolak. Katanya enak begitu.

"Oh, ya siapa namamu?" tanyanya setelah terjeda beberapa detik.

"Mutia."

"Panggil saja aku bang brewok." tambahnya. Aku hanya menjawab iya.

Sebenarnya risih akan kehadiran bang Brewok. Namun, untuk mengusirnya aku tak enak. Lagipula dia sudah beli dua kali di sini. Itu bakal jadi pelanggan ke depan.

Seperti paham ketaknyamananku, bang Brewok bangkit. Ia lalu pamit dan dalam sekejap mata sudah berlari menyebrang jalan.

Eh, apa itu? Aku jongkok memungut benda hitam yang tergeletak di lantai. Ternyata dompet. Sepertinya milik bang Brewok. Saat berdiri lagi, orang yang kumaksud sudah tak tampak.

Semoga besok orangnya datang lagi

*

Cerbung baru yang bakal bikin kamu senyum dan ketawa sendiri. Romantis? Woyajelas! 

BELUM LULUS IQRO NEKAT MELAMAR PUTRI KYAI

Albi nekat melamar Syahira meski dirinya belum lulus iqro 1. Terlalu cinta membuatnya tak bisa menunggu lama sebab takut putri kyai itu dilamar orang.

Kira-kira bagaimana penerimaan kyai? Apakah ada syarat yang harus dipenuhi Albi? 

Cuzlah subscreb dan baca!