5. Mengadu Nasib



Allah akan merubah nasib suatu kaum, jika kaum itu mau berusaha dan bersungguh-sungguh dalam merubah jalan hidupnya sendiri.


Pagi ini aku sudah bersiap untuk berangkat ke kota Solo. Habis subuh tadi aku sudah mandi, tak lupa menyiapkan segala keperluan yang akan kubawa nantinya. Sedikit pelembab dan bedak tipis kuoleskan pada wajah ini, tak lupa goresan lipstik bewarna nude melengkapinya.


Ini pengalaman pertamaku didunia kerja. Paling tidak aku harus melakukan yang terbaik, tak akan kukecewakan orang-orang yang tengah memepercayaiku selama ini.


"Mit, Mita!," teriak ibu.


"I-iya Bu, bentar aku sedang bersiap ini." jawabku, aku mematut diri didepan cermin. Setelah kurasa tampilanku sudah pas, aku bergegas keluar.


"Ayo, buruan sarapan. . .ada nasi goreng kesukaanmu nih!," ajak ibu, senyum manis tersungging disudut bibirnya.


"Makasih Bu." jawabku singkat.


Tumben sekali ibu mau memasak nasi goreng kesukaanku. Padahal aku juga tak terlalu menyukainya, aku makan tiap hari hanya karna itulah makanan yang ada. Biasanya ibu hanya akan memasak untuknya saja, aku hanya mendapat sisa dari beliau.


"Buruan, makan yang banyak Mit!," pinta Ibu.


"I-iya Bu," jawabku singkat.


Aku bergegas menikmati sepiring nasi goreng buatan ibu ini. Meski hampir tiap hari aku memakannya, tapi rasanya tetap selalu enak dan pastinya mengenyangkan.


Ibu ikut menemaniku sarapan pagi ini. Memang kami hanya tinggal berdua saja. Bapakku pergi merantau keluar pulau yang pulangnya saja tak pasti. Bahkan terkadang kiriman bulanan juga terlupakan.


"Mit, ini buat bekalmu nanti. . .dicukup-cukupin yaa!," pinta ibu padaku. Ia menyerahkan beberapa lembar uang bewarna merah


"Ini buatku Bu, kok banyak banget Bu, mending sebagian ibu aja deh yang pegang," tolakku halus.


"Hustt. . .kamu itu apaan sih Mit, kamu ini kan bakalan merantau ditempat orang, buat jaga-jaga aja kan kamu juga butuh makan tiap hari, yang terpenting simpan uang ini baik-baik, jangan sampai lengah!," pinta ibu padaku.


"Ta-tapi ini enggak kebanyakan Bu?," tanyaku polos.


"Kalau lebih ya kamu simpan saja, buat pegangan kamu sebelum menerima gaji nanti!." tutur ibu padaku.


Dengan perasaan sedikit sungkan, aku langsung memasukan uang itu kedalam dompet lusuh milikku. Aku sedikit tidak enak pada ibu, takut juga jika nanti kutinggal ibu kekurangan uang.


"Bu, ibu dapat uang segini banyak dari mana?, terus nanti kalau aku tinggal ibu gimana makannya?," tanyaku pada ibu.


"Ibu kan ada simpenan Mit, lagi pula kemarin lusa Bapakmu ngirim uang buat kita. Soal ibu tak usah kamu khawatirkan Mit, ibu masih punya pegangan kok." tutur ibu meyakinkanku.


"Ibu beneran kan, makasih banyak Bu." jawabku kemudian.


Bergegas aku habiskan sepiring nasi goreng ini hingga tandas. Kenyang juga rasanya, tak lupa segelas teh hangat menjadi pelengkapku pagi ini.


Selain membekaliku dengan uang, ibu juga membawakanku beberapa snack. Kata beliau supaya bisa kumakan jika nanti aku memiliki waktu senggang. Padahal aku sendiri belum tau pasti seperti apa pekerjaanku nantinya.


"Bu, makasih banyak ya. . .aku berangkat dulu," pamitku padanya.


"Sama-sama Mit, baik-baik ya kamu disana. . .jangan lupa kasih kabar pada ibu!," ucapnya mengingatkanku.


"Itu pasti Bu." jawabku singkat.


Aku bergegas pamit dan mencium pungung tangannya. Bagaimana pun juga beliau bersikap selama ini, tetap saja aku sangat butuh do'a restunya. 


Ibu mengantarku hingga ke terminal. Dari sana aku harus naik Bus hingga sampai terminal Tirtonadi solo. Sebenarnya ibu menyarankanku untuk mengajak Murni, tapi tak enak juga aku terus-tetusan merepotkannya.


Selepas naik Bus hingga hampir kurang lebih satu jam, akhirnya sampai juga aku di terminal solo. Dari sana aku harus naik anggkot untuk sampai ditempatku traning nantinya.


"Pak, gang depan berhenti ya!," pintaku pada supir angkot.


"Baik Mbak, mbaknya sepertinya mau kerja ya?," tanyanya penasaran.


"Iya Pak." jawabku singkat.


Entah mengapa, supir itu tersenyum dan menatapku dengan pandangan yang tak bisa aku artikan. Aku bergegas turun dan membayar angkot itu.


"Makasih banyak Pak." ucapku, segera kuserahkan uang lewat jendela depan angkot itu.


"Semoga saja kerasan ya Mbak." ucapnya penuh arti. Ia bergegas kembali melajukan angkotnya itu.


Aku langsung masuk kedalam bangunan itu. Disana tampak ada dua orang yang sepertinya orang baru kaya aku. Kucoba mendekati dan bertanya pada mereka. Siapa tau bisa menambah teman untukku nanti.


"Mbak, Mas. . .mau kerja disini juga ya?," tanyaku berusaha sok ramah dan sok kenal.


"Iya nih, kami ini mau trening," jawab Mas itu.


"Kenalin namaku Bunta, dan ini teman baruku Fetty," ucap Bunta. Senyum merekah tersungging dari bibir cewek yang bernama fetty itu.


"Eh iya, kenalin aku Mita." jawabku kemudian.


Kami bertiga akhirnya masuk ke ruangan tempat traning akan diselengarakan. Sebelumnya ada seorang senior yang mengantarku ketempat penginapan yang tak jauh dari sini.


Memasuki ruang traning aku begitu terkejut, karna didalamnya berisi bangku dan kursi mirip tempat kuliahan. Hal itu mrmbuatku diliputi tanda tanya besar tentang pekerjaan ini.


Pekerjaan ini begitu menjadi misteri untukku, apalagi aku dan yang lainnya harus tanda tangan kontrak dan menahan ijazah asli yang kami miliki. Jika keluar sebelum kontrak habispun juga kena denda.


"Selamat pagi semuanya," ucap Senior yang katanya trener kami.


"Pagi." jawab kami serempak.


"Hari ini kita akan memepelajari struktur tulang belakang manusia ya, buat yang baru harap ngikutin saja ya, jika belum jelas nanti setelah sesi habis bisa bertanya!." ucapnya panjang lebar.


Ia menyerahkan buku yang katanya berisi modul yang akan kami pelajari nantinya. Seharian ini kami mempelajari seluruh anggota tubuh manusia, meski setengah hari harus dipotong waktu istirahat juga.


Aku tak menyangaka jika mendapat makan siang juga. Yah meski hanya nasi dan lauk seadanya tapi tak apalah. Paling tidak bisa menghemat pengeluaranku nantinya.


Hingga sore hari barulah kami kembali ke penginapan. Disana hampir mirip kamar tidur santri dengan tempat tidur bertingkat. Karna semua penuh, terpaksa aku harus tidur diranjang atas seorang diri.


"Kamu nggak pa-pa kan ya tidur diatas sendiri, kami dibawahmu kok," ucap salah satu senior.


"Iya nggak pa-pa kok Mbak," jawbaku, meski terpaksa tetap kuusahakan bibir ini untuk tersenyum.


"Jangan takut, mereka nggak bakal ganggu kok jika kitanya kak menganggu," ucapnya lagi.


"Maksud Mbak mereka yang tak tampak ya, emang disini klinik apa sih Mbak aku kok belum paham ya?," tanyaku ragu.


"Hah. . .masak kamu belum tau sih, ini tuh klinik terapi kaya pijat dan spa gitu loh." jawabnya meyakinkanku.


Aku hanya bisa teebelalak mendengar jawaban Seniorku. Jadi aku bakal menjadi tukang pijat, hadeh apa yang harus kukatakan pada ibu dirumah. Ia sangat penasaran juga dengan pekerjaanku.


Dret. . .

Drett. . .

Ponselku tiba-tiba saja bergetar. Ternyata ada panggilan masuk dari ibu. Ya Allah, apa yang harus aku katakan?. Akankah beliau mau menerima pekerjaanku ini nantinya??.


Komentar

Login untuk melihat komentar!