DIHINA LAGI
BAB 3 (Dihina Lagi)

"Mas Abim dan Mbak Kanya kok pakai pakaian seperti ini?" tanya Aldo setelah menarikku dan Mas Abim ke tempat yang sepi dan agak gelap. 

"Karena kamu bilang acara keluarga. Jadi ya, kita mengenakan pakaian santai. Kamu tidak bilang kalau kamu mengundang banyak rekan kerjamu seperti ini. Andai kamu bilang, kita pasti memakai pakaian yang lebih baik. Dan tentunya lebih formal seperti yang lainnya." Mas Abim menjawab pertanyaan adik bungsunya itu. 

"Loh, Mas. Bukannya sudah dikasih tahu. Kalau acara kecilnya dibatalkan, dan diganti dengan pesta seperti yang Mas lihat sekarang ini. Mas sengaja yah, mau malu-maluin aku di sini," ketus Aldo kesal. Pria itu mengusap wajahnya kasar, dan menatap kami seperti dua mahluk yang menjijikkan. 

"Loh, kamu kok ngomongnya gitu Do. Mas kan bilang, kalau kamu kasih tau acaranya bakal seperti ini. Tentu kita nggak akan datang dengan kaos oblong seperti sekarang," jelas Mas Abim lagi. Wajahnya Mas Abim sedikit kesal dengan adiknya itu. Aku tau, mungkin ia juga mulai jengah dengan sikap adiknya. 

"Sudahlah, Mas. Bilang aja Mas itu iri sama keberhasilan aku sekarang. Makanya Mas datang dengan pakaian seperti ini, Mas ingin menunjukkan bahwa aku ini adik yang tidak pengertian. Dengan kesuksesan seperti sekarang, aku tidak mampu membelikan kalian berdua pakaian yang lebih layak untuk acara formal seperti sekarang." Ucapan Aldo sangat menyakitkan. Hatiku sesak mendengar suamiku dikatai seperti itu. 

"Aldo, jaga ucapan kamu itu. Mas Abim ini Kakak tertuamu. Nggak sopan sekali kamu berbicara seperti itu pada orang yang dulunya membantu biaya sekolahmu," ucapku kesal. Rasanya sudah meledak-ledak di hatiku. Bisa-bisanya dia berkata seperti itu. Ingin kuremas saja mulutnya itu saking jengkelnya. 

"Maaf Mbak Kanya, bukan maksudku untuk menyakiti hati kalian dengan ucapanku tadi. Tapi, bukannya kalian sudah diberitahu? Lantas, meski sudah diberitahu kenapa masih datang dengan pakaian seperti ini?" Aldo sedikit merendahkan suaranya.

"Tidak ada satu orang pun yang memberitahu kami," sanggahku. Aku merasa ada yang tidak beres di sini. Kenapa Aldo terus bersikeras bahwa dia sudah memberitahu, sedang baik aku atau pun Mas Aldo tidak mendapatkan pemberitahuan apapun. 

"Ada apa ini?" Fina muncul dengan dress merah selutut. Dia terlihat cantik sekali dengan pakaian itu. Make up-nya juga terlihat sangat bagus. 

"Ada apa, Mas?" Wanita itu memfokuskan pandangannya ke arah suaminya. Aldo tidak menjawab dan hanya menatapku dan Mas Abim kesal. 

"Loh, Mbak Kanya sama Mas Abim sudah sampai. Kenapa tidak bergabung dengan yang lain?" tanya Fina begitu melihat keberadaan kami. "Emmm, tapi kenapa Mas Abim dan Mbak Kanya tidak memakai pakaian formal? Mbak Mirna sama Ririn udah ada di dalam. Mereka pakai formal semua loh," tutur Fina. Wanita itu memperhatikan penampilan kami dari ujung kepala hingga ujung kaki. 

"Maaf, Fina. Kami tidak tau kalau acaranya diubah menjadi acara formal. Dan tidak ada yang memberitahu kami, kalau acaranya dirubah," jawabku. Mendengar ucapanku Fina mengernyitkan keningnya. 

"Loh, Mbak. Mbak Ririn tidak memberitahumu? Maaf, Mbak. Kemarin aku sibuk banget harus anter undangan. Aku lupa memberitahumu secara langsung. Jadi pas ketemu sama Mbak Ririn, aku minta tolong agar dia memberitahumu sekalian." Fina menjelaskan. Aku memahami, mungkin untuk mempersiapkan acara ini membuatnya begitu sibuk. Sampai untuk mengirimkan chat padaku ia tidak sempat. Atau mungkin dia lupa saking lelahnya. Begitupun Ririn, mungkin dia juga lupa memberitahu. 

"Ya sudahlah, ayo Mbak Kanya dan Mas Abim masuk saja," ucao Aldo akhirnya. 

Aku menatap Mas Abim. Ingin memastikan apakah dia ingin tetap bergabung atau ingin pulang saja. Pria yang kutatap itu justru tersenyum, dan merangkulku untuk masuk mengikuti adik dan adik iparnya. 

Fina benar, di sana ada Mirna, Ririn, serta suami dan anak mereka. Mereka sedang asik menikmati minuman di gelas mereka. Kulihat Ririn juga sibuk mengambilkan ayam bakar untuk anaknya. 

"Sayang, kamu mau makan apa?" tanya Mas Abil mencolek daguku. Ia tersenyum, begitulah kebiasaannya. 

"Nanti saja, Mas. Aku belum lapar," jawabku. Iya, rasa laparku meluap karena perlakuan adik Mas Abim. 

"Ya udah, senyum dong. Makin cantik loh kalau wajahnya kusut begitu," ucapnya lagi. Aku pun tersenyum karena rayuan recehnya itu. 

Ah, Mas Abim. Kamu paling bisa memperbaiki moodku. Makin sayang deh jadinya. Eh?

Sejak kami datang, tidak ada sambutan atau sapaan apapun dari kedua adik Mas Abim yang lain itu. Semuanya sibuk sendiri. Untuk tersenyum pun tidak. 

"Halo Rima, lagi makan apa?" tanya Mas Abim pada anak Mirna. 

"Makan ayam bakal, Om," jawab gadis kecil itu dengan suara cadelnya. Mas Abim tersenyum. Sementara Mirna hanya diam saja, dan menarik putrinya agar melanjutkan makan. 

Aku bisa melihat Mas Abim menghela napas panjang. Mas Abim beralih pada adiknya yang lain, Ririn. 

"Rin, tadi sampai sini jam berapa?" tanya Mas Abim. Tidak digubris sedikit pun oleh adiknya itu. Mas Abim kembali menghela napas panjang. Akhirnya ia mendekatiku, kali ini ia tidak bisa menyembunyikan wajah lesunya di depanku. 

"Mas Abim kenapa?" tanyaku seolah tidak melihat apa yang terjadi. 

"Tidak apa-apa, Dik. Ayo, kamu ingin makan apa? Biar Mas ambilkan yah," tanyanya. Meski aku tahu hatinya saat ini pasti sedang sakit, ia masih tetap berusaha untuk tersenyum di depanku. 

"Enggak, Mas. Kanya enggak lapar. Ayo Mas, kita temui Aldo. Kita berikan kado yang udah kita beli kemarin." Pria itu hanya mengangguk. Aku menggandeng tangannya. Berjalan mantap ke arah Aldo dan teman-temannya berkumpul. 

Aldo terlihat sangat sibuk bercengkerama dengan teman-temannya. Di sampingnya ada Fina, sang istri yang selalu siap sedia. Melihat kedatanganku dan Mas Abim. Mereka hanya melirik sesaat, lalu kembali melanjutkan percakapan mereka. 

Sungguh hatiku sudah sakit sekali. Aku mendekati Aldo, menarik tangannya dan memberikan kado untuknya. "Selamat yah. Semoga jabatannya langgeng, dan berkah serta bahagia. Aku dan Mas Abim pulang dulu," ucapku lalu beranjak pergi dari sana. Tidak lupa, kugandeng tangan Mas Abim pergi. 

"Kanya," ucap Mas Abim pelan. Pria itu menghentikan langkahnya. 

Langkahku pun terhenti, aku berbalik menatap Mas Abim yang siap menceramahiku. "Tidak, Mas. Tidak untuk kali ini. Aku sudah tidak tahan lagi melihatmu diperlakukan seperti itu," ucapku menghentikan kata-kata yang siap ia luncurkan. 

"Jangan menghentikanku, kita pulang sekarang," ucapku lagi. Pria itu terdiam, dan mengikuti langkahku pergi. 

***

Bersambung ....


Komentar

Login untuk melihat komentar!