Perkenalkan, namaku Indra, aku adalah lulusan teknik mesin terbaik, jika ada perhargaan di TV, aku bisa menyabet semuanya, tapi harus tanpa voting atau sms dukungan. Aku sekarang bekerja disebuah perusahaan yang menjual berbagai mesin dan perbaikan, aku lebih sering bekerja di lapangan.
Aku satu kantor dengan Wafa, gadis impianku, dan impian semua orang, sifatnya yang jutek membuatku semakin penasaran, ingin sekali kutaklukkan hatinya. Wafa bekerja sebagai kasir diperusahaan mesin ini, dia lebih sering di kantor, dan lebih sering kupandangi saat aku selesai dilapangan.
Sebelum aku teruskan bercerita tentang mesin terakhirku, mesin pewujud mimpi, aku akan ceritakan dulu tentang perjuanganku mendapatkannya, walau sering gagal. Bukankah kata orang tidak ada ada usaha yang sia-sia, jadi biarkan aku mengkisahkannya agar tidak sia-sia, jadi jangan gagalkan pula aku bercerita.
*
Hari ini Wafa cuma diam, dia tidak menegurku sedikitpun dari pagi tadi hingga siang ini, berbeda dengan kemaren, dia sangat akrab sekali. Sepertinya aku harus menegurnya lebih dulu, memulai pembicaraan.
"Assalamu alaikum, Wafa?"
Kata sapaan yang biasa digunakan umum oleh banyak orang, aku tidak ingin mengambil resiko, biarlah jika terjadi sesuatu, resiko saja yang mengambilku.
"Apa!"
Ia melotot didepan komputer memandangku.
"Menjawab salam itu wajib, kok,"Aku menimpali.
"Aku sudah menjawabnya dalam hati, apa lagi!"
Dia masih melotot.
"Permisi..."
Aku berlalu, menghindari tsunami, sepertinya ia sedang dapat.
Segera kunaiki motorku, menuju pekerjaanku di lapangan, dengan gontai, menyalakan mesin motor, mesin? Perasaan Wafa? Itu dia. Aku tersenyum sepanjang perjalanan, tujuanku sekarang adalah rumah, sebentar lagi rumah tangga, karena sebentar lagi juga akan kudapatkan Wafa.
Setiba di rumah, kusiapkan peralatan, kali ini aku akan membuat mesin menuju masa depan, tentu ini agar aku tahu apa yang dikehendaki Wafa dipersekian menit kedepan, agar aku dapat mencuri perhatiannya, biarlah aku dipenjara dihatinya.
Selesai, cukup satu jam aku membuatnya, tidak perlu ditanya, Sangkuriang bisa menyelesaikan perahu dalam satu malam, semua itu karena dorongan cinta, dan yang terjadi padaku bukan dongeng.
Mesin ini tidak terlalu besar, muat untuk dimasukkan kedalam tasku, aku bisa membawanya kekantor, Wafa akan kembali menjadi kelinci percobaanku yang imut, ia akan menjadi milikku, lalu aku yang kemudian akan menjadi kelinci, karena aku akan melompat-lompat kegirangan.
*
Aku sudah tiba dikantor, aku melihat Wafa di meja depan pelayanan, aku menatapnya, ia melotot menatapku sambil mengepalkan tangan, aku berlalu sambil tersenyum manis, semut di dinding berpindah ke bibirku.
Sekarang aku didalam kamar mandi, menyiapkan mesinku, tinggal menyalakan tombol power yang juga tersambung dengan tombol semangatku. Aku memasang helm penyambung pikiranku kemasa akan datang, aku menyetel waktu ke dua menit kedepan, kupejamkan mata, mesin menyala.
Setelah selesai ritual, aku bergegas keluar dari kamar mandi, hendak menuju toko terdekat untuk membeli cokelat, aku kembali melewati Wafa didepan masih dengan tersenyum.
"Dasar otak mesum, " Dia mengumpat.
Aku tidak sempat membalasnya, terus saja berjalan keluar.
"Awas kau, Wafa, Sebentar lagi otakmu akan tercuci menjadi cinta padaku."
Aku berdelusi dengan diriku sendiri.
Akhirnya aku sudah membeli cokelat, tepat di dua menit aku sampai kembali dikantor, dimeja pelayanan, di depan Wafa aku berdiri.
"Ada apa lagi otak mesum?"
Wafa menyambutku.
"Tidak apa-apa, wahai separuh pikiranku."
Aku membalasnya dengan gombalan.
"Pantesan kau tidak waras."
Wafa malah merespon cuek sambil mengetik di depan komputernya.
"Ini..." Aku menyodorkan cokelat, tepat di depan wajahnya.
"Kok kamu tahu.... "
"Karena kau telah mendiabeteskan hatiku."
"Ah, dasar keranjang bakul!"
"Tapi kamu suka kan?"
"Iya, pedal sepeda! Tadi aku memang sempat berpikir untuk makan cokelat, tapi sekarang tidak lagi, takut gigiku rusak."
Wafa memberikan penjelasan yang tidak dapat kuterima.
"Tapi, ini tepat di dua menit," aku menyanggah.
"Maksudmu?"
"Baik, sudahlah."
Aku menarik tanganku yang berisi harapan hampa.
"Sebaiknya kau memberikan cokelat itu ke Nek Ijah depan kantor, dia juga suka."
Wafa kembali cuek sambil ngetik.
"Tak, cokelat ini untukku saja, aku takut gigi Nek Ijah sakit."
Aku berucap sambil berlalu gontai.
*
Aku kembali ke kamar mandi, mesinku berhasil, tapi mungkin aku agak telat, hingga pikiran Wafa sempat berubah, aku harus mencoba lagi, karena putus asa bisa putuskan citaku. Aku kembali menyalakan mesin, sekarang kusetel ke satu menit kedepan, biar cepat, biar pikiran Wafa tidak sempat berubah.
Aku keluar dari kamar mandi dengan tergesa-gesa, walau kebalikannya, seharusnya menuju kamar mandi lah yang kebelet. Segera kumenuju Wafa, ngos-ngosan dihadapannya.
"Ada apa lagi? Martabak asin!"
Wafa merespon.
"Anu..."
Aku mengatur nafas.
"Aku sedang banyak kerjaan nih, tolong jangan ganggu."
"Ini aku mau bantu."
"Bantu nambah kerjaan?"
"Tak, sini biar aku yang kerjain jurnalnya."
Aku mengambil kertas menumpuk diatas mejanya.
"Memang, tadi aku perlu bantuan untuk mengerjakan jurnal itu, tapi kupikir besok saja, sekalian ada kerjaan yang berkaitan dengan jurnal itu, takut bolak-balik ngerjain lagi," Wafa menyahut, ia mengambil tumpukan kertas di tanganku.
"Tapi? Inikan sudah kurang dari satu menit kan?" Aku menyahut.
"Apaan sih kamu ini! Dua menit lah! Satu menit lah! Jangan-jangan kamu menjadikanku lagi sebagai kelinci percobaanmu kan? Awas!"
Wafa berdiri dari duduknya, ia melotot kearahku sampil menunjuk-nunjuk hidungku.
"Iya, sudah, maaf."
Aku berjalan gontai, kembali menuju kamar mandi, bukan sedang diare.
*
Bersambung...