"Ngapain disini, Fa?"
Aku menyapanya, duduk disampingnya, di trotoar, bukan di pelaminan.
"Lihat saja sendiri," ia menjawab cuek.
"Bolehkah aku melihat hatimu?"
"Ah, kabel data! Ini bukan saatnya menggombal!
"Kenapa dengan bapak ini? Fa?"
Aku mengalihkan pembicaraan saat Wafa mengambil bongkahan batu.
"Bapak ini tadi jatuh, keserempet mobil, ya, aku tolong," Wafa menjawab menjelaskan.
"Lho, bagaimana dengan pacarmu, nanti kau telat menyusulnya, nanti dia keburu kenalan dengan cewek penggoda itu."
Aku mengingatkan Wafa tentang tujuan awalnya.
"Dra, ada saat kita harus berkorban demi orang lain."
"Maksudnya?"
"Seperti kau, kau rela berkorban demi aku kan? Aku tahu kau ada rasa suka denganku, tapi kau malah mengusulkan agar aku mengejar pacarku."
"Jadi, kau mau nikah denganku?"
"Terlalu cepat mengambil kesimpulan, ikan asin!"
Wafa menggeplak kepalaku.
"Lalu?"
"Kau punya cinta sejati, rela berkorban demi aku."
Wafa menatapku lekat. Aku tertunduk malu.
" Untuk apa aku mengejar pacarku yang sudah jelas tidak setia."
Wafa kembali berucap.
"Jadi kau putus?"
"Iya." Wafa berucap pelan, ia menghela nafas panjang.
*
Menurutku itu adalah keputusan yang tepat, ini benar penilaian dari lubuk hatiku, bukan karena cemburu. Untuk apa mempertahankan hubungan yang ujungnya sudah kita tahu akan berubah menyakitkan, jangan membunuh diri, jangan menjurumuskan diri kedalam kebinasaan.
"Jadi, aku boleh nikung dong? Wafa?"
Aku berucap memanfaatkan kesempatan emas.
"Ha! Tidak semudah itu, botol!"
Wafa merespon dengan mengepalkan tinju.
"Lho, tadi kan kau bilang aku punya cinta sejati?"
"Iya, itu kan cuma penilaian, bukan ungkapan rasa suka."
"Tapi?"
"Sudahlah, Dra, aku masih belum ada rasa denganmu, jadi sahabat saja sudah cukup, karena aku bisa ngata-ngatain kamu sepuasnya, bensin eceran!."
Wafa berdiri dari duduknya, ia memakai helm, menaiki motornya dan menyalakan mesin bersiap untuk pergi.
"Tapi, Fa, kau boleh tetap mengata-ngatainku meski aku sudah jadi suamimu entar."
Aku mendekati Wafa diantara bisingnya suara mesin motornya.
"Semangat, dan terus berjuangnya. Mmmmmmmmmuah..."
Wafa berucap, sambil tertawa usil, melambaikan tangan, pergi meninggalkan.
Dasar nih cewek, selalu saja membuatku baper, aku memikirkan perkataannya yang terakhir, terus semangat katanya, apakah maksudnya aku harus terus berjuang mendapatkannya? Ah, sayang sekali aku belum bisa membaca hatinya, ini bukan masalah huruf abjad, ini bahasa cinta.
*
Sekarang tersisa aku dan abang doraemon, aku duduk disampingnya, mencoba memulai keakraban.
"Bang, tadi bicara apa saja dengan Wafa?"
"Dia banyak bercerita."
"Bercerita apa bang?"
"Juga banyak meminta."
"Meminta apa, bang?"
"Ingin ini, ingin itu, banyak sekali.... lalalala..."
"Iya, apa bang?"
Abang doraemon bercerita tentang Wafa, tentang semua keinginan dan mimpinya, Wafa sangat berharap semuanya bisa terwujud, bahkan ia mengharap ia bertemu doraemon yang asli, agar bisa meminta semua keinginannya.
Itu dia, aku akan membuat mesin untuk Wafa, mesin pewujud mimpi.
*
Bersambung...