Laki-laki itu menatap rolex yang menghiasi pergelangan tangannya. Sudah tiga puluh menit berlalu bahkan kopi yang di pesannya sudah tandas disesap. Menunggu memang pekerjaan yang sangat menjengkelkan, apalagi jika orang yang ditunggunya itu orang yang nggak bisa on time. Tapi ada yang aneh, biasanya gadis itu selalu datang tepat waktu dan cukup professional. Ada trouble kah? Ah sudah hampir sebulan ia tidak bertemu dengan gadis itu. Kalau tidak salah setelah kasusnya selesai dan dia tidak membutuhkan jasanya lagi.
Apakah mungkin gadis itu tersesat? Tapi tidak mungkin juga, karena Kafe tempat mereka janjian 'Chateau Blanc Senopati' cukup terkenal di Jakarta dan orang-orang pasti tahu, pikirnya. Apakah perempuan itu menginkari janjinya? Ah, awas saja kalau itu terjadi. Pikiran laki-laki itu berubah menjadi kusut masai.
Sebuah suara yang tegas membuyarkan pikirannya yang sedang kacau.
"Maaf kalau anda menunggu cukup lama. Tadi saya mengantar teman saya dulu ke rumah sakit," sesal sigadis merasa bersalah membiarkan orang sudah menunggu terlalu lama. Tak pernah biasanya hal ini terjadi, kecuali memang sangat mendesak.
"Saya sudah menunggu anda dari empat puluh menit yang lalu."
"Wow, pasti anda sudah merugi," ujar sigadis
"Maksudmu?"
"Bagi anda hidup adalah uang kan, Mounseur." ujar gadis itu ditekan pelan. Dia sangatlah tahu orang yang ada didepannya sekarang. Workholic. Beberapa bulan menangani sebuah kasus yang menimpa keluarganya membuat ia bisa menilai siapa laki-laki yang bersamanya kini.
Hm...kata-kata itu cukup menyentil perasaannya. Kamu mungkin benar apa yang dikatakan gadis itu. Hari-harinya adalah bisnis dan bisnis, menjemukan. Tapi ia tidak bisa keluar dari lingkaran itu. Kehidupan bisnis sudah menjeratnya, meski terkadang sangat melelahkan.
"Tidak begitu juga, Kayla," ujar laki-laki itu membantahnya.
Kayla Faradisa, gadis yang ditunggunya di sebuah Kafe itu tersenyum tawar.
"Ada perlu apalagi anda memanggil saya Monsieur? Bukankah tugas saya sebagai pengacara anda telah selesai semenjak kasus itu dimenangkan dipengadilan." Kayla menatap lelaki di depannya dengan penuh keingin tahuan. Keingin tahuan yang begitu besar, semenjak laki-laki itu menelponnya kembali dan memintanya bertemu di Kafe Prancis ini.
"Berhentilah memanggil saya Mounseur, Nona."
"Terus saya harus memanggilmu apa? Bapak , ayah , mas atau......"
"Jangan gila! Panggil saja Abqa....," potong laki-laki yang bernama Abqari Agam Agler yang lebih popular di panggil Abqa. Dia laki-laki keturunan Indonesia-Prancis.
"Baiklah Pak Abqa, ada keperluan anda memanggil saya kemari?"
"Cukup panggil Abqa, Kayla Faradisa," ucap Abqa sebal ia tidak peduli dengan pertanyaan gadis di depannya yang masih memanggil pak."
"Its, oke jika itu mau anda, saya akan ikuti. Tapi tolong jawab pertanyaan saya."
Abqa laki-laki yang baru saja memasuki awal tiga puluh itu menarik nafas berat. Bingung ia harus memulainya dari mana. Tetapi ia harus mengatakannya sekarang.
"Saya menawari anda untuk menjadi kuasa hukum di perusahaan saya. Paman Hamzah yang menjadi kuasa hukum saat ini, dia meminta pensiun karena sudah tua."
"Apa...?! Apa saya tidak salah dengar, Abqa." Permintaaan Abqa barusan membuat Kayla merasa tidak percaya.
"Saya tidak berbohong." Abqa menatap lekat mata gadis yang ada didepannya.
"Kenapa harus saya?"
"Karena aku sudah mengakui reputasimu." Jelas Abqa yakin.
Kayla menggeleng pelan. " Kamu bisa menawari posisi ini pada orang lain yang lebih berpengalaman. Dalam dunia lawyer aku baru belajar berjalan. Carilah yang professional dan berpengalaman."
"Justru aku lebih suka yang muda, bersemangat dan professional. Dan kamulah orangnya."
Kembali Kayla menggeleng. Bagi dirinya penawaran itu sangat membebani hidupnya. Dunia lawyer, dunia yang ingin dia lepas dan di tinggalakan. Terlalu banyak langkah hitam yang ditempuhnya. Menguras emosi dan energi. Dunia itu memang menjanjikan kemewahan. Aliran uang bisa mengalir deras ke kantongnya. Tapi percuma saja jika tak ada ketenangan. Memenangkan kasus dengan menghalalkan segala cara. Cukup tujuh tahun saja perjalanan hidupnya di dunia itu.
"Aku menolak tawaranmu, Abqa." Kayla berkata dengan yakin.
"Kamu tahu aku tidak suka dengan penolakan," suara Abqa berubah dingin.
"Terus apa yang akan kau lakukan, jika aku menolaknya?" Kayla menantang Abqa.
"Aku akan memaksamu."
Kayla tersenyum sinis. "Tidak semua yang kau inginkan, bisa kau raih Abqa. Termasuk memaksa kehendak orang lain mengikuti keinginanmu. Dihadapanku buanglah sikap sok berkuasa dan sok kayamu karena jujur aku muak." Kayla terlihat berapi-api.
"Sayangnya aku tidak bisa. Karena aku tidak menemukan alasan yang tepat dari penolakanmu."
"Hmm....jujur aku ingin berhenti dari dunia lawyer ini," suara Kayla berubah pelan.
"Kenapa? Apakah sudah ada seseorang yang akan menjamin kesejahtraan hidupmu. Ayolah, dunia pengacara bukannya menjanjikan kemewahan untukmu."
"Aku sudah lelah. Menggelembungnya uang di rekeningku atas kasus-kasus yang aku menangkan, justeru membuat hatiku resah dan didera perasaan bersalah. Apa artinya kemewahan jika dalam hati ini, jiwaku seperti pohon yang meranggas didera kemarau. Aku membutuhkan ketenangan." Terang Kayla sambil menunjuk dadanya.
Supraise, baru kali ini Abqa mendapatkan pengakuan yang jujur bahwa seorang perempuan akan meninggalkan kemewahan demi sebuah ketenangan. Sementara di luar sana para perempuan berlomba mengejar kemewahan meski menggadaikan tubuhnya.
Login untuk melihat komentar!