Sejak usia empat tahun, Angga memiliki permasalahan dengan organ reproduksinya. Terhitung delapan kali orang tuanya melakukan upaya hingga operasi agar Angga bisa hidup normal seperti layaknya orang lain . Bersyukur jika akhirnya Angga diberi kesempatan untuk berumah tangga dan memiliki keturunan. Jika mengingat masa kecilnya, sungguh perjuangan yang tidak mudah. Sayang sekali Anggia tidak bisa dipertahankannya. Atau mungkin memang Anggia yang tidak tahan dengan kondisi kekurangan sehingga tega meninggalkan keluarganya hanya demi sebuah kenyamanan hidup saja.
Melihat kondisi perekonomian orang tua Anggia yang sangat memprihatinkan, membuat Anggia terseret arus hingga terjerumus ke perbudakan obat terlarang. Mungkin semua itu karena pemberontakannya. Dia tidak bisa menerima keadaan dengan hati lapang dan terbuka.
Awal-awal tatkala diterima oleh keluarga kakak sepupuku, Anggia sudah terbebas dari kondisi kekurangan karena kakak sepupuku bukan orang sembarangan. Mereka tergolong hidup berkecukupan dan terpandang di masyarakat. Hal ini membuat Anggia merasa terangkat harkat dan martabatnya. Hidup enak, nyaman, aman, dan tidak berkekurangan. Makan dengan menu yang tidak sembarangan, mengenakan pakaian yang tidak murahan, layaknya orang kaya. Mungkin itu yang ada di dalam angan-angan Anggia. Oleh karena itu, tatkala dirasakan gaji suaminya mulai surut, dia merasa tidak tahan lagi dan tidak bisa tampil sebaimana layaknya orang kaya. Tidak ada mobil yang bisa digunakannya ke mana-mana dengan nyaman, membuat hatinya berontak. Sayang sekali, tidak diingatnya bagaimana Angga dan keluarganya memungutnya dari sarang pecandu narkoba dan membawanya ke jalan yang lebih baik.
Kini Angga semakin mendekatkan diri kepada penciptanya. Dia sadar bahwa segala sesuatu diciptakan-Nya secara sempurna. Tidak diterimanya kondisi keluarganya dengan protes atau menggerutu, tidak! Dia tahu seberapa kapasitasnya sebagai manusia yang sebenarnya hanya debu belaka.
Sesekali Putri yang tinggal di rumah ibunya meminta agar Angga menemaninya. Itu terjadi jika Anggia meninggalkan Putri pergi entah ke mana bersama suami barunya. Angga pun menemani gadisnya itu di rumah Anggia. Sedangkan Bagus masih berada di kota lain karena ia menerima beasiswa selama pendidikan di kota lain tersebut.
“Pah..!” kata Putri mengagetkan ayahnya.
“Apa?” tanyanya sambil menghembuskan asap rokoknya.
“Ayah janji ya..!” lanjut Putri.
“Janji apa lagi, Cah Ayu!” ledek Angga sambil mencoleh dagu Putri.
“Papa jangan menikah lagi. Aku tidak mau ibu tiri!” katanya mencebik.
“Iya, Sayang. Papa tidak akan menikah lagi!” janjinya kepada Putri.
Angga mengatakan kepadaku, “Te, jika Anggia saja tidak mau menerimaku karena ekonomiku terpuruk begini, apalagi wanita lain. Jadi, buat apa aku harus menikah lagi. Iya, kan? Nanti mereka pun pasti menuntut agar aku menghidupi mereka! Menghidupi diri sendiri saja sulitnya seperti ini!” katanya dengan muka ditekuk.
“Aku mau bilang apa lagi. Memang kenyataan di masa pandemi seperti ini. Yang lebih baik ya kita mendekat kepada-Nya saja. Sebab di dekat-Nya ada damai sejahtera!” jawabku.
“Iya, betul sekali Te!” jawabnya.
“Cuma yang tidak kusukai rokokmu itu loh!” kataku agak tegas.
“Nggak gampang, Te melepasnya!”
“Kalau saat itu Anggia bisa memutuskan untuk stop narkoba, mengapa kamu tidak bisa?” tanyaku tegas.
“Hehehe.. iya, ya!”
“Uang rokokmu, menurutku bisa menjadi sesuatu yang lebih baik kukira!” kataku pendek saja. “Itu artinya, perjuanganmu kurang kuat. Cobalah, nanti hasilnya rasakan sendiri. Kesehatanmu pasti meningkat, uang rokokmu pasti bisa ditabung entah untuk apa nantinya, terserah kamu saja! Aku pernah baca sih bahwa upaya kuat seorang suami menabung uang rokoknya sehari dua puluh ribu itu bisa digunakannya untuk membeli sepeda motor setelah sekian waktu. Coba pikir sendiri, sehari 20.000 berarti sebulan kan sudah 600.000. Setahun tinggal mengalikan 12 saja, kayaknya 7.200.000 deh. Bukankah dua tahun sudah bisa untuk membeli sepeda motor baru itu, Ngga?” kataku meyakinkannya.
“Iya, sih Te..!”
“Bukan sekadar iya, melainkan kalau kamu coba melakukannya, terutama kesehatan peparumu itu loh, Ngga! Cobalah bersaing dengan orang lain. Kenapa kalau orang bisa, kamu tidak bisa memberhentikannya?” suaraku agak meninggi. “Yang penting action, Ngga! Kalau Cuma iya, iya tanpa perbuatan, itu sih namanya bohong!” kataku agak keras mengingatkannya agar bisa menghentikan kebiasaan buruk melamun dan merokoknya.
“Aku sih memang cuma ngomong doang, Ngga! Artinya, itu uang ya uangmu sendiri. Tetapi, jika uang itu bisa dimanfaatkan yang lebih bermanfaat, kurasa Tuhan pasti akan senang juga! Lalu, berikutnya, cobalah untuk menggunakan waktumu lebih efektif, semisal loh.. daripada melamun, mengapa kamu tidak mengambil penumpang dengan mengikuti aplikasi ojek online seperti adikmu?” petuahku berikutnya. Sebab jujur, aku juga jengah melihat kemalasannya. Jengah tingkat dewa! Jika mamanya saja tidak bisa memberitahu dia, siapa tahu justru aku yang didengarnya!
“Sekarang loh, Ngga.. ngapain harus gengsi atau jaga imej untuk tidak mau bergerak sementara pandemi saja bergerak cepat membunuh siapa pun yang kurang disiplin! Ngapain harus malu untuk bekerja sebagai pengemudi ojek, Ngga? Kenapa adikmu bisa menanggalkan dan meninggalkan gengsinya dengan cuek seperti itu dan akhirnya bisa menambah pundi-pundi keuangannya? Aku salut banget dengan adikmu itu, Ngga! Jujur! Bukankah adikmu juga memiliki permasalahan yang tidak kalah hebat dengan permasalahanmu?” kataku nerocos mumpung dia mau mendengarnya. Siapa tahu ada kata-kataku yang masuk ke dalam hatinya…
Kulihat dia diam sambil hanya mengerjap-ngerjapkan matanya. Aku yakin dia sedang mencerna kata-kataku yang lumayan menggelitik tadi. Kuingatkan juga bahwa mamanya yang hanya seorang pensiunan janda, sudah tidak bisa lagi membantunya sejak beberapa tahun silam. Harapannya dia putra sulung yang dibanggakannya bisa mengembangkan sayap selebar mungkin. Walau secara ekonomi tidak mampu membantu mamanya, setidaknya bisa menghidupi dirinya sendiri.
Memang bukankah tidak selamanya orang tua bisa selalu menyuport perekonomian anak-anaknya? Bukankah orang tua grafiknya kian menurun, kesehatannya kian melorot, sementara anak-anaklah yang harus berinisiatif sendiri untuk memperbaiki perekonomian keluarganya? Senyampang masih kuat, masih sehat, justru seharusnyalah menyisihkan uang tabungan. Tidak perlu banyak, yang penting tetap konsisten, pastilah suatu saat ketika terpuruk tabungan itu bisa sekadar menopang hidup kita.
Dia merasa kelimpungan karena dengan adanya aku berada di dekatnya, aku yang tidak menyukai asap rokok, dia tidak bisa merokok sembarangan lagi. Katanya sih sehari bisa dua tiga pak rokok dihabiskannya. Pedahal, harga per pak rokok berapa coba? Dengan gajinya yang tidak seberapa, tentu saja bisa jadi habis untuk konsumsi rokok. Jika makan minum masih menggerogoti mamanya yang kondisinya tidak kalah memprihatinkan, bagaimana dengan masa depannya? Masa depan putri bungsunya?
Aku meracuninya dengan memberitahukan permasalahan pelik yang sebenarnya mengganjal di hati dan pikiran mamanya. Aku tahu mamanya tidak menyukai ulahnya yang hanya menghabiskan waktu untuk merokok dan melamun seperti orang stress. Tetapi mamanya tidak bisa lagi memberi tahu. Bosan, didengar telinga kiri, keluar dari telinga kanan, katanya!
“Ini yang terakhir, Ngga! Lihatlah dirimu ke cermin. Pandanglah wajah dan penampilanmu! Jika kamu tidak bisa merawat dirimu sendiri seperti itu, tentulah orang akan mengatakan begini, ‘Pantas saja istrinya minta cerai, wong dianya seperti itu!’ dan mereka tidak salah. Karena jujur ya.. kukatakan padamu bahwa kamu itu seperti orang stress!” kataku sambil memperdengarkan suaraku di dekat telinganya. Syukurlah dia tidak marah, tetapi tersenyum kecut.
“Iya, Te! Bener semua yang diomong Tante!” gumamnya lirih sambil menundukkan wajahnya.