Arina (Ketulusan yang Terabaikan) BAB 1
#Arina
#Ketulusan_yang_terabaikan


🍃🍃🍃🍃🍃


[Assalamu'alaikum, mbak Arin. Besok, bisa kita bertemu? di cafe Rasa Sayange. Jam sepuluh pagi!]


Gawai butut kutimang-timang. Menelaah siapa kiranya sang pengirim pesan. Dari profilnya, aku bisa menebak bahwa dia adalah seorang perempuan. Bernama Rania, Rania Khaerun Niswah. Nama yang indah. 


Seingatku, aku tak pernah memiliki kawan lama, atau kawan di masa kini yang bernama Rania. Lantas, dia siapa? 


"Ada apa, Dik?" Suara Mas Fahri, suamiku, membuyarkan lamunanku tentang siapa si Rania ini. 


"Ehh, ini mas.. Ada orang kirim pesan. Ngajakin ketemuan besok, jam sepuluh." Terangku. 


"Trus?" Dia bertanya lagi. 


"Ya, aku bingung. Dia ini siapa? Kayaknya aku gak kenal, deh!" Kataku masih sambil terus membentang ingatan. Siapa tahu, dia ini salah satu alumni pesantren yang sama denganku. Tapi tetap saja, buntu! 


"Yaudah, sih. Temuin aja, Dik! Siapa tahu penting, 'kan?" Iya, mungkin ini penting. 



Segera kubalas pesan dari si pengirim misterius. Aku mengatakan, bahwa aku bersedia menemui dirinya besok. Ragu sebanranya, tapi rasa penasaran tak akan pernah ada obatnya. Kecuali, kita sendiri yang memastikan sesuatu yang membuat penasaran itu. 


Dan disinilah aku sekarang. Di halaman parkir sebuah cafe yang cukup terkenal di kota ini. Aku jarang sekali pergi ke tempat seperti ini. Atau bahkan, tidak pernah sama sekali.


Aku duduk diatas motor matic butut yang sudah kuturunkan standartnya. Menaikkan kedua kaki dengan tangan sibuk menari di atas layar gawai yang sudah butut pula. Menanti orderan. 


Aku adalah seorang penjual roti keliling. Dengan gerobak yang bertengger manis di jok bagian belakang motor. Selain offline, aku juga menjual roti pabrik ini secara online. Lumayan lah hasilnya. Untuk menghidupiku, kedua Anakku, Suami dan Mertua. 


Sebentar, Suami? 


Suamiku adalah seorang penghafal Alqur'an. Dia dilarang bekerja oleh ibunya. Alasannya klise, tak ingin hafalannya hilang. 


Dan aku, tak punya hak untuk menuntut lebih. Hanya bisa menerima. Pasrah. Legowo. Namun juga harus terlihat bodoh di mata orang lain. 


Kenapa aku diam saat suamiku tak bekerja? Karena aku sudah lelah memberi semangat dan dorongan agar ia mau mencari nafkah. Namun dia tetep kekeh, tidak mau bergerak. 


"Ibu melarangku, Dik. Dan ridla Ibu adalah senjataku. Pusakaku. Apalah arti hidupku tanpa ridlanya yang juga berarti ridla Allah?" Itu jawaban darinya. Selalu sama. 


Walaupun banyak orang bahkan juga kerabat yang sering mencaci dirinya, entah di belakangku, bahkan di depanku, aku tak perduli. Lebih tepatnya berpura menutup telinga. Aku ingin berbakti untuk Suami. Juga mengajari arti ketangguhan untuk Alwi. Anak sulungku yang berjenis kelamin laki-laki. 


Aku tak pernah mengeluh. Segala resah, keluh kesah, kutelan mentah-mentah. Sambil berdo'a semoga aku tak akan muntah. 


Orang tuaku? Tak ku beri tahu. Bukan karena apa, aku menikah karena sebuah perjodohan yang dilakukan ayahku melewati seorang kerabat. Selepas lulus dari pesantren, aku langsung menikah. Padahal aku masih ingin bekerja atau apa lah. Asal tidak menikah. 


Namun, hatiku memaksa untuk aku menerima, demi baktiku kepada orang tua. Hahahaa alasan klasik! 


Jadilah aku menerima perjodohan itu. Dan kalau sampai bapak mengetahui perihal nasib rumah tanggaku, pastilah beliau akan merasa bersalah. Dan aku tak ingin bapak merasakan itu. Aku yakin, ada hikmah sirriyah yang indah, yang tersimpan di balik perjuanganku. 


Di depanku. Berhenti sebuah mobil bermerk Honda Civic berwarna merah menyala. Membuyarkan lamunanku seketika. 


Aku mendongakkan kepala. Lalu pandanganku beralih pada layar gawai yang berkedip lampunya. Tanda adanya sebuah pesan. 


[Saya sudah sampai, mbak! Saya ada di dalam mobil merah di depannya mbak Arin.] begitu isinya. 


Aku gegas menuruni motor dan merapikan sedikit penampilan. Hingga saat kepalaku mendongak, mataku refleks membelalak. Melihat seorang perempuan cantik yang turun dari mobil merah di depanku. 


Bergamis hitam dengan aksen bordir berwarna merah muda. Khimar panjangnya berwarna merah muda pula. Anggun dan mewah.


Kulitnya putih. Hidungnya kecil mbangir. Bertambah manis dengan kacamata yang membingkai kedua mata sipitnya. 
Tingginya semampai, di tambah lagi dengan sepatu mahal yang membungkus kakinya. 


Lalu turun seorang lelaki dari balik jok kemudi. Menggunakan kemeja koko berwarna hitam dengan aksen bordir merah muda. Sama dengan yang dipakai si wanita. Tampak sangat serasi. Sengaja Couple nampaknya. 


Mataku memanas. Lalu memburam seiring adanya genangan air di pelupuknya. 


Aku menunduk, menatap alas kaki yang hanya berupa sepatu butut pemberian seorang pelanggan, sepatu bekas pakai miliknya. Rok panjang nan lebar, namun sudah pudar warnanya. Juga baju yang hanya kaos yang bertulisakan 'Healthy Honey Bread' merk roti daganganku. Ya, kaos seragam para pedagang. Fasilitas pemberian pabrik, tempatku bekerja.


Aku hanya serupa satu butir pasir di pinggiran pantai. Tak nampak bila di bandingkan dengan mereka yang ada di depan sana. 


Rania dan, Mas Fahri. Suamiku. 


....


...

Komentar

Login untuk melihat komentar!