#Arina
#Ketulusan_yang_terabaikan.
***
"Assalamu'alaikum!"
Aku mengucap salam yang hanya dijawab dengan suara lirih, mirip gumaman. Entah oleh siapa.
Di depanku, ada Mas Fahri, Rania, Ibu dan kedua anakku, Alwi dan Syifa yang tengah asyik menyantap hidangan santap siang.
Lihatlah, betapa mereka semua layak dipandang bak keluarga yang teramat bahagia.
Kebahagiaan itu jelas terpancar dari wajah Ibu Mertua dan bungsuku, Syifa. Beliau dengan lahap menyantap makanan mewah yang ada di depannya, begitu pula Syifa. Seakan-akan mereka tak pernah makan dengan menu yang kini terhidang.
Aku meringis, lantas melirik kantung kresek yang sedari tadi kugenggam. Sebelum pulang tadi, aku sempatkan mampir ke sebuah warung makan yang tengah sepi. Ibu paruh baya pemilik warung tersebut tengah melamun di teras warung. Memikirkan nasib warungnya, mungkin. Aku membeli lauk pauk untuk kedua anakku, begitu maksudku. Nyatanya, mereka sudah terlihat puas dan kenyang saat aku datang.
Aku melangkah pelan. Melewati mereka-mereka yang tengah asyik menyantap makanan.
"Makan, mbak!" Rania, ia manawariku makan. Entah betulan atau hanya kedok agar terlihat baik. Aku tak tahu dan tak perduli. kulirik hidangan yang tersaji di atas tikar yang digelar. Ada ayam goreng tepung, ayam kecap, sayur capcay, dan udang yang dimasak balado. Meriah, dan tak murah.
"Iya, aku ke belakang sebentar." Jawabku, yang hanya sebagai jawaban semu. Aku tak mungkin menyantap hidangan yang sama dengan keluargaku. Hidangan mahal yang dihidangkan oleh maduku.
Di dapur, aku mulai memindahkan isi kantung kresek kedalam sebuah piring. Hanya ini, Pecel lele tanpa nasi. Tak sebanding dengan hidangan yang tersaji di ruang depan tadi.
Sesekali, mereka terdengar saling melempar canda. Aku merasa semakin tersisih. Lihatlah, Mawar berduri yang selama sepuluh tahun terakhir rela menjaga dan merawat dirinya sendiri, justru terancam tercabut dari tempatnya tumbuh dan berdiri.
Aku menunduk dengan tangan kanan meremas kaus di bagian dada kiri. Perih, sakit, ribuan duriku menancap pada jantungku sendiri. Tak berdarah memang, tapi mengapa bisa sesakit ini?
Menyendok nasi dari magic com, lalu mulai menyantap nasi dengan sambal. Tanpa ikan lele yang tadi kubeli.
Sudah terbiasa memang, makan hanya berlaukkan sambal. Demi melihat kedua Anak dan Suamiku makan dengan lauk yang sehat dan bergizi, aku rela hanya memakan sambal dan nasi. Biasanya juga, hanya sambal Syifa yang kudapati. Karena hanya dia yang tak suka makan makanan pedas.
Mengingat raut wajah bahagia Syifa saat menyantap makanan lezat di ruang depan tadi, hatiku semakin nyeri. Menyadari bahwa aku jarang sekali bisa memenuhi inginnya untuk makan itu dan ini. Dengan alasan yang sama. Belum ada rezeki.
Aku duduk dengan jemari yang bergerak mengaduk nasi. Melamun, membayangkan perjalanan rumah tanggaku selama sepuluh tahun ini.
Aku bukan type perempuan penuntut yang meminta selalu di penuhi inginnya. Bukan juga wanita pemalas yang hanya bisa ongkang kaki saja. Aku bahkan bukan wanita yang ceroboh soal rawat merawat tubuh agar tetap nampak sempurna. Lalu, salahku dimana?
Kapan aku membantah inginnya?
Kapan aku mengecewakan dia?
Kapan aku mengabaikan kebutuhannya?
Duh, Allah.. salahku dimana?
"Buk!" Suara Alwi, sulungku, yang disertai dengan tepukan ringan di bagian lenganku, mengejutkan aku. Menyadarkan aku dari lamunanku.
"Eh, iya.. kenapa nak?" Tanyaku.
"Ibuk, nggak ikut makan?" Tanyanya polos.
"Hemm.. ini ibuk lagi makan, nak! Ibuk sudah beli lauk, mubadzir kalau tidak dimakan!" Jawabku lagi. Alwi justru mendekat dan menjatuhkan bobot tubuh di kursi sebelahku.
"Aku juga belum makan, buk. Nunggu ibuk. Kita makan barengan, ya!"
Tes!!
Air mataku menetes, lagi. Kali ini aku terharu. Datangnya Rania telah mengambil perhatian Suamiku, Mertuaku, bahkan Anak bungsuku. Tapi tidak dengan sulungku, hanya aku, hanya aku yang selalu ia rindu.
Alwi memang cenderung lebih dekat denganku di banding dengan Ayahnya, berbeda dengan Syifa yang sangat dengat dengan Ayahnya. Dan, bolehkah aku ucap
Alhamdulillah untuk ini saja?
Dengan semangat aku meladeni Alwi. Mengambilkan nasi dan lauk, lalu sebentar-sebentar menyuapi. Melihatnya begini saja, sudah membuat aku kenyang. Melihat dia yang sangat membutuhkan aku, membuatku merasa amat berharga.
"Habis ini kita shalat, ya!" Alwi mengangguk. Lalu gegas berdiri hendak mencuci tangan.
"Arin!" Saat aku hendak mencuci piring, terdengar suara Mertuaku tengah memanggil. Gegas aku ke depan. Ingin tahu, barangkali beliau butuh sesuatu.
"Ada apa, bu?" Tanyaku.
"Ini, cuci semua piring kotornya! Sisa ayam simpan di lemari makanan. Kami semua mau shalat dzuhur!" Belum sempat aku menjawab, mereka sudah beranjak. Meninggalkan aku sendirian. Memisahkan piring dan banyaknya tulang ayam.
"Dek!" Suara itu.
Jangan menangis Arin, jangan!
"Cepat, ya. Nanti kita jama'ah!" Ucap suamiku. Aku tak menanggapi dengan anggukan atau gelengan. Aku hanya diam.
Mencuci piring dan gelas sebanyak ini, memisahkan berbagai macam kotoran bekas makan. Aku lakukan. Hingga bajuku kotor, terkena cipratan air bekas cuci piring.
Aku segera mandi setelah selesai membereskan semuanya. Gegas menuju mushalla rumah karena takut tertinggal jama'ah. Dan benar saja, jama'ah dzuhur telah usai. Terlihat mereka semua tengah husyu' berdoa.
Lagi, aku harus menelan kecewa.
Mereka membalik badan, dan Mas Fahri terpaku melihatku yang tengah berdiri di ambang pintu.
"Maaf, dek. Kami ninggalin kamu." Katanya, nampak ada gurat sesal di sana.
"Salah sendiri, lama!" Ucap mertuaku dengan ketus.
Ya Allah.. bolehkah aku mengumpat kepada Ibu? sekali ini saja..
Menarik nafas panjang, lalu kuhembuskan kasar. Aku melangkah memasuki ruang shalat. Mukena yang tadi digunakan Rania, aku kenakan pula. Karena ini memang milikku. Mukena yang ku beli sedari aku masih gadis. Entah sudah berapa puluh tahun usianya.
"Buk, kita jama'ah ya! Abang juga belum shalat."
Ya Allah.. air mataku luruh lagi. Lagi-lagi sulungku menjadi sumber air di tengah gurun pasir.
"Allaahu akbar!"
Dari awal takbir dikumandangkan, hingga salam ditunaikan, air mataku seakan enggan surut. Entahlah, aku biasanya tak se-cengeng ini. Namun hari inu, rasanya aku berubah menjadi pribadi yang lain. Pribadi yang cengeng dan lemah.
Aku berniat beristirahat selepas shalat dzuhur, tidur. Karena nanti sore harus berkeliling lagi dan sekalian mengambil stok roti.
Mas Fahri berpamitan hendak mengantar Rania pulang. Aku hanya menjawab dengan gumaman. Dan aku menggumam lagi, kala Mas Fahri mengatakan bahwa ia pasti pulang. Tak menginap.
Sore, ketika aku bersiap hendak berangkat berjualan, kulihat anak-anak juga tengah bersiap menuju TPA untuk belajar mengaji. Sementara Ibu, beliau tak nampak batang hidungnya. Entah ada dimana.
Ibu Mertuaku, biasa ku panggil Ibu. Beliau adalah sosok panutan bagi masyarakat. Beliau adalah perintis organisasi keagamaan di desa ini. Sikap dan sifat ramah, selalu beliau tampakkan di depan khalayak. Tapi tidak padaku. Entah apa yang salah denganku. Aku tak tahu.
Kini, beliau mendukung bahkan menghadiri pernikahan rahasia yang dilakukan oleh suamiku. Tanpa memberi tahu padaku. Hal itu semakin membuatku yakin, kalau aku memanglah tak pernah diharapkan sebagai menantu.
Aku menyusuri jalan raya dengan perasaan gamang. Banyak kejutan yang kudapatkan hari ini. Entah, kejutan apa lagi yang telah disiapkan takdir untukku esok hari.
Aku lelah, lelah tubuh dan hati.
***