Air mata haru tak kuasa menetes membasahi pipi saat Mas Indra berhasil mengucapkan ijab kabul dengan begitu tegas dan lugas. Setelah satu bulan menjalin hubungan, akhirnya sekarang kami resmi menjadi sepasang suami istri.
Tak ada yang bisa kujelaskan bagaimana bahagianya hati ini. Setelah beberapa kali gagal menikah, akhirnya nasib baik menghampiri. Setelah sekian banyak pria menolak menjalin hubungan serius, Mas Indra datang memberikan angin segar.
Dia meminangku tanpa memandang kekurangan fisik. Tak peduli sama sekali dengan bekas luka di pipiku yang memanjang akibat kecelakaan dulu.
Dia pria baik. Tak hanya usianya saja yang dewasa, tapi pemikiran dan sikapnya juga membuatku begitu yakin akan bahagia jika hidup bersamanya. Kami pun sudah berjanji akan saling menerima kekurangan satu sama lain.
Aku semakin terisak saat Mas Indra menyematkan cincin di jari manis, lalu mengecup lembut kening ini. Tak pernah menyangka, akhirnya ada pria yang mau menerima gadis tak sempurna sepertiku.
Setelah ijab kabul, acara dilanjutkan dengan resepsi pernikahan.
"Kamu cantik sekali, Sa," pujinya sembari mengedipkan sebelah mata.
"Mas ...." Aku menunduk malu menyembunyikan semburat merah yang kuyakin sudah menghiasi pipi.
Para tamu masih berdatangan. Terkadang aku duduk sebentar saat kaki ini mulai terasa lelah karena terus berdiri menyalami mereka.
"Kamu capek, ya, Sa?"
"Sedikit, Mas."
"Sisain tenaga buat kita nanti malam, ya." Lagi. Mas Indra dengan sengaja menggoda, dan itu berhasil membuat wajahku kembali menghangat karena malu.
"Mas, ih!" Aku mencubit gemas pinggangnya, "jangan menggodaku terus!"
"Habisnya kamu ngegemesin." Dia malah tertawa senang karena berhasil menggodaku.
Semakin siang, para tamu semakin ramai memenuhi aula gedung. Senyum bahagia tak pernah lenyap dari wajah kami berdua. Apalagi di samping kanan, sebuah layar besar tengah memutarkan foto-foto dan video kami saat prewedding.
Di tengah kesibukan kami menyalami para tamu undangan, tiba-tiba semua lampu mati. Sempat terjadi keriuhan dan kepanikan. Namun, tak lama kemudian lampu kembali menyala kecuali layar dan alunan musik. Aku dan Mas Indra saling melempar tatapan bingung.
Tak lama setelah itu, detak jantungku seolah berhenti berdetak sepersekian detik. Suara khas sepasang manusia yang tengah berbagi peluh dan kenikmatan duniawi terdengar menggema di seluruh ruangan. Semua orang mulai terlihat heboh dan panik.
Sementara, aku masih berdiam diri dan mencoba mencerna apa yang sedang terjadi.
Aku tidak bodoh dan mengenal baik siapa pemilik suara ini. Perlahan aku menoleh pada Mas Indra. Wajahnya pucat. Dia menatapku dengan jakunnya yang bergerak naik turun. Raut ketakutan itu sangat terlihat jelas di wajahnya.
Mas Indra yang panik langsung berlari dan berteriak-teriak meminta pihak WO untuk memeriksa kekacauan yang terjadi. Namun, belum sempat itu terjadi, keadaan di aula gedung ini malah semakin kacau dan heboh. Di layar sana, terpampang jelas video aktivitas sepasang pria dan wanita yang tengah berbagi kehangatan dengan begitu liarnya.
Bak disambar petir di siang bolong, tubuhku mematung di tempat. Menatap tak percaya video yang sedang diputar di layar. Otak ini mendadak blank. Semua terasa sunyi. Bumi pun seakan berhenti berotasi.
Tubuhku gemetar. Hampir luruh seluruh tulang menerima kenyataan pahit dan memalukan ini. Aku berpegangan pada lengan kursi, lalu jatuh terduduk. Lemas.
Aku menoleh pada Mas Indra dengan air mata yang sudah berjatuhan. Dia tak melihatku. Mas Indra sedang panik. Dia berteriak murka dan memerintahkan semua pihak yang bertanggung jawab untuk segera mematikan layar tersebut.
Aku sama sekali tak bisa mencerna apa yang sedang terjadi. Bahkan, perlahan-lahan seolah kedua telinga ini mendadak tuli. Suara Ibu yang sedang menangis di hadapanku pun sama sekali tak terdengar.
Pelan aku bangkit dari kursi. Dengan tubuh yang gemetar, aku berjalan menghampiri Mas Indra yang sedang terlibat pertengkaran hebat dengan Ayah, juga keluarganya sendiri.
Rasanya kepala seperti berputar-putar. Kedua kaki ini seolah tak menapak di bumi. Pandangan mata semakin lama semakin mengabur dan buram. Sedikit lagi tangan ini menyentuh punggung tegapnya, tubuhku ambruk ke lantai.
Sebelum kesadaran ini hilang sempurna, samar-samar terdengar suara orang-orang berteriak memanggil namaku. Namun, detik berikutnya aku sudah tidak ingat apa-apa lagi. Gelap.
๐บ๐บ๐บ
Mataku perlahan terbuka. Pandangan memindai ke seluruh ruangan dan menyadari kalau aku sudah berada di kamar.
"Marisa?"
Aku menoleh. Ibu sedang terisak di tepi ranjang sembari menghapus air mata dari wajahnya.
"Apa yang terjadi, Bu?" tanyaku dengan suara lemah.
"Tadi kamu pingsan, Nak."
Ibu membantuku bangun, lalu duduk bersandar di kepala ranjang. Kepala ini masih terasa pusing. Aku terdiam menatap pakaian pengantin yang masih melekat di tubuh.
Air mata luruh lagi saat adegan di video tadi kembali berputar di kepala. Ibu langsung memeluk dan berusaha menenangkanku yang menangis tersedu-sedu.
"Kenapa, Bu? Kenapa semuanya jadi kacau seperti ini?"
"Ibu juga enggak tahu, Nak. Ibu enggak nyangka kalau Indra seperti itu."
"Apa salahku, Bu? Kenapa kebahagiaan seolah enggan untuk menyapaku? Apa aku enggak pantas mendapatkan itu semua?"
Ibu tidak menjawab. Hanya terisak sambil mengusap-usap punggungku dengan lembut.
"Kenapa aku harus dipermalukan seperti ini, Bu? Kenapa?" lirihku yang semakin terisak di pelukan Ibu.
Untuk beberapa saat, kami berdua hanya berpelukan dalam tangis. Namun, tak lama kemudian suara Ayah membuat kami mengurai pelukan dan sama-sama menoleh ke arahnya.
"Ayah ...."
"Turunlah sekarang. Kita harus selesaikan masalah ini dengan Indra dan keluarganya," kata Ayah sambil berjalan menghampiri kami.
"Aku enggak mau, Yah. Aku belum siap." Aku kembali menunduk dengan tetesan air mata yang jatuh membasahi punggung tangan.
"Kita harus secepatnya mengambil keputusan, Marisa. Ayah dan Ibu enggak rela kamu dipermalukan seperti ini di hari pernikahan! Kami juga enggak sudi memiliki menantu bejat sepertinya!" geram Ayah.
"Apa maksud Ayah?" tanyaku seraya menatap sendu.
"Ayah dan Ibu ingin kamu menggugat cerai Indra. Kamu enggak pantas mendapatkan pria busuk sepertinya."
"Cerai?"
Ayah mengangguk yakin, begitu juga Ibu.
Cerai? Bahkan, pernikahanku saja belum berjalan genap satu hari.
"Tapi aku ... aku mencintai Mas Indra, Yah," lirihku dengan kepala tertunduk dalam.
"Apa kamu enggak lihat apa yang dilakukannya di video tadi, Marisa?" hardik Ayah dengan suara lantang. "Dia sudah berbuat tak senonoh dengan wanita lain! Videonya bahlan diputar di depan umum! Buka matamu! Jangan hanya karena cinta kamu jadi buta!"
Aku hanya diam dalam tangis. Kebimbangan benar-benar melanda hati. Separuh hati membenarkan kata Ayah. Aku memang tidak rela Mas Indra sudah berbagi peluh bersama wanita lain. Namun, separuh hati ini juga masih begitu mencintainya.
Selama ini Mas Indra begitu baik dan sopan. Tidak pernah sedikit pun terbersit pikiran jika dia akan melakukan perbuatan menjijikan itu. Bahkan, selama berpacaran pun dia tak pernah menyentuhku.
"Ayo, Marisa! Kuatkan hatimu. Masih banyak pria baik di luaran sana yang pantas untukmu," kata Ayah lagi.
"Pria yang mana, Yah? Enggak pernah ada yang mau menerima wanita dengan wajah cacat sepertiku selain Mas Indra," lirihku sembari menghapus air mata.
"Pasti ada, Nak. Kamu enggak boleh putus asa seperti ini. Mungkin, belum waktunya saja kamu bertemu dengan jodoh," imbuh Ibu.
"Tapi, Bu ...."
"Apa kamu enggak akan tersiksa sendiri kalau nekat melanjutkan pernikahan ini, Nak? Bagaimana cara kamu melayani Indra? Apa kamu yakin bisa ikhlas melakukan tugasmu sebagai istri tanpa dibayang-bayangi perbuatannya?"
Aku menggeleng pelan.
"Ibu yakin kamu bisa dan kuat. Jangan takut dengan omongan orang, Nak. Kami akan selalu mendukung dan melakukan yang terbaik untuk kebahagiaanmu. Ya?"
Aku menarik napas dalam-dalam. Rasanya dada ini begitu sesak. Sakit. Untuk bernapas saja terasa begitu sulit. Seolah pasokan udara di ruangan ini semakin menipis.
"Ayo, Sa!" Ayah dan Ibu membantuku untuk berdiri. "Kamu harus percaya pada kami. Enggak ada orangtua yang mau anaknya disakiti dan dipermalukan seperti ini," imbuh Ayah lagi.
Aku berjalan lunglai keluar kamar dengan Ayah dan Ibu yang mengapit di samping kiri-kanan. Tungkai kaki ini rasanya masih begitu lemas.
Langkah kaki ini terhenti di anak tangga tengah. Di bawah sana, Mas Indra dan keluarganya sedang duduk membelakangi. Mas Indra menunduk dengan kedua tangannya meremas-remas rambut.
Air mata kembali luruh tak terbendung. Pria yang seharusnya membawaku menuju gerbang kebahagiaan, nyatanya hanya membawakan luka baru. Aku mencintainya, tapi juga tidak bisa menerima apa yang sudah dilakukannya.
Sanggupkah aku melepas dan kehilangan Mas Indra untuk selama-lamanya?
"Ayo, Nak!" Suara Ibu menyadarkanku yang sempat tertegun menatap Mas Indra di bawah sana.
Ibu dan Ayah kembali menuntunku menghampiri mereka. Mendekati pria yang kemungkinan besar sebentar lagi hanya akan menjadi bagian dari masa lalu.
Mas Indra, kedua orangtua dan beberapa kerabatnya yang masih menemani di sini langsung berdiri, dan menoleh saat menyadari kehadiranku.
"Marisa ...." Mas Indra maju mendekat. Dia hendak meraih tangan ini, tapi Mas Fatan langsung menepisnya dengan kasar.
"Jangan sentuh adikku!" desisnya dengan mata melotot tajam.
"Sa ... dengerin aku dulu. Semuanya bisa kujelasin."
"Diam! Kami semua enggak butuh penjelasanmu!" hardik Mas Fatan lagi.
"Ini urusanku dengan Marisa! Biarkan kami yang menyelesaikannya. Tolong ... jangan ikut campur!"
"Apa maksudmu jangan ikut campur? Dia adikku! Aku berhak melakukan apa pun untuk melindunginya dari laki-laki bejat sepertimu!"
"Aku enggak pernah ada niatan menyakitinya! Semua ini bisa kujelaskan. Aku enggakโ"
"Halah, bullshit!" tukas Mas Fatan seraya mengibaskan tangan.
"Talak adikku dan pergi dari rumah ini sekarang juga!"
"Enggak! Aku enggak akanโ"
"Cukup!" potong Ayah dengan suara tegas, "biarkan Marisa yang mengambil keputusan karena ini menyangkut kehidupan dan masa depannya."
"Sa, please ... dengerin dulu penjelasanku," mohonnya dengan suara lirih dan tatapan sendu.
Kedua tanganku mengepal kuat di samping badan. Berusaha sekuat mungkin menahan air mata agar tidak kembali terjatuh membasahi pipi.
"Marisa ...." panggilnya lagi lirih.
"Mas Indra, aku ...."
๐๐๐