Agama, Ideologi, dan Pembangunan
Hubungan antara agama dan ideologi negara pada dasarnya telah menjadi perhatian para pemikir dari zaman ke zaman. Apalagi kalau dikaitkan dengan
masalah pembangunan, yang pada dirinya mengandung urgensi tersendiri pula. Dengan demikian, terdapat bahaya sangat besar berupa keinginan untuk
menimbulkan minat belaka dalam membicarakan topik tersebut, tanpa dapat dikemukakan sesuatu yang fundamental untuk menjadi bahan renungan kita
bersama. Apalagi kalau pendekatan yang diambil hanya untuk mencari kaitan di permukaan belaka antara agama dan ideologi negara, seperti sering dilakukan juru penerang pemerintah di mana-mana di negara-negara yang sedang berkembang
dewasa ini.
Gerakan Keagamaan dan Ideologi Negara
Guna menghindarkan bahaya seperti itu, baiklah tulisan ini dimulai dengan mengemukakan sebab-sebab mengapa dianggap relevan untuk membicarakan topik
di atas, tanpa keinginan hanya mencari efek sensasional belaka. Yang paling utama,
menurut pendapat penulis, adalah: semakin banyaknya bukti yang menunjukkan besarnya hambatan dalam proses pembangunan, yang diakibatkan oleh
kesalahpahaman sangat besar antara pihak penanggungjawab ideologi negara dan pimpinan gerakan-gerakan keagamaan di kalangan negara-negara yang sedang berkembang. Kesalahpahaman ini sudah begitu jauh menghantui hubungan antara
agama dan ideologi negara, sehingga kehidupan politik di kebanyakan negara yang sedang berkembang lalu menjadi sangat labil. Tenaga sangat besar dihabiskan,
sudah tentu dengan beban sangat besar atas jalannya pembangunan, hanya untuk membatasi meluasnya pengaruh gerakan-gerakan keagamaan yang dianggap
menjadi musuh potensial bagi ideologi negara. Lambat laun beban itu membengkak sedemikian rupa, sehingga akhirnya sangat melambatkan, kalau tidak boleh dikatakan menghentikan sama sekali roda pembangunan yang semula diperhitungkan akan terlindung dari “gangguan” gerakan keagamaan dengan pengambilan tindakan-tindakan “pengamanan politis” seperti itu.
Retorika politik disusun sedemikian rupa, untuk membungkus kenyataan pahit tersebut serapat mungkin, guna tidak menimbulkan gejolak baru yang akan membuat keadaan semakin parah. Dalam pada itu, retorika politik tersebut dikemukakan bersamaan dengan tindakan-tindakan berganda untuk melemahkan gerakan-gerakan keagamaan. Di satu pihak, gerakan-gerakan keagamaan “dijinakkan” dengan bantuan negara dalam jumlah sangat besar untuk peribadatan ritual, sedang di pihak lain didukung upaya untuk memojokkan gerakan-gerakan keagamaan yang memiliki aspirasi politis yang berwatak korektif terhadap politik pemerintah. Upaya pemojokan biasanya dilakukan dengan menciptakan gerakan-
gerakan keagamaan tandingan dengan fasilitas sangat besar dari aparat kenegaraan. Dalam istilah yang umum digunakan di kalangan gerakan keagamaan
yang merasa dipojokkan, penciptaan gerakan alternatif tersebut dinamai politik “memotong baja harus dengan baja”.
Dalam hal hierarki gerakan-gerakan keagamaan mampu menghalangi pembentukan alternatif terhadap eksistensi mereka itu, melalui kohesi yang sangat tinggi dan organisasi yang tidak kalah rapinya dengan organisasi pemerintah, maka tidak dapat dihindarkan konfrontasi langsung antara penguasa dan gerakan-gerakan keagamaan. Baik yang menyuarakan aspirasi mayoritas bangsa, seperti perjuangan membela hak-hak petani kecil (campesinos) oleh beberapa gerakan Katolik di beberapa negara Amerika Latin, maupun yang menyuarakan aspirasi minoritas seperti perjuangan sejumlah gerakan Islam di Filipina untuk mempertahankan hak-
hak adat suku-suku bangsa muslim di selatan negeri itu dari jangkauan penguasa
pemerintah pusat dengan aparatnya yang menindas dan korup.
Konfrontasi langsung itu dapat mengambil bentuk bentrokan bersenjata dalam lingkup luas atau pun hanya terbatas di sebuah lingkungan kecil, maupun pertentangan fisik yang tidak seimbang antara para aktivis keagamaan yang tidak bersenjata dan menggunakan cara-cara damai (betapa militannya sekalipun) melawan aparat keamanan dengan kelengkapan pengawasan gerak-gerik dan
penyidikan (termasuk penyiksaan fisik untuk mendapatkan informasi dari pihak tertahan) yang sering sekali bersifat ultramodern. Tidak selamanya gerakan keagamaan berada dalam kedudukan lemah, terlebih-lebih jika mereka mampu membuat koalisi dengan sektor-sektor politik yang lain, seperti terbukti dengan kasus Iran. Perlawanan pasif dari pihak gerakan keagamaan, dalam artian sepenuhnya tidak
mendasarkan diri pada perjuangan bersenjata (walaupun tidak dapat menghindarkan munculnya tindakan-tindakan kaum teroris di kalangan mereka
sendiri), dalam beberapa hal sanggup membelokkan jalannya kehidupan bernegara dari acuan yang telah ditentukan semula. Kasus Turki masa kini langsung masuk ke
ingatan kita dalam hal ini. Munculnya penolakan militan (walaupun tetap secara damai) terhadap pengikisan nilai-nilai keagamaan oleh proses modernisasi yang secara formal menganut paham sekularisme di negeri itu, yang membawa kepada
labilitas sangat besar dalam “pergaulan politik” antara kekuatan-kekuatan yang terwakili dalam lembaga perwakilan rakyat, akhirnya berakhir pada penggulingan kekuasaan kabinet parlementer oleh sebuah junta militer yang mengajukan program pemulihan keadaan yang dirumuskan sudah “menjurus kepada anarki”. Demikian pula, gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir berkali-kali mampu memaksa pemerintah untuk mengambil politik yang berbeda dari garis yang semula dianut, walaupun dalam masalah perundingan langsung dengan Israel mereka tidak mampu
memaksakan sesuatu kepada Presiden Anwar Sadat.
Tidak Mundur dari Ketetapan Pendirian
Yang jelas, sekali gerakan-gerakan keagamaan memutuskan untuk mengemukakan pikiran-pikiran alternatif terhadap apa yang dijalankan oleh pemerintah, biasanya jarang sekali mereka mundur dari ketetapan mereka itu, walaupun besar risiko yang harus mereka hadapi dalam bentuk persekusi dan penindasan atas aspirasi mereka. Kasus para “pemimpin oposisi” Korea Selatan, seperti Kim Dae Jung, yang mendasarkan gerakan moral politis mereka atas keyakinan agama Nasrani dan para pemimpin Partai Keselamatan Nasional di Turki, di bawah pimpinan Nejmedin (ejaan Turki: Necmettin) Erbakan, adalah contoh yang nyata dalam hal ini. Ketahanan ini sudah terbukti sebelumnya, yaitu di masa perjuangan kemerdekaan dari tangan penjajah, dan dalam perkembangannya di masa pembangunan mengambil bentuk perlawanan terhadap apa yang dirumuskan sebagai “penjajahan terselubung” oleh
perusahaan-perusahaan multinasional, persekutuan-persekutuan militer, dan sebagainya.Ketetapan pendirian gerakan-gerakan alternatif yang berlandaskan pada aspirasi keagamaan itu datang dan tumbuh dari kemampuan merumuskan pemikiran mereka dari sumber-sumber ajaran agama, sehingga apa pun yang mereka yakini memiliki dimensi keabadian perjuangan dan kelanggengan cita-cita. Pengorbanan yang harus diberikan hanya merupakan sebagian saja dari keseluruhan perjuangan yang
tidak akan pernah berhenti. Kegagalan demi kegagalan hanya menjadi susunan bata yang akan membentuk gedung indah yang dicita-citakan, darah dan keringat yang tercurah adalah penyiram bagi tumbuhnya cita-cita itu sendiri. Konsep kesyahidan (martyrdom) mendudukkan akibat tindakan persekutif dan penindasan fisik dalam kerangka yang sama sekali berlainan dari apa yang dimaksudkan oleh aparat yang
melaksanakan persekusi itu sendiri. Munculnya ketahanan luar biasa untuk terus memperjuangkan aspirasi di hadapan segala macam kesulitan dalam intensitas sedemikian besar, sebagai studi yang praktis dicapai oleh setiap gerakan alternatif kalau telah menemukan “diri”nya, membawakan problema besar berupa “lingkaran setan” eskalasi perlawanan versus “tindakan pengamanan pemerintah” di banyak
negara yang sedang berkembang. Eskalasi dalam konflik antara gerakan keagamaan di satu pihak dan pemerintah di pihak lain, dengan bebannya yang
demikian besar atas kelangsungan pembangunan, adalah persoalan dasar yang dihadapi oleh umumnya negara yang sedang berkembang.
Memang ada upaya untuk menutupi wujud persoalan dasar ini, dengan
mengetengahkan berbagai “persoalan dasar” lain, seperti kesulitan sangat besar dalam mengubah sikap hidup tradisional, kecilnya kemampuan untuk segera
mengembangkan sumber-sumber alam atas tenaga swakarsa mandiri, tidak tersedianya kelengkapan teknis untuk mendirikan infrastruktur sosial-ekonomi yang diperlukan dalam mutu dan lingkup yang cukup bagi kebutuhan pembangunan, dan seterusnya. Namun, masalah-masalah “teknis” seperti itu, betapa mendasarnya sekalipun, tidak memunculkan kerawanan situasi yang dibawakan oleh kesalahpahaman antara ideologi negara dan keyakinan agama yang muncul di sejumlah besar negara berkembang dalam dua dasawarsa terakhir ini. Bagaimana pun juga, akan sia-sialah kecenderungan menutupi permasalahan sebenarnya, karena ia hanya akan menunda saja penyelesaian persoalan dasar itu sendiri secara tuntas, dengan bahaya ledakan-ledakan sosial yang hebat sebagai “jalan penyelesaian”. Sikap menutup mata terhadap persoalan dasar di atas akan
membuat konflik yang ditimbulkan tak terkendalikan lagi (unmanageable conflict) dalam jangka panjang.
Pertentangan yang Berlarut
Tinjauan atas kesulitan-kesulitan dalam hubungan antara aspirasi agama dan
ideologi negara harus dipusatkan pada pertumbuhan ideologi negara itu sendiri di kebanyakan negara-negara yang sedang berkembang, yang prosesnya belum menetap. Pemusatan perhatian seperti ini akan membawa kepada pengenalan mendalam atas sumber-sumber kesulitan hubungan di atas, sehingga pemecahan masalah yang diusulkan juga dapat dilakukan secara tuntas karena berpijak pada
persoalan yang nyata.
Kesulitan-kesulitan itu bermula pada proses penumbuhan ideologi negara yang
berjalan secara labil. Pertentangan antara ideologi-ideologi sekuler dan teokratis senantiasa berjalan berlarut-larut, dan biasanya tidak selesai dengan hanya
tercapainya kompromi formal saja. Kasus penetapan Pancasila sebagai ideologi negara Republik Indonesia dapat dikemukakan dalam hal ini. Aspirasi sekularistis
dari gerakan-gerakan nasionalis dan gerakan-gerakan keagamaan non-Islam berbenturan dengan aspirasi “golongan Islam” dengan hebatnya di saat-saat kritis
menjelang tercapainya kemerdekaan formal dari tangan tentara pendudukan Jepang.
Segera setelah tercapainya “penyelesaian” formal berupa ideologi negara yang dinamai Pancasila,10 perbenturan masih berlanjut dalam bentuk upaya “pengamanan“ Pancasila itu sendiri di lingkungan masing-masing pihak, dari
kemungkinan “penyimpangan” oleh lawan politik (political adversaries) yang berbeda dari musuh politik atau political enemies. Upaya itu terutama ditumpukan pada tindakan-tindakan politik untuk sejauh mungkin menguasai aparat pemerintahan dan kelengkapan negara. Baik di masa perjuangan fisikmempertahankan kemerdekaan (1945-1949), masa Demokrasi Liberal (1950-1959), masa “Demokrasi” Terpimpin (1959-1966), maupun di masa Orde Baru sejak 1966, “pengamanan” ideologi negara dari kemungkinan “salah penafsiran” senantiasa mengambil bentuk penguasaan aparat pemerintahan dan kelengkapan negara dan “mendayagunakannya” bagi perumusan “penafsiran yang benar” atas ideologi negara. Di saat ini, upaya tersebut mengambil bentuk penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila
(P4) secara tidak berkeputusan, walaupun dalam kenyataannya muncul juga “perlawanan politis” (political adversity) terhadap rancangan Ketetapan MPR yang melandasinya dalam Sidang Umum yang lalu, karena ketakutan justru kepada besarnya kemudahan untuk melakukan penyelewengan penafsiran melalui rancangan ketetapan itu sendiri.
Kasus perkembangan Pancasila sebagai ideologi negara seperti dikembangkan di atas, bukanlah kasus yang unik. Di banyak negara, pertumbuhan awal dari ideologi negara dan kemudian proses pemantapannya mengambil bentuk dialog intensif antara pihak-pihak yang berbeda pendapat. Ada yang berupa dialog terbuka untuk mendiskusikan penafsiran konstitusi, seperti dilakukan kaum federalis dan kaum republiken (terutama Hamilton melawan Jefferson) di Amerika Serikat pada dua dasawarsa pertama abad kesembilan belas, dan kemudian antara kaum konfederasi
yang menghendaki dilanjutkannya perbudakan dan kaum abolisionis yang berpendirian sebaliknya pada pertengahan abad yang sama. Tetapi dialog itu ada
pula yang mengambil bentuk proses “tawar-menawar yang sepi” (silent bargainings), seperti yang berlangsung di negeri kita dalam dasawarsa enam puluhan dan tujuh puluhan dan kemungkinan besar masih berlanjut dalam dasawarsa delapan puluhan
ini. Proses tolak angsur (tug-of-war) antara aspirasi teologis dan aspirasi sekuler yang berlangsung di negeri kita dewasa ini adalah bagian dari jalannya “tawar-
menawar yang sepi” itu.
Dialog di seputar ideologi negara itu mengambil cara penyelesaian sementara yang berbeda-beda pula pada tahap yang berlainan, sebelum pada akhirnya dicapai kesepakatan yang lebih-kurang berwatak menetap. Penyelesaian sementara itu ada
kalanya pertumpahan darah dalam skala besar, seperti perang saudara di Amerika Serikat di abad yang lalu, perang Biafra di Nigeria, dan “perang kemerdekaan” bangsa Bengali di Pakistan Timur melawan otoritas “penjajahan” Pakistan Barat
yang berkesudahan pada lahirnya negara baru Banglades. Tetapi yang lebih sering
terjadi adalah penumpasan pendirian yang dianggap menentang konstitusi, seperti aspirasi gerakan-gerakan separatis DI, RMS, PRRI-Permesta, dan OPM di negeri
kita. Penumpasan itu dapat terjadi secara fisik, dalam bentuk tindakan militer atas gerakan yang dianggap sebagai separatis, tetapi dapat juga terjadi dalam bentuk pelarangan sesuatu paham melalui proses perundang-undangan, seperti terjadi atas
“ideologi” kasta dari beberapa kelompok Hindu konservatif di India, beberapa gerakan politik seperti Masyumi dan PKI di negeri kita (walaupun yang terakhir ini melalui pertumpahan darah dalam skala besar pula), dan gerakan Ikhwanul Muslimin di sementara negara Arab (Mesir, Siria, dan Irak).
Penyelesaian sementara itu juga tidak selamanya berakhir pada kerugian pihak yang semula dituduh sebagai “gerakan separatis”, walaupun harus diakui
kebanyakan memang berakhir seperti itu. Dua buah kasus menonjol yang dapat dikemukakan di sini, masing-masing mewakili model penyelesaian tersendiri, adalah kasus Iran dan Pakistan. Pada kasus Iran, gerakan keagamaan semula dipojokkan
sebagai reaksioner, terbelakang, tradisional, kolot, dan sebagainya. Pada waktu perlawanan tak kunjung padam, gerakan keagamaan bahkan dituduh sebagai
penyimpang dari garis modernisasi dan kemajuan, tidak mengerti tujuan “revolusi putih” yang dilancarkan bekas Syah Reza Pahlevi. Kalaupun tidak langsung dituduh sebagai “kelompok separatis” dalam artian fisik, gerakan keagamaan yang dipimpin para mullah dicap sebagai “separatis maknawi”. Setelah mengalami pergulatan seru semenjak tahun 1964, dengan puncak kemelut pada tahun 1977-1978, justru “gerakan separatis” tersebut yang berhasil memenangkan konflik yang berkepanjangan itu. Pola kemenangan tersebut, dengan menggunakan cara memunculkan agama sebagai “ideologi tandingan” terhadap ideologi negara yang ada, sebagaimana diistilahkan oleh Muhammed Ayub dari Australian National University, bagaimana sementaranya sekalipun penyelesaian politis yang
dicapainya, jelas sekali telah memberikan bekasnya sendiri atas perkembangan pemikiran keagamaan di perempat terakhir abad kedua puluh ini.
Kasus Pakistan menunjukkan penyelesaian yang sedikit-banyak juga berbeda dari jalur umum penyelesaian atas kerugian “gerakan separatis” di mana-mana. Pada mulanya, gerakan-gerakan keagamaan juga berada di pinggiran kekuasaan, dengan predikat “gerakan separatis” yang membahayakan kelangsungan proses membangun di masa berbagai macam pemerintahan semenjak Ayub Khan merebut kekuasaan melalui kudeta militer. Puncak “pemojokan” itu terjadi pada saat pemerintahan Partai Rakyat Pakistan di bawah pimpinan Zulfiqar Ali Bhutto. Politik Bhutto untuk memunculkan kerakyatan (populisme) yang dikombinir dengan nasionalisme, ternyata diterima oleh para pemimpin gerakan agama di Pakistan sebagai penciptaan “ideologi tandingan” terhadap ideologi keagamaan yang telah lebih dua puluh tahun menjadi kesepakatan bersama (walaupun dalam berbagai corak formalitas kenegaraan). “Provokasi” Ali Bhutto itu ternyata harus dibayar mahal sekali olehnya, yaitu dalam bentuk koalisi antara unsur-unsur militer yang bersikap keras dan gerakan-gerakan keagamaan Pakistan. Koalisi yang berwatak “memelihara status quo” (kembali meminjam istilah Ayub) itu menunjuk pada jenis penyelesaian sementara yang berbeda dari kasus Iran, yaitu kemampuan gerakan keagamaan untuk menghalau posisi terpojok sebagai “gerakan separatis” dengan jalan memasuki koalisi dengan pihak-pihak lain yang lebih toleran kepadanya.
Tanggapan Terhadap Krisis Ideologis Ketiga jenis penyelesaian sementara dalam kemelut ideologi negara di atas, yaitu pelarangan atas “gerakan separatis”, kemenangan paham yang semula dianggap “separatis”, dan penyertaan “paham separatis” dalam pemerintahan berkat koalisi dengan unsur-unsur status quo (tentara dan sebagainya), menunjukkan dengan jelas betapa besar ragam responsi terhadap krisis ideologi yang berlangsung berkepanjangan. Pendekatan beberapa raja muslim kepada gerakan-gerakan keagamaan, sebagian karena pengaruh kejadian-kejadian di Iran dan sebagian lagi karena kesulitan masing-masing yang semakin sulit dipecahkan, dapat dilihat di Maroko, Yordania, dan Malaysia, sebagai salah satu cara mencari penyelesaian sementara di antara spektrum yang sebenarnya cukup luwes variasinya.
Kemelut di sekitar ideologi negara dan munculnya berbagai jenis penyelesaian sementara untuk mengatasi kemelut itu (bahkan justru munculnya penyelesaian sementara itu sendiri, tanpa mampu dicapai penyelesaian secara tuntas), menunjukkan betapa pekanya persoalan yang dihadapi oleh negara-negara yang baru berdiri dalam abad ini. Upaya untuk menutupi persoalan sebenarnya justru tidak membantu mencari pemecahan yang sebenarnya dibutuhkan. Persoalan utamanya adalah tetap besarnya persepsi di kalangan gerakan-gerakan keagamaan akan konsolidasi ideologi negara sebagai “kerugian” bagi nilai-nilai transendental
yang mereka yakini dan anut.
Kesibukan menciptakan infrastruktur kenegaraan yang berwatak rasional dan
berfungsi teknis secara efisien sering mengakibatkan sikap untuk mengabaikan persepsi di atas. Sebagian karena oportunisme politik dan sebagian lagi karena
ketidakmampuan membuka cakrawala politik yang dapat diterima secara tulus oleh semua kalangan, proses pengabaian persepsi akan kerugian yang diderita nilai-nilai transendental berjalan semakin lama semakin jauh, hingga saat munculnya
tantangan gerakan-gerakan keagamaan yang memajukan paham-paham alternatif
terhadap penafsiran resmi atas ideologi negara. Pemecahan yang serba berkeseimbangan dan berwatak rasional sudah sangat lambat untuk diajukan
sebagai responsi terhadap tantangan yang sejak semula tidak berhasil dideteksi itu.
Terbuka pilihan hanya antara dua hal yang sama-sama tidak menguntungkan sebagai pemecahan sementara: konfrontasi langsung dengan paham-paham
alternatif itu (seperti dilakukan pemerintahan Marcos di Filipina terhadap gerakan Katolik yang mengajukan konsep “pembangunan manusiawi” atau human
development) atau akomodasi oportunistis yang tidak memuaskan sama sekali (seperti yang terjadi di Pakistan sekarang).
Penyelesaian sementara yang dicapai, dalam keadaan demikian, membawa dalam
dirinya benih-benih bagi perbedaan paham yang fundamental di belakang hari. Koalisi karena kebutuhan sementara (marriage of convenience) tidak akan berumur panjang, karena ketegangan akan timbul antara pihak-pihak yang terlibat, ketika
masing-masing harus menentukan responsi terhadap tantangan dari paham alternatif terhadap ideologi negara. Larinya sejumlah pemikir keagamaan yang
dinamis dari Pakistan untuk hidup di luar negeri sekarang ini, seperti Fazlur Rahman dan A. Kazi, dalam jangka panjang hanya akan menimbulkan kesulitan-kesulitan bagi pemerintahan Zia Ul Haq. Memanggil mereka kembali pulang ke Pakistan akan
membuat marah partner-partnernya dalam koalisi yang memerintah, tetapi membiarkan para pemikir itu tinggal di negeri orang hanya akan menambah kesulitan-kesulitan di bidang pemikiran keagamaan, karena justru dari mereka sajalah dapat diharapkan pemecahan yang kreatif di bidang yang dianggap paling menentukan sekarang ini: merumuskan hubungan agama dan negara secara dewasa dan rasional.
Pendekatan oportunistis antara Presiden Anwar Sadat dan kelompok inti dalam gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir beberapa tahun yang lalu, ternyata tidak tahan terhadap “tantangan” yang muncul dari kebutuhan akan pendekatan antara Mesir
dan Israel yang akhirnya bermuara pada Persetujuan Camp David. Tantangan Ikhwanul Muslimin terhadap perdamaian Mesir-Israel dengan segera memaksa
Anwar Sadat untuk mengambil tindakan keras terhadap gerakan tersebut. Koalisi untuk tujuan sedemikian sederhana antara aspirasi keagamaan dan kekuasaan
yang pada dasarnya berwatak sekuler, sedang mengalami ujian berat di banyak negara, seperti El Salvador, Meksiko, Maroko, Tunisia, Malaysia, Indonesia, dan Banglades.
Pembangunan Membawa “Titik Tengkar”
Masukan (input) “tahap membangun” sering membawakan permasalahan baru ke
dalam suasana hubungan yang sudah labil antara ideologi negara dan aspirasi agama, sehingga menambah labilitas itu lebih jauh lagi. Beberapa aspek
pembangunan, seperti tujuannya, polanya, pembiayaannya, dan struktur aparat pelaksananya secara bersama-sama atau terpisah satu dari yang lain membawakan “titik tengkar” (points of contention) tersendiri dalam dialog yang sudah tersendat-
sendat jalannya antara kekuasaan yang pada dasarnya memiliki orientasi sekuler dan gerakan-gerakan keagamaan.
Tujuan pembangunan yang umum diambil oleh negara-negara yang sedang
berkembang dalam dasawarsa yang lalu, yaitu peningkatan produktivitas melalui
insentif-insentif material, banyak sekali dikritik oleh pihak yang saling berbeda (bahkan bertentangan) dalam pandangan hidup masing-masing, seperti antara golongan intelektual kosmopolitan dan gerakan-gerakan marxis-leninis di beberapa
negara. Tetapi pada umumnya hanya kelompok-kelompok vokal dalam berbagai gerakan keagamaan yang secara tekun membina tantangan terhadap perumusan tujuan pembangunan seperti itu. Keluhuran nilai hidup manusia, sebagai nilai tertinggi yang mereka anut dalam kehidupan, membawa mereka kepada penolakan langsung atas tujuan pembangunan yang sedemikian materialistis. Karena tujuan
pembangunan menyangkut strategi membangun yang akan diambil, dengan sendirinya tantangan yang mereka ajukan segera merembet ke lain-lain sektor,
sehingga dalam waktu tidak terlalu lama menjadi penolakan terhadap keseluruhan konsep pembangunan yang dirumuskan oleh kekuasaan yang sedang memerintah.
Dalam situasi di mana dialog antara kekuasaan negara dan aspirasi gerakan keagamaan dapat dilangsungkan secara terbuka dalam diskusi bebas, penolakan artikulatif atas konsep dasar pembangunan itu akan berakhir pada penyediaan
konsep tandingan yang dapat dijadikan isu dalam pemilihan umum, walaupun belum tentu dapat dilaksanakan jika para perumusnya memenangkan pemilihan umum itu sendiri. Dalam situasi di mana dialog itu terjadi dalam bentuk proses “tawar-
menawar yang sepi” tentang itu muncul dalam sejumlah slogan (catchwords) yang
hanya secara terselubung saja berwatak kritis, seperti tuntutan pembangunan harus bertujuan mengembangkan “manusia seutuhnya” di negeri kita.
Pola pembangunan yang dianut juga dapat menjadi titik sengketa. Patutkah pola itu dirumuskan sebagai dorongan sektor-sektor produktif untuk mengembangkan diri, dan dengan demikian mengangkat derajat sektor-sektor lain yang tidak begitu produktif? Sudah memadaikah pola perencanaan yang disentralisir bagi kebutuhan
pembangunan yang sebenarnya, mengingat uniformitas pendekatan yang dilakukan
akan menimbulkan hambatan-hambatan birokratis yang tidak teratasi lagi di kemudian hari? Bukankah dorongan terhadap sektor yang kuat justru tidak akan
mengekalkan ketimpangan sosial yang sudah ada? Seribu satu pertanyaan lagi dapat diajukan ke alamat kekuasaan yang merumuskan dan melaksanakan
pembangunan berencana. Gerakan keagamaan sering menimbulkan kesulitan bagi Pemegang kekuasaan, bukan hanya karena mengajukan rumusan-rumusan
tandingan di sektor pola pembangunan yang diikuti, melainkan juga karena rumusan-rumusan tandingan itu dicobakan dalam skala besar secara tekun dan
menetap.
Di saat pemerintah sejumlah negeri mengabaikan tuntutan akan landreform, karena
alasan stabilitas keadaan negara, gerakan keagamaan justru mulai melaksanakan program mereka sendiri, seperti apa yang dilakukan Uskup Agung Jose Maria Pirez dari Joao Pesoa di Brasil, Uskup Mansap di Thailand, dan Swami Agnivesh dengan gerakan Aria Samaj-nya di negara bagian Haryana di India. Alternatif yang mereka kemukakan, walaupun berbeda satu dari yang lain, membuat bertambah labilnya keadaan, yang pada dirinya sendiri sudah harus memikul beban keresahan sosial akibat marginalisasi tanah tempat tinggal mereka yang sangat miskin (destitutes) di
kota-kota besar dan pemusatan pemilikan dan penguasaan tanah di perdesaan. Gerakan keagamaan memberikan dukungan kepada perjuangan suku-suku terpencil yang menentang pembangunan bendungan tinggi Chico di Filipina, sebuah proyek penyediaan energi listrik yang sangat dibutuhkan. Banyak lagi deretan swakarsa yang muncul dari gerakan-gerakan keagamaan, yang berwatak alternatif terhadap
pola pembangunan yang dilaksanakan pemerintah.
Masalah pembiayaan pembangunan, sebagian masukan baru ke dalam situasi yang sudah labil dalam hubungan antara ideologi negara dan aspirasi gerakan
keagamaan, membawakan persoalan-persoalan tersendiri. Salah satu di antaranya adalah masalah bantuan luar negeri dalam skala massif, yang hasilnya hanya tampak dalam perlombaan kemewahan di kalangan atas dan penguasaan sumber-
sumber produksi oleh perusahaan-perusahaan multinasional. Sudah tentu gerakan keagamaan tidak dapat menerima “kenyataan tak terelakkan” ini, sebagaimana dikemukakan para perencana pembangunan di negara-negara yang sedang
berkembang, sebagian karena alasan-alasan sosial-ekonomis dan sebagian lagi karena alasan keagamaan murni. Demikian pula penyediaan proyek-proyek
pembangunan pada tingkat mikro di lapangan, haruslah dapat dari “atas” melalui kredit-kredit yang dialokasikan oleh pemerintah, ataukah justru didapatkan dari “bawah” melalui swadaya dan swakarsa masyarakat sendiri? Patutkah didirikan
koperasi yang langsung memperoleh kredit dari luar, ataukah justru harus diambil pendekatan mendirikan prakoperasi yang bermodalkan yang yang dikumpulkan dari anggotanya sendiri secara akumulatif?
Struktur aparat pembangunan juga dapat menjadi “titik tengkar” antara pelaksana pemerintahan dan gerakan keagamaan. Berhakkah struktur itu menetapkan sendiri
prioritas pembangunan, yang di mata gerakan-gerakan keagamaan itu justru hampir selamanya melakukan kesalahan-kesalahan fundamental dalam identifikasi prioritas itu sendiri. Bagaimana pertanggungjawaban atas kesalahan-kesalahan perencana maupun pelaksana pembangunan dapat diminta dari struktur yang pada dirinya sendiri sudah tidak mampu memahami tuntutan dasar akan keadilan? Bagaimanakah pengambilan keputusan yang mendasar dapat diserahkan pada struktur yang dalam dirinya sendiri penuh titik-titik lemah yang bersifat fundamental, sehingga akhirnya struktur itu sendiri mudah dimanipulir untuk melestarikan ketimpangan sosial dan ketidakadilan?
“Kedamaian Mencemaskan”
Dari apa yang diuraikan di depan jelas sekali potret diri hubungan antara pelaksana ideologi negara (yang sudah difungsikan dalam pemegang kekuasaan
pemerintahan) dan gerakan-gerakan keagamaan tampak penuh persoalan yang cukup membawa kepada labilitas keadaan. Hubungan lancar di permukaan tidak dapat menyembunyikan keresahan luar biasa besarnya sebagian arus bawah,
sehingga ketenangan yang tampak di luar hanya menyembunyikan “kedamaian mencemaskan” (uneasy peace) yang menjadi hakikat persoalan sebenarnya.
Kalau gambar diri itu ditangkap dalam sejumlah kisah (sequences), akan muncul deretan hal-hal berikut: anggapan tentang “penyelewengan ideologi negara” di pihak penguasa dan di pihak gerakan keagamaan, cara penanganan masalah “penyelewengan” tersebut menurut pandangan penguasa dan pandangan gerakan keagamaan, dan strategi yang berbeda dalam “memasarkan” cara yang dipilih masing-masing. Pengenalan akan gambar diri secara dinamis ini dapat membawa kita kepada penemuan pemecahan persoalan yang berlandaskan pada kenyataan-
kenyataan yang memang berwujud, bukannya “perkiraan keadaan” model produk badan-badan intelijen yang jarang sekali mengenai sasaran.
Pihak penguasa pemerintahan di negara-negara berkembang cenderung untuk menganggap upaya mencari alternatif terhadap penafsirannya sendiri atas ideologi negara sebagai penyelewengan ideologi itu sendiri. Dengan demikian pula, kuat sekali kecenderungan untuk memperlakukan program-program alternatif terhadap program pembangunan yang dibuatnya sendiri, sebagai penyelewengan atas
jalannya pembangunan yang sudah menjadi “konsensus” nasional. Sebaliknya, gerakan-gerakan yang mengajukan alternatif, terutama gerakan keagamaan, memiliki anggapan justru pemegang kekuasaan pemerintahanlah yang melakukan penyelewengan atas ideologi negara dan pembelokan konstitusi dari kemurnian yang sudah disepakati pada waktu penumbuhannya sebagai landasan hidup
bernegara. Penyalahgunaan kekuasaan, pelanggaran hak-hak asasi warga negara, dan pembatasan atas swakarsa untuk mencari alternatif adalah bukti-bukti konkret dari penyelewengan pihak penguasa pemerintahan itu.
Cara penanganan yang dirumuskan, sebagai akibat dari perbedaan anggapan tentang “penyelewengan ideologi negara” itu, sudah tentu juga bertolak belakang. Di satu sisi, pemegang kekuasaan pemerintahan merasa dibebani kewajiban
mempertahankan ideologi negara dari segala macam rongrongan dan gangguan, baik yang sudah dianggap konkret maupun yang masih berupa tantangan potensial. Mayoritas bangsa, terutama lingkungan pelaksana pemerintahan (kepegawaian,
kepamongprajaan, dan ketataprajaan) harus diamankan dari kemungkinan penularan bahaya “penyelewengan ideologi negara” itu. Gerakan-gerakan yang dapat membahayakan ideologi nasional harus diamati dan kalau perlu ditindak, guna menghindarkan bahaya “penyelewengan” tersebut. Hanya dengan cara ini dapat dicegah bahaya terhentinya pembangunan, dengan segala akibat disintegratifnya
atas kesatuan dan keutuhan bangsa.
Gerakan yang menyajikan alternatif terutama mengajukan sejumlah prasyarat bagi keberhasilan memelihara kemurnian ideologi negara dan keutuhan konstitusi.
Keberanian untuk memberikan tempat kepada rakyat kecil untuk turut mengendalikan arah kehidupan bernegara, melalui penegakan hak-hak asasi dan
pengembangan demokrasi secara jujur dan tulus adalah prasyarat utamanya. Kesediaan memberikan kebebasan membicarakan masalah ini secara terbuka dan jujur merupakan titik mula penjagaan kemurnian ideologi negara dan keutuhan konstitusi. Dari kesediaan menegakkan demokrasi secara murni itu akan muncul proses penetapan prioritas pembangunan yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan yang dirasakan rakyat di tingkat bawah kehidupan masyarakat. Prasyarat tersebut hanya dapat dicapai, jika kekuasaan pemerintahan tunduk kepada
lembaga-lembaga kemasyarakatan di luar lingkungannya sendiri, termasuk “lembaga” hak pilih yang bersifat universal dan ditegakkan secara jujur.
Strategi “pemasaran” cara penjagaan kemurnian ideologi negara itu juga berbeda sangat besar, antara yang diambil pemegang kekuasaan pemerintahan dan yang dikembangkan gerakan-gerakan alternatif. Perumusan wawasan ideal dari ideologi nasional dalam sejumlah materi penataran, kampanye penerangan indoktrinatif, dan penetapan sejumlah atribut resmi bagi ideologi negara, merupakan kerja utama “pemasaran” di pihak pemegang kekuasaan. Dari sosialisme Arab mendiang Nasser hingga paham “kebersamaan” Marcos diindoktrinasikan secara massif, sebagaimana proyek penataran P4 di negara kita ini juga berfungsi seperti itu. Upaya pemantapan ideologi negara dengan pendekatan indoktrinatif tersebut belakangan ini diletakkan juga dalam perspektif penanganan kemiskinan, perjuangan menegakkan sebuah orde ekonomi internasional yang lebih adil, dan solidaritas antara negara-negara Dunia Ketiga.
Sebaliknya, strategi “pemasaran” cara penjagaan kemurnian ideologi negara dan keutuhan konstitusi di kalangan gerakan alternatif lebih banyak diletakkan dalam kerangka konkretisasi upaya menumbuhkan lembaga-lembaga kemasyarakatan yang nantinya mampu mempertahankan dan (kalau perlu) merebut hak-hak mereka sendiri. Tugas lembaga-lembaga kemasyarakatan itu adalah menggali warisan budaya mereka sendiri hal-hal yang dapat dikembangkan bagi kepentingan arah yang benar pembangunan yang diselenggarakan. Percobaan demi percobaan dan proyek-proyek rintisan harus diselenggarakan di bidang tersebut, yang dengan segala kegagalan dan keberhasilannya akan membawa kepada model pembangunan yang telah diuji kebenarannya di lapangan. Gerakan-gerakan keagamaan akan mendudukkan upaya penggalian unsur-unsur pembangunan yang sebenarnya itu dari ajaran agama masing-masing, setelah dihadapkan pada masalah-masalah dasar yang dihadapi umat manusia.
Perjuangan menegakkan keadilan, mewujudkan demokrasi, dan mengembangkan kemampuan hakiki setiap masyarakat untuk mengatasi persoalannya sendiri, ditarik wawasan-wawasannya dari sumber-sumber keyakinan agama. Tidak heranlah kalau terjadi proses tolak-menolak antara wawasan indoktrinatif dari cara pemegang kekuasaan untuk menjaga kemurnian ideologi negara dan perumusan kemurnian ideologi itu sendiri dari ajaran-ajaran formal agama. Watak transendental dari ajaran agama mengharuskan gerakan-gerakan keagamaan untuk mengutamakan pembatasan atas kekuasaan manusia di hadapan keagungan Tuhan, pembatasan mana tentu dirasakan tidak praktis bagi pemegang kekuasaan pemerintahan. Sebaliknya, penetapan atribut-atribut formal untuk mengokohkan ideologi negara, dalam jangka panjang akan mengangkat kedudukan ideologi negara itu, hingga menjadi sejajar dengan ajaran-ajaran agama yang sudah diterima sebagai hal yang
sakral. Sakralisasi ideologi negara melalui pemantapan atribut-atribut formalnya adalah bahaya sangat besar bagi kemurnian keimanan agama bagi gerakan-
gerakan alternatif.
Kesimpulan
Dari uraian di atas dapatlah ditarik beberapa kesimpulan umum, yang perlu dikaji kebenarannya terlebih jauh kalau kita ingin kematangan baginya. Kesimpulan pertama adalah masih besarnya kesenjangan antara ideologi negara dan keyakinan
agama gerakan-gerakan cukup besar lingkupnya di negara-negara berkembang, hal mana muncul dari masih belum mantapnya kedudukan ideologi negara itu sendiri. Ia sendiri justru masih ditafsirkan dalam kerangka penyelesaian sementara yang tidak
memuaskan semua pihak dan yang mengandung potensi pertentangan lebih tajam di kemudian hari.
Kesimpulan berikutnya, yang juga sangat penting untuk diperhatikan lebih lanjut, adalah jalinan sangat kuat antara aspirasi keagamaan dan aspirasi yang secara
nominal terletak di luar lingkup keagamaan (seperti penegakan keadilan, pertumbuhan demokrasi, penjagaan kelestarian alam, dan pengembangan struktur ekonomi yang berwatak kerakyatan). Ajaran ajaran agama justru dijadikan sumber inspirasional bagi aspirasi “non-keagamaan” tersebut di kalangan gerakan-gerakan keagamaan yang menyajikan alternatif bagi sistem pemerintahan yang monolitis.
Kesimpulan lainnya adalah orientasi sangat kuat untuk merealisir aspirasi dalam program kerja aktual dalam skala mikro pada tingkat bawah di kalangan gerakan-
gerakan keagamaan yang memilih pencarian alternatif bagi struktur pemerintahan yang ada, orientasi mana justru menjadi penghubung antara aspirasi keagamaan dan aspirasi non-keagamaan di atas. Demikian jauh hubungan yang didorong oleh orientasi tersebut, sehingga kita dapati bentuk gerakan baru yang menjalin ajaran agama dan keyakinan ideologis marxis-leninis di beberapa negara berkembang, seperti satu-dua gerakan Katolik di Filipina dan Amerika Latin, dan gerakan Aria Samaj di kalangan beragama Hindu di negara bagian Haryana di India. Retorika marxistis dari gerakan para mullah menentang bekas Syah Reza Pahlavi adalah juga salah satu bukti yang dapat dikemukakan.
Penanganan masalah kesalahpahaman dasar antara para pemegang kekuasaan negara sebagai pelaksana ideologi negara dan gerakan-gerakan yang membawakan aspirasi keagamaan haruslah memasukkan kenyataan-kenyataan ini ke dalam dirinya, jika ingin dicapai hasil yang tuntas dan menyeluruh. Aspirasi yang muncul dari keinginan memelihara kemurnian ideologi negara dan keutuhan konstitusi haruslah dihargai sepenuhnya, walaupun bertolakbelakang dengan penafsiran resmi
yang dirumuskan lembaga-lembaga kenegaraan. Kesediaan untuk melindungi dan kalau perlu membantu program-program konkret di tingkat bawah, mungkin dengan akibat perubahan-perubahan besar-besaran dalam politik pembangunan pemerintah, haruslah dimiliki dan dikembangkan di semua eselon aparat pemerintahan.
Dari gagasan global seperti ini, yang kemudian dapat dikonkretisir dalam sejumlah keputusan prinsipil, dirasa dapat dicapai penanganan tuntas atas persoalan utama berupa kesalahpahaman dasar antara ideologi negara dan aspirasi keagamaan yang terdapat di banyak negara yang sedang berkembang, termasuk negara kita sendiri. Mampukah kita berbuat demikian? []
Prisma, Januari 1980