GUS DUR DAN KENANGAN CENDEKIAWAN ZAMAN PRISMA
 
                  MEMAHAMI ABDURRAHMAN WAHID
                                       Greg Barton9
Abdurrahman adalah salah seorang tokoh intelektual Indonesia yang menonjol dan sangat disegani. Tokoh yang sudah lebih dari 15 tahun menjabat ketua umum
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU), organisasi kaum tradisionalis, ini sering menghiasi halaman-halaman koran. Di luar pemerintah dan figur militer hal ini sangat sulit dibayangkan. Selama tahun-tahun kepemimpinan itu popularitasnya mengalami pasang dan surut, yang biasanya berkaitan dengan manuver politiknya dan juga – yang tidak boleh dilupakan – tingkat pemahaman terhadap manuvernya. Dalam beberapa tahun terakhir Abdurrahman menjadi semakin kontroversial, ketika dia berusaha melerai pihak-pihak yang terlibat kekerasan, dan juga ketika dia
berusaha menyeberangi badai dan gelombang besar pada akhir pemerintahan Soeharto dan era Indonesia pasca-Soeharto. Kendati demikian Abdurrahman tetap
dan bahkan semakin populer, sebagai figur karismatik dan tokoh yang selalu memberi cinta bahkan kepada orang yang mengkritiknya atau para penentangnya.
Tetapi mengapa Abdurrahman sering salah dimengerti? Tentu banyak alasan termasuk temperamen dan kepribadiannya yang khas dan tentu juga akibat stroke yang ia derita sejak akhir Januari 1998. Kendati demikian kesalahpahaman itu
sebagian besar disebabkan karena posisinya yang sangat unik dalam masyarakat Indonesia. Secara bersamaan Abdurrahman adalah Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (NU), organisasi masyarakat tradisional; pengkritik konsisten
terhadap rejim Soeharto; dan individu yang selalu mengkampanyekan ide-ide pembaharuan demokrasi. Oleh karena itu, tidak aneh jika ada yang mengasosiasikannya dengan NU dan partai politik afiliasinya yaitu PKB, dan ada sebagian yang lain mengenalnya sebagai intelektual publik terpandang yang selalu mengkampanyekan demokratisasi dan penghapusan pelanggaran HAM. Yang paling baru, banyak yang mengasosiasikannya dengan PKB dan memandangnya secara formal, berbeda dengan dulu yang sering memandangnya secara informal,
yaitu sebagai politisi yang independen. Banyak kebingungan tentang Abdurrahman sebagian besar berasal dari peran banyak wajah yang dimainkannya dalam masyarakat Indonesia. Lebih tepat lagi, kebingungan itu berasal dari fakta bahwa
pada satu sisi Abdurrahman dipandang dan dikenal banyak orang sebagai figur religius dan pada sisi lain ditafsirkan oleh banyak orang, khususnya di pusat-pusat metropolitan dan antara kelas menengah terdidik Indonesia, sebagai politisi yang sekuler atau sebagai intelektual liberal. Dengan berdasar alasan kedua ini,
kesalahpahaman tentang Abdurrahman Wahid berjalan seiring dengan kesalahpahaman tentang Barat pada umumnya, yaitu bagaimana seseorang yang
merupakan intelektual liberal juga dapat dianggap sebagai figur religius dan bahkan pemimpin karismatik setingkat wali? Dan jika kunci permasalahan ini tidak
diinvestigasi secara memadai dan juga kaitan antara keyakinan agama Abdurrahman dan peran publik sekulernya tidak dipahami, maka hampir tidak
mungkin dapat memahami dengan sungguh-sungguh siapa sebenarnya Abdurrahman Wahid itu.
Salah satu aspek yang paling bisa dipahami dari Abdurrahman adalah bahwa ia adalah penyeru pluralisme dan toleransi, pembela kelompok minoritas, khususnya Cina Indonesia, dan juga penganut Kristen dan kelompok-kelompok lain yang tidak
diuntungkan pada masa pemerintahan Soeharto dan pada bulan-bulan akhir ini. Dengan kata lain, Abdurrahman dipahami sebagai muslim non-chauvinis, sebagai figur yang memperjuangkan diterimanya kenyataan sosial bahwa Indonesia itu
beragam. Yang secara luas tidak, atau tepatnya kurang, diapresiasi adalah bahwa Abdurrahman itu orang yang bangga sebagai seorang muslim. Ia sangat mencintai
kebudayaan Islam tradisionalnya dan juga pesan utama Islam itu sendiri. Lebih dari itu, Abdurrahman adalah seorang tokoh spiritual, figur mistik yang dalam
pandangannya dunia spiritual nyata seperti dunia materi yang dapat dirasakan dengan indera manusia.
Walaupun ia tidak selalu membenarkan tentang keyakinan ini karena dia memahami bahwa ini adalah titik kebingungan bagi sarjana “sekuler” Barat atau yang terbaratkan. Bagaimana bisa terjadi seseorang yang begitu mencintai agamanya,
dan khususnya subkultur agamanya tempat ia tumbuh, mampu menjadi seorang yang pluralistik dan non-chauvinis. Salah satu idiom populer Barat modern atau budaya yang terbaratkan adalah bahwa hanya dengan melepaskan dogmatismelah seseorang dapat menjadi toleran. Sebagian akan berpendapat, yang mungkin dapat dipandang sebagai model postmodern, hanya dengan melepas semua klaim
kebenaran absolut dan metafisiklah seseorang akan dapat menjadi seorang toleran dan pluralis. Akibatnya banyak merasa sulit memahami bagaimana seorang muslim yang setia, atau seorang penganut agama yang taat, dapat menjadi figur modern
yang begitu liberal. Sebagian besar diskusi mengenai Abdurrahman, atau yang lebih jarang lagi
mengenai tulisannya, memfokuskan pada satu atau aspek yang lain dari identitasnya. Bisa dipahami, sikap, manuver, strategi, dan taktik politiknya sering
dibahas, dan sering dengan hasil yang tidak menggembirakan. Begitu juga, sebagai
ketua sebuah organisasi Islam terbesar di Indonesia bahkan juga di dunia, posisi Abdurrahman sering didiskusikan dan diperdebatkan, walaupun hal ini sering berlangsung dalam batasan tingkatan-tingkatan di NU atau paling tidak dalam konteks diskusi tentang Islam. Sangat jarang didiskusikan secara bersamaan sikap politiknya, aktivitas publik Abdurrahman, dan orientasi spiritual dan personalnya. Dan lebih khusus lagi juga jarang dibicarakan aktivitasnya dalam pengakuan pribadinya. Oleh karena itu, sering didapati orang mengemukakan bukti bahwa
Abdurrahman adalah orang yang tidak konsisten, munafik (hipokrit), atau menggunakan standar ganda. Tuduhan ini, harus diakui, bersumber dari sikap
Abdurrahman sendiri, terutama pada tahun-tahun terakhir. Bahkan orang yang dekat dengannya sekalipun sering dibuat bingung dan tidak bisa menjelaskan alasan statement atau manuver politik Abdurrahman yang paling mutakhir. Kebingungan
mengenai Abdurrahman mencapai puncaknya adalah pada masa Soeharto ketika, terancam oleh konfrontasi antara tentara Indonesia dan Soeharto sendiri, pada akhir tahun 1997, Abdurrahman menjadi pialang (broker) pendamai. Pada awal tahun 1998 Abdurrahman tampak tidak bersemangat mengerahkan massanya untuk demonstrasi di jalanan selama masa-masa terakhir pemerintahan Soeharto, dengan
alasan bahwa konfrontasi seharusnya dihindari, karena harga manusia yang harus dibayar terlalu mahal untuk prestasi apa pun yang bisa diperoleh. Kemudian bahkan pada masa setelah jatuhnya Soeharto pada akhir tahun 1998, Abdurrahman membingungkan para sahabat dan para pengkritiknya karena pertemuannya yang cukup sering dengan Soeharto, dan kemudian dengan Habibie pengganti Soeharto. Abdurrahman menyarankan diperhatikannya perkembangan yang terjadi dan diupayakannya jalan keluar sehingga kedamaian dapat dicapai. Abdurrahman
beralasan bahwa dengan bertemu dengan Soeharto ia mengupayakan jalan keluar untuk mengakhiri kekerasan yang diduga dilakukan para pendukung Soeharto. Demikian juga dengan bertemu Habibie setelah pemilihan umum Juni 1999,
Abdurrahman menjelaskan bahwa ia sedang berupaya menegosiasikan transisi damai ke era demokratik dan, disuka atau tidak, harus diakui – menurutnya – bahwa
bernegosiasi dengan Habibie sangat penting jika diharapkan kekerasan tidak berlanjut terus. Alasan yang sama juga sering diberikan untuk menjelaskan
pertemuannya dengan Jenderal Wiranto, Panglima TNI; Akbar Tanjung, ketua partai Soeharto, Golkar; dan beberapa figur konservatif lainnya. Dalam hal ini semua
berspekulasi tentang apa sebenarnya motif Abdurrahman. Menjadi lebih kompleks
lagi masalahnya dengan dukungan yang ia berikan dan keterlibatannya secara langsung dalam partai politik melalui PKB, yang pendiriannya – menurut banyak
orang – betul-betul jauh dari apa yang selama ini ia perjuangkan. Abdurrahman memang sebelumnya dikenal dengan argumentasinya yang tegas bahwa Islam, dan agama secara umum, dan partai politik tidak boleh dicampur aduk. Terus apa gerangan yang dia lakukan dengan memotori salah satu partai besar baru yang secara jelas platformnya tidak islami tetapi didasarkan pada massa NU yang terdiri dari puluhan juta muslim tradisional. Ketika ditanya, Abdurrahman menjelaskan bahwa manuvernya merupakan
kepeduliannya terhadap umat NU, dan pada rakyat Indonesia pada umumnya. Dalam manuvernya itu, Abdurrahman mendemonstrasikan prinsip-prinsip politik Sunni dan sekaligus memenuhi misi pribadinya untuk melakukan yang terbaik, yaitu
demi terhapusnya kekerasan dan mengantarkan rakyat Indonesia ke kedamaian. Sementara banyak orang memaklumi penjelasan Abdurrahman, sebagian yang lain masih sulit menerimanya. Seperti sudah saya kemukakan di depan, saya meyakini bahwa hanya dengan memperhatikan keyakinan religius dan kehidupan batiniahnyalah manuver Abdurrahman yang tidak terduga itu dapat dipahami. Semoga buku seperti ini, di mana esai-esai Abdurrahman dikumpulkan dan
diterbitkan, bisa mengantarkan perhatian yang lebih segara terhadap tulisannya. Apa yang ingin saya lakukan dalam pengantar ini adalah mengeksplorasi aspek- aspek identitas “sekuler-liberal” Abdurrahman sebagai intelektual publik dan identitas komunal, religius, dan pribadinya dengan didasarkan pada tulisan-tulisannya dan dengan referensi beberapa peristiwa terbaru.

"Kecintaan yang Mendalam Terhadap Budaya IslamTradisional " 

Salah satu tema penting dalam tulisannya, walaupun sering tidak disebut secara langsung, adalah kecintaannya yang mendalam terhadap Islam tradisional.
Abdurrahman adalah cucu salah seorang pendiri NU yang terkemuka dan putra salah seorang bapak pendiri bangsa (founding fathers), berasal dari keluarga NU
yang paling utama dan menjadi pewaris dinasti kedua. Mengetahui latar belakang itu, agaknya tidak aneh bila Abdurrahman membanggakan warisan Islam tradisionalnya. Dan ketika orang membaca tulisannya, sangat jelas bahwa apa pun yang dikatakan orang mengenai manuver politiknya, Abdurrahman menunjukkan pemahamannya yang mendalam terhadap teori sosial modern dan komitmen yang
mendalam terhadapnya. Sangat jelas pula dalam tulisannya bahwa Abdurrahman adalah seorang demokrat atau lebih tepatnya seorang demokrat liberal. Lebih dari itu, seperti telah diketahui banyak orang, Abdurrahman dikenal karena sikapnya yang konsisten membela minoritas dan perjuangan untuk bisa diterimanya pluralisme sosial dan budaya yang betul-betul ada dalam masyarakat Indonesia modern. Lebih dari itu, Abdurrahman menunjukkan kemampuan yang luar biasa untuk bisa berkomunikasi dengan figur publik dan para pemikir Barat yang tidak banyak tokoh-tokoh Indonesia yang mampu melakukannya. Oleh karena itu, ketika melakukan perjalanan ke Amerika utara, Eropa, atau Australia, Abdurrahman mampu berbicara dengan bahasa intelektual Barat modern secara fasih. Berdasarkan pertimbangan ini, bisa jadi ia mengalami frustrasi mengenai kondisi masyarakat muslim tradisional di Indonesia yang seringkali parokial dan terbelakang. Dan dalam tingkatan tertentu, banyaknya tuntutan pada massanya, energi dan
privasi dalam konteks kepemimpinan karismatiknya menunjukkan bahwa Abdurrahman kadang-kadang benar-benar mengalami frustrasi. Abdurrahman tidak
pernah lambat untuk melakukan kritik ketika kritik dia anggap tidak bisa ditunda lagi seperti ditunjukkan artikel-artikel dalam buku ini. Kritiknya dilakukan secara umum sebagai bukti kecintaannya sehingga sukar dibantah. Bahkan, salah satu tema utama dalam tulisannya dari tahun 70-an sampai sekarang adalah kecintaaannya terhadap budaya Islam tradisionalnya. Kecintaan ini bukan berarti keterlibatan dan
penerimaan segala aspek budaya tradisional karena Abdurrahman sangat kritis terhadap budaya tradisional. Jelas bahwa Abdurrahman sangat menyukai dunia idiosinkretik kiai karismatik dan pesantrennya yang penuh misteri. Bukan hanya itu,
Abdurrahman adalah orang yang akan paling cepat memberikan pujian ketika pujian itu pantas diberikan. Seri-seri “kiai eksentrik”nya dalam majalah Tempo pada akhir tahun 1970-an menegaskan pandangan bahwa yang paling eksentrik dan misteri dari pemimpin tradisional adalah kemampuannya berpikir lateral untuk mencari jalan keluar bagi masalah sosial yang bertentangan dengan anggapan komunitasnya. Dan
batas-batas argumentasi yang dikemukakan Abdurrahman dalam mengapresiasi kiai tradisional dan pemikir religius lainnya dapat dikatakan liberal, fleksibel, dan bahkan progresif. Mempertimbangkan betapa banyak masalah yang dihadapinya di
kalangan ulama dan kritik pedas yang sering diarahkan padanya, adalah sangat penting baginya untuk terus mengemukakan apa yang dia anggap baik dan
menerimanya dengan senang hati, yang sebaliknya sering dianggap orang sebagai kuno, terbelakang, dan tidak bermutu. Adalah sangat penting untuk mempertimbangkan kecintaan mendalam yang
dirasakan Abdurrahman terhadap budaya Islam tradisional ini. Bagi intelektual publik mana pun adalah sangat penting untuk memahami latar belakang personalnya untuk mengetahui dari mana mereka berasal. Setiap figur mempunyai comfort zone
sendiri. Misalnya Amien Rais, mantan pemimpin Muhammadiyah dan kemudian pemimpin PAN, partai politik yang progresif, sampai tahun 1998 dianggap sebagai figur yang agak reaksioner. Jelas, comfort zone-nya adalah urban modernis, masyarakat Islam yang agak konservatif. Salah satu yang luar biasa dari
Abdurrahman adalah bahwa sementara jelas comfort zone-nya, ketika tur pesantren dan berbicara dengan para kiai dan juga tampak bahwa comfort zone-nya ini meluas melampaui batas teritorialnya yang luas sehingga sangat sulit untuk melokalisir pusat pribadinya. Dalam beberapa hal, periode aktif turnya selama bertahun-tahun itu telah diduga mengantarkannya pada kelelahan dan bahkan frustrasi dengan budaya tradisional. Abdurrahman jarang sekali memperlihatkannya, walau mungkin
benar. Sedangkan figur lain dengan latar belakang yang hampir sama yaitu Nurcholish Madjid mampu menjaga jarak dirinya dengan dunia pesantren yang agak parokial dan membangun komunitas sendiri yang lebih sederhana di Jakarta. Abdurrahman tidak pernah membuat pilihan ini. Kecintaan yang Mendalam Terhadap Islam Terlepas dari kecintaan terhadap budaya Islam tradisional dengan semua bentuk
idiosinkresinya yang penuh misteri dan karakternya yang warna-warni, tampaknya juga dari tulisan dan perbincangannya bahwa Abdurrahman adalah orang yang sangat mendalam keyakinan keagamaannya dan mempunyai kecintaan yang mendalam terhadap agamanya. Jika penting untuk memahami posisi Abdurrahman sebagai figur religius, sangat
penting juga kita mengapresiasinya sebagai seorang intelektual. Karena hampir tidak mungkin untuk memahami secara sepenuhnya jika kita tidak menghargai keyakinan keagamaannya. Tanpa penghargaan terhadap sisi intelektual
Abdurrahman kita tidak akan pernah sampai pada pemahaman yang memadai mengenai jalan pikirannya. Untungnya, melalui tulisannya relatif mudah bagi kita
untuk bisa memahami Abdurrahman sebagai intelektual. Tentu kesulitan terbesar yang sampai sekarang adalah tulisan Abdurrahman tidak semua orang punya. Hal ini diperparah lagi dengan kesibukannya dan kesehatannya yang membuat
tulisannya semakin jarang muncul. Oleh karena itu sangat menggembirakan upaya LKiS untuk menerbitkan tulisan-tulisan Abdurrahman. Bagi yang memiliki edisi lengkap Prisma atau yang memiliki arsipnya bisa dipastikan mempunyai semua
tulisannya ini. Kendati demikian saat sekarang ini tulisan-tulisan itu sudah sulit ditemukan. Dengan publikasi LKiS ini kita akan lebih mempunyai banyak referensi untuk memahami karakter intelektual Abdurrahman. Yang tidak kalah pentingnya
adalah bahwa tulisan-tulisan di buku ini mempunyai karakter dan motif yang berbeda dengan tulisan-tulisan terdahulu Abdurrahman yang sudah diterbitkan. Misalnya, esai-esai terdahulu yang dipublikasikan dalam Tempo walaupun menarik, berbentuk
esai-esai pendek, sedangkan tulisan-tulisan dalam buku ini berformat lebih panjang dan agaknya dimaksudkan untuk pembaca di kalangan akademik. Membaca artikel- artikel ini menjadi jelas bahwa Abdurrahman sejajar dengan intelektual-intelektual
menonjol yang dimiliki Indonesia pada abad ke-20. Adalah benar bahwa latar belakang dan pendidikannya tidak akan mungkin menjadikan Abdurrahman sebagai orang yang mampu berkompetisi dengan intelektual terdidik Barat lainnya tetapi substansi artikel ini membuktikan lain. Apa pun kelemahannya, dan tidak ada penolakan bahwa ia memiliki kelemahan, kita harus mengakui bahwa Abdurrahman
mempunyai kemampuan intelektual yang luar biasa. Sungguh, seperti yang akan kami kemukakan, mungkin karena kecerdasannya yang luar biasa sehingga
beberapa kelemahan karakternya diungkit-ungkit yang jarang dilakukan terhadap intelektual lain.
Pada bagian akhir tulisan ini kami akan kembali mengeksplorasi alasan mengapa Abdurrahman menjadi figur yang begitu kontroversial pada tahun-tahun belakangan ini. Sebelum membincangkannya, sangat penting untuk me-review beberapa tema
yang muncul dalam tulisan intelektualnya, termasuk artikel-artikel yang muncul dalam volume ini. Hal ini penting karena walaupun banyak perdebatan mengenai
strategi dan taktik politiknya, dan juga kebingungan luar biasa untuk menerjemahkan
sikap politiknya, pemikiran keagamaan Abdurrahman bersifat linear dan terfokus dengan jelas. Seperti dengan intelektual lainnya, diduga bahwa ada inkonsistensi dalam ide dan manusianya, tetapi ketika hal itu menjadi ide, Abdurrahman adalah figur terbaik yang mampu melampaui inkonsistensi ini. Lebih khusus lagi, adalah meragukan bahwa ada intelektual Indonesia lain saat ini, paling tidak di antara figur-
figur yang sudah dikenal, yang mempunyaipemahaman yang sangat jelas mengenai demokrasi dan nilai-nilai pasca-pencerahan liberal dan cara-cara
mempertemukannya dengan Islam selihai Abdurrahman. Tema yang paling jelas muncul dalam tulisan Abdurrahman adalah bahwa Islam
adalah keyakinan yang menebar kasih sayang, yang secara mendasar toleran dan menghargai perbedaan. Bagi Abdurrahman, Islam adalah agama kasih sayang dan toleran sekaligus agama keadilan dan kejujuran. Artinya Islam adalah keyakinan yang egaliter, keyakinan yang secara fundamental tidak mendukung perlakuan yang tidak adil karena alasan kelas, suku, ras, gender, atau pengelompokan- pengelompokan lainnya dalam masyarakat. Bagi Abdurrahman Wahid Islam adalah
keimanan yang mengakui bahwa, dalam pandangan Tuhan, semua manusia adalah setara. Bahkan status muslim dan non-muslim pun setara. Bagian dari keyakinan mendasar Abdurrahman adalah bahwa nilai-nilai yang mendasari demokrasi dan
liberalisme adalah nilai-nilai universal. Kemudian dia menolak argumentasi yang terlalu menyederhanakan yaitu bahwa hal ini karena Islam adalah sumber asli pemikiran, nilai, dan ide-ide. Bahkan Abdurrahman menganggap pandangan ini apologetik saja. Abdurrahman lebih lanjut menegaskan bahwa prinsip-prinsip mendasar yang berasal dari pencerahan duduk setara dengan pesan utama Islam. Apa yang muncul paling jelas dalam pemikiran dan tulisan Abdurrahman adalah keyakinan bahwa pandangan religius yang membentuk dan melahirkan nilai-nilai
yang berasal dari Eropa Kristen danYahudi sejajar dalam visi pokoknya dengan pesan Islam. Dengan kata lain, Abdurrahman, seperti intelektual-intelektual progresif lainnya di Indonesia, tidak mempermasalahkan hubungan antara Islam dan Barat.
Walaupun tidak menolak adanya perbedaan penting antara keduanya, Abdurrahman berargumentasi dengan efektif bahwa arah dan perhatian utama tradisi Judeo Kristen dan Islam sangat dekat bila dicari sistem nilainya yang paling utama. Kemudian tidak perlu dikatakan lagi, Abdurrahman seperti intelektual progresif Lainnya bersikap pemikiran bahwa kekhususan formasi negara, pemerintahan, dan
juga hukum modern tidak ditegaskan secara jelas dalam Al-Quran dan Hadits. Bukan untuk mengatakan bahwa prinsip-prinsip itu tidak secara jelas disebutkan,
tetapi lebih dimaksudkan bahwa detail mekanisme negara modern tidak dirinci. Oleh karena itu, berbicara tentang pendirian negara Islam baginya adalah non-sense atau melakukan sesuatu dengan cara islami jika satu-satunya alasan untuk statement ini
adalah untuk menciptakan perbedaan mendasar dengan Barat. Jika pemikiran politik Abdurrahman sangat jelas dan secara konsisten liberal,
bahkan sangat liberal, mengapa sikap politiknya selama tahun-tahun terakhir menyebabkan kontroversi sedemikian rupa? Dapat dikemukakan bahwa sementara Abdurrahman telah menjadi figur yang sangat kontroversial, waktu/sejarah
menjelaskan dan membuktikan wawasan dan kebijaksanaannya, atau jarang sebaliknya, pendekatan-pendekatan politiknya. Jelas, sebagian besar manuvernya dahulu dapat dilihat berdasar pada kepedulian pastorialnya yang besar terhadap
masyarakat NU dan rakyat Indonesia pada umumnya. Sejak awal, Abdurrahman diarahkan oleh keinginan untuk menghilangkan pertikaian antara massanya dengan militer dan pemerintah Soeharto dan juga keinginan untuk menemukan jalan
kompromi atau jalan tengah dari situasi politik yang sulit. Hal ini sangat jelas didemonstrasikannya pada tahun 1997 ketika dia melakukan pendekatan terhadap
Soeharto setelah dia mengalami penindasan yang luar biasa oleh mantan presiden ini sejak tahun 1994. Jelas sekarang dia membuat keputusan bahwa tidak ada
sesuatu yang lebih baik untuk dicapai kecuali dengan menahan Soeharto berhadapan langsung dengan umatnya, dan bahwa dia tidak mengambil langkah
penting karena baik dia maupun NU akan mendapat tekanan berbahaya yang lebih besar lagi. Dan, sekarang agaknya sudah jelas bahwa keputusannya dalam hal ini
beralasan kuat. Tetapi bagaimana menjelaskan sikapnya selama dua tahun terakhir
ini? Banyak orang mengkritik Abdurrahman karena kelambanannya dalam merespon
gerakan populer untuk menjatuhkan Soeharto pada awal 1998. Kritik yang sama juga diarahkan untuk Megawati Soekarnoputri. Baik Megawati maupun
Abdurrahman menjelaskan bahwa mereka tidak mau mengirim rakyat ke jalan karena khawatir konfrontasi fisik tidak akan mencapai tujuannya dan hanya berisiko
pada penderitaan yang luar biasa. Mungkin keduanya benar, tetapi hal ini yang menjadikan hubungan mereka renggang dengan aktivis dan mahasiswa pada awal
tahun 1998. Dan manuver Abdurrahman sepanjang tahun terakhir 1998 ini sedikit artinya untuk meyakinkan pihak-pihak yang meragukan komitmennya pada reformasi.
Hanya saja ada beberapa persoalan dan problem yang muncul menjadi keraguan dalam pikiran masyarakat selama periode itu. Antara lain adalah; pertama,
Abdurrahman lamban untuk mengerahkan rakyatnya untuk berkonfrontasi dengan Soeharto; kedua, Abdurrahman agaknya telah berubah total sikapnya atau bermuka dua dalam hal sikapnya terdahulu untuk mengaitkan Islam dan partai politik dengan
ikut membidani pendirian PKB pada bulan Juni, partai yang massanya didasarkan pada dukungan massa NU. Keraguan ini diperkuat lagi selama masa kampanye
untuk pemilu pada bulan Juni 1999 ketika Abdurrahman menjadi jurkam dan politisi partisan. Bila hal ini yang dipermasalahkan, maka hal ini dapat dijelaskan. Ada banyak contoh lain tentang sikap politik Abdurrahman yang menyebabkan kebingungan bahkan para pendukungnya sekalipun dengan menggeleng-gelengkan kepala dalam ketidaktahuan. Misalnya, ketika lebih dari 100 tokoh NU terbunuh di
Banyuwangi di Jawa Timur pada akhir tahun 1998, tampaknya karena akibat pembunuhan ninja, Abdurrahman menyalahkan muslim konservatif yang berafiliasi dengan ICMI, dan yang menurutnya terkait dengan Soeharto. Kemudian pada tahun itu juga ia menemui Soeharto yang menjadi kunjungan pertamanya di antara tujuh kunjungan sampai periode 1999. Abdurrahman menjelaskan bahwa bila pendukung loyal Soeharto adalah yang di balik pembunuhan Banyuwangi dan insiden berdarah
lainnya maka cara terbaik untuk menghentikan ini semuanya adalah dengan mengajak bicara Soeharto sendiri. Akhirnya, Abdurrahman mengumumkan bahwa
negosiasinya dengan Soeharto telah gagal dan “orang tua” itu tidak menunjukkan tanda-tanda penerimaan. Akibatnya Abdurrahman memutarkan badan sekali lagi
untuk melawan Soeharto tetapi tidak sebelum membingungkan dan mengecewakan
banyak pendukungnya. Jika pendekatannya terhadap Soeharto mengakibatkan kebingungan, demikian pula
pendekatannya terhadap Habibie pun sepanjang awal tahun 1999 semakin mengakibatkan kebingungan.
Sekali lagi, Abdurrahman menjelaskan pertemuannya dengan Habibie dalam kawasan “riil politik”. Kali ini Abdurrahman beralasan bahwa karena tidak ada
kejelasan mekanisme yang akan menjamin transisi ke demokrasi sangat penting untuk bernegosiasi dengan para politisi konservatif seperti Habibie dan juga
Jenderal Wiranto Panglima TNI yang dia temui. Negosiasi ini dimulai sejak awal tahun 1999, bahkan sebenarnya pada akhir 1998 kemudian berlanjut sampai pada saat pemilu pada bulan Juni dan kemudian bulan-bulan setelah pemilu. Sementara
penjelasan Abdurrahman mengenai perlunya bernegosiasi untuk demokrasi dengan pihak-pihak pemegang kekuasaan masuk akal, mendung keraguan yang menyelimutinya semakin gelap dengan adanya kabar burung/desas-desus bahwa Abdurrahman menerima bantuan dana dari Soeharto dan kemudian Habibie untuk membiayai perawatan medisnya.
Pada saat yang sama, komentar-komentarnya – yang tidak jarang – tentang kurangnya kecerdasan dan kompetensi umum Megawati semakin membingungkan para pendukungnya. Banyak yang bisa menerima kenyataan Abdurrahman sebagai
jurkam PKB sebagai cara untuk mengantarkan kamp reformis yang dipimpin Megawati, agar dapat memperoleh jumlah suara dan kursi yang memadai dalam pemerintahan. Dan hasil Pemilu 1999 menunjukkan bahwa bila Abdurrahman tidak
berkampanye sedemikian gigih untuk PKB untuk memastikan masuknya suara ke PKB atau PDI Perjuangan, banyak suara akan lari ke kelompok PPP atau partai kecil lainnya. Agaknya Abdurrahman sukses besar memotong dukungan untuk partai-partai lawannya, yang itu enggan bekerja sama dengan PDI-P Megawati. Oleh karena itu, kampanye partisannya untuk PKB dapat dipahami sebagai bagian
strateginya untuk membangun landasan yang memadai bagi kaum reformis untuk mengantarkan Megawati membentuk pemerintahan. Problemnya adalah hal ini tidak menjelaskan mengapa Abdurrahman melakukan kritik secara terbuka terhadap Megawati atau mengapa ia mau bernegosiasi dengan kelompok poros tengah yang diasosiasikan dengan partai Islam. Sangat jelas bahwa
Abdurrahman Wahid sedang berupaya mendekatkan dan membangun aliansi antara Amien Rais sebagai PAN, PKB, dan PDI-P; dan Abdurrahman adalah figur
pengantara antara Amien Rais dan Megawati. Hal ini mudah dipahami dan sebenarnya patut dipuji. Yang belum jelas adalah mengapa Abdurrahman
membiarkan Poros Tengah mendukungnya sebagai calon presiden, yang hal ini menempatkannya secara diametral berhadap-hadapan dengan Megawati. Mungkin waktu akan menjelaskan bahwa hal ini adalah bagian dari strateginya, paling tidak, untuk memecah kekuatan dan dukungan kelompok Islam terhadap Habibie dan untuk membangun koalisi reformis dengan Megawati. Karena memang kelompok Habibie sedang berupaya keras walaupun putus asa untuk merebut dukungan kelompok Islam dengan menyerang Megawati sebagai perempuan dan keturunan
Bali yang diragukan kadar keislamannya dan dukungannya terhadap Islam. Dalam konteks ini, Abdurrahman sangat berhasil menjalin hubungan dengan Amien Rais. Lebih dari itu, mudah dipahami bahwa Abdurrahman sedang menggerogoti
dukungan muslim konservatif terhadap Habibie. Misalnya, dapat dipahami bahwa beberapa kandidat PPP dan bahkan beberapa kandidat Partai Keadilan telah dibujuk untuk mendukung Abdurrahman dan kemudian Megawati daripada Habibie. Kendati
demikian, pada sisi lain, bisa juga dipahami bahwa penerimaannya terhadap pencalonan dirinya sebagai presiden oleh Poros Tengah sebagai bentuk kompetisi
langsungnya dengan Megawati. Dalam poin ini, sangat membantu untuk menelaah beberapa faktor yang mungkin menjelaskan langkah kontroversial Abdurrahman itu. Faktor-faktor ini secara
mendasar dapat dikelompokkan dalam dua kategori, yaitu faktor yang berjangka panjang, dan yang lain lebih langsung berkaitan dengan kesehatannya sekarang.
Pertama, di antara faktor-faktor jangka panjang dapat didaftar misalnya konteks sosial konservatif NU tempat Abdurrahman menemukan dirinya. Pada sisi lain, Abdurrahman diharapkan bekerja dalam batas-batas kebudayaan tradisionalnya yang fundamental. Dalam NU seperti dalam organisasi tradisional lainnya di seluruh dunia, terutama organisasi yang dipengaruhi oleh sufisme, otoritas karismatik adalah
salah satu faktor yang sangat penting. Otoritas karismatik yang dimiliki berarti Abdurrahman memiliki potensi luar biasa untuk mempengaruhi massa NU dan ia mampu menggunakan hal ini dengan sangat baik. Tetapi, pada sisi lain, dia mempunyai kehidupan pribadi dan waktunya sendiri yang sangat berharga. Siang
dan malam Abdurrahman dikunjungi bermacam-macam orang yang eklektik dan eksentrik, dari meminta sumbangan, meminta nasihat, sampai minta campur tangan Abdurrahman dalam persoalan politik maupun pribadinya. Jika tidak ada yang
menghentikan mungkin tidak ada jam-jam di mana dia dapat tenang tanpa gangguan pengunjungnya yang terhormat. Kadang-kadang juga ada yang menginginkan nama untuk bayi mereka yang baru lahir atau nasihat untuk menyelesaikan masalah
perkawinan. Orang yang mempunyai ketenaran dan pengabdian terhadap kehidupan akan menghargai karakternya yang membelenggu dan tingkat frustrasi
yang diakibatkannya. Otoritas karismatik ini juga mempunyai efek yang membatasi, sekaligus terpendam. Karena Abdurrahman untuk lima belas tahun terakhir sebagai ketua Nahdlatul
Ulama tempat dia memberikan pengabdiannya, pasti adalah hal sulit berhadapan dengan realitas khususnya ketika akan membuat keputusan mengenai suatu
masalah yang sangat sulit atau kontroversial. Faktor ini semakin dipertajam lagi karena latar belakang keluarganya dalam lingkaran NU, yang dalam pandangan banyak orang, Abdurrahman adalah seorang “pangeran” putra dari “keluarga
kerajaan”. Pasti adalah hal sulit untuk menjaga perspektif atau bahkan menemukan cara alternatif untuk memandang realitas. Kemungkinan inilah masalah yang muncul selama periode kampanye PKB sebelum pemilu Juni 1999. Selama periode ini, Abdurrahman dan setiap pemimpin partai politik yang lain sangat optimis. Ketika ditanya mengenai PKB, dia akan menceritakan bagaimana tanggapan masyarakat
yang begitu ramai ketika dia mengelilingi nusantara dan dia juga akan menegaskan bagaimana PKB nanti akan menang dalam penghitungan suara. Realitasnya tentu lebih sederhana. Terus mengapa Abdurrahman kali ini begitu tidak akurat? Di satu sisi, jawabannya tidak dapat dilepaskan dari feedback yang dia peroleh selama kampanye sehingga sangat sulit baginya untuk membuat opini yang obyektif. Faktor jangka panjang dan elemen kunci lain yang menjelaskan sikap itu adalah kepribadian yang sangat unik. Nurcholish Madjid misalnya, yang mengenal Abdurrahman sejak masih mahasiswa dan sangat memahami dunianya dan latar belakang keluarganya karena mereka sama-sama berasal dari Jombang, Jawa Timur, mengatakan bahwa sejak muda Abdurrahman adalah wong nekad. Dia selalu keluar dari batas dan tidak pernah puas dengan mencukupkan pada satu jalan yang
pasti dan aman. Tampaknya bagi Abdurrahman, kalau belum mencapai tingkatan yang membahayakan atau belum merasa ter(di)sudutkan, Abdurrahman akan
merasa bahwa ia kurang keras mendorongnya! Bagaimana hal ini dapat dijelaskan? Ada banyak faktor, di antaranya terkait dengan pengalamannya dulu yaitu ia ada dalam mobil yang sama ketika ayahnya meninggal dalam kecelakaan yang menimpa
mobil yang dikendarainya. Di samping peristiwa ini, ada semacam tuntutan takdir atau sense of manifest destiny yang dibebankan padanya oleh ibunya yang sangat mencintai dan high profile. Sejak awal kehidupannya, Abdurrahman dibimbing untuk
memahami bahwa baik suka maupun tidak suka dia harus mengambil peran dan tanggung jawab ayahnya untuk memainkan peranan penting bagi masyarakat
Indonesia pada umumnya dan NU pada khususnya. Kendati demikian, faktor-faktor historis ini tentu tidak dapat dilepaskan dari faktor kepribadiannya yang khas, yaitu individu yang mendapat kepuasan ketika berhasil menggeser kemapanan, dan
berada di tepi. Berkaitan dengan hal ini adalah – seperti dikemukakan di muka – sense of manifest
destiny yang dibebankan padanya dan pemenuhan diri atau realisasinya dalam kehidupan. Sejak lama, Abdurrahman telah terbiasa bemain dalam lingkaran
utama/pusat, memainkan peranan utama. Hal ini diperkuat ketika dia terpilih sebagai ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama semenjak ia masih muda pada tahun 1984. Dia merasakan perlunya memainkan peran sentral sebagaimana beban dan
tanggung jawab yang harus dia emban. Perasaan ini betul-betul dihayatinya sehingga dalam banyak hal ia sering melupakan dirinya sendiri demi kerja keras
untuk rakyatnya. Kendati demikian, tentu ada saat-saat ketika pandangan tentang dirinya ini dan perannya dalam dunia telah mendistorsi pemahamannya tentang
situasi tertentu. Secara ideal, tidak ada seorang pun yang mampu secara terus- menerus “on call” selamanya. Lebih lagi, ketika orang terbiasa melakukan sesuatu secara konsisten pasti sangat sulit kalau harus mencerabutnya ketika tidak dibutuhkan.
Hal ini diperkuat dinamikanya oleh kenyataan bahwa Abdurrahman memiliki kemampuan intelektual yang luar biasa. Sebagai seorang santri pesantren yang
masih muda, intelektual briliannya jauh melebihi kapasitas teman-teman sebayanya, walaupun upaya kerja kerasnya tidak melebihi teman-temannya. Demikian juga, walaupun ia tidak punya akses pendidikan yang dimiliki teman sebayanya seperti
Nurcholish, ia juga tidak mengambil program pascasarjana, tetapi pemahamannya tentang pemikiran Barat bahkan bahasa Barat melebihi kemampuan teman sebayanya. Akibat tak terhindarkan adalah bahwa Abdurrahman telah menjadi raksasa di antara sebayanya dalam hal luasnya wawasan, keluwesan pemikiran, pemahaman, pengalaman, dan kemampuan intelektual yang tajam. Dia tak jarang berbeda dengan ulama. Hal ini diperumit lagi dengan fakta kultur tradisional ulama, yang sering menyebabkannya frustrasi. Faktor personal lainnya adalah bahwa
Abdurrahman secara mendasar sangat dermawan. Kedermawanan ini dan kelemahan karakter, atau lebih tepatnya kebiasaan khusus kepribadiannya, sering
mengantarkan pada kurangnya kemampuan untuk memahami jalan pikirannya. Sementara pada sisi lain hanya beberapa orang dalam lingkarannya yang cocok
dengan level intelektualnya, pada sisi lain ia terlalu bodoh dalam hal tingkat kepercayaan yang dia berikan pada orang. Menyadari sulitnya permasalahan seperti
itu, dia sering harus bernegosiasi dalam politik dan bahkan juga dalam urusan NU, oleh karena itu tidak mengejutkan bila kekurangpahaman ini membuat ide-idenya tidak terwujudkan. Harga yang paling mahal yang harus ia bayar adalah kepercayaan yang ia berikan pada orang-orang yang dekat padanya. Seringkali kepercayaannya sangat bermanfaat baginya tetapi pada saat lain ia dinasihati oleh sahabat yang berkunjung padanya baik dengan niat baik maupun naif atau yang kadang-kadang sengaja manipulatif dengan memberinya nasihat yang buruk. Hal ini
semakin parah selama masa dua tahun penyembuhan pasca-stroke yaitu pada saat dia telah betul-betul buta dan secara psikologis mengalami disorientasi. Jika dia
lebih memahami orang-orang yang berkumpul di sekitarnya dan siapa-siapa yang nasihatnya dia percaya, tentu dia telah mengalami banyak kesulitan. Oleh karena itu, banyak statement publiknya yang kemudian membuatnya tersudut karena informasi yang keliru yang diberikan orang-orang terdekatnya. Kendati demikian untungnya, dia juga menikmati tahun-tahun itu, termasuk saat ini, dengan dikelilingi orang-orang yang dapat dipercaya, bijaksana, dan berniat baik.
Faktor jangka panjang lain yang menjelaskan sikap Abdurrahman adalah kepedulian pastoralnya terhadap masyarakat NU dan juga pada semua masyarakat Indonesia. Dia sepertinya selalu merasakan perasaan paternal untuk selalu bertanggung jawab
dan peduli dengan rakyat kecil Indonesia. Selama periode Soeharto dia sering terlibat dalam perjuangan untuk membebaskan mereka dari bahaya dan
menghindari konfrontasi dan konflik dengan para penguasa saat itu. Tidak diragukan lagi bahwa kepedulian paternal ini sering berakibat pada paternalisme yang Mempunyai kelemahan dan kekurangan secara mendasar, tetapi kendati demikian
tidak dapat diragukan juga niat baik dan sentimen murni Abdurrahman dalam kepeduliannya terhadap masyarakat kecil dalam tubuh Nahdlatul Ulama dan
Indonesia secara umum. Dalam kepedulian politik ini, Abdurrahman secara konsisten mengikuti pendekatan
politik Sunni yaitu quietism, ketenangan harmoni, katakanlah untuk menghindari konfrontasi langsung dengan para penguasa saat itu dan selalu mempertimbangkan cara meminimalisir risiko dan memaksimalkan hasil yang baik. Hal ini membuatnya
mencari jalan kompromi. Sering jalan tengah yang mengkompromikan berbagai kepentingan ini sering berakibat buruk bagi reputasinya. Menyadari bahwa Abdurrahman adalah seorang yang nekad, seperti disebutkan di atas, sangat mudah memahami mengapa berbagai serangan secara terus-menerus
terhadap reputasinya tidak membuatnya khawatir. Bahkan Abdurrahman seolah-olah mempunyai kemampuan mengoperasikan intuisi yaitu bahwa bakat (capital) kultural pribadinya yang sangat besar dapat disimpan dan dikeluarkan, dan Abdurrahman
percaya dalam mengetahui bakatnya itu akan terpenuhi. Kehendak untuk menarik, mencurahkan, dan menggunakan secara maksimal kapital kultural pribadinya ini tampak terutama dalam negosiasinya dengan Soeharto sampai berakhirnya rejim itu
dan dalam dua tahun berikutnya dengan Habibie. Bila menjadi publik figur, tentu setiap intelektual akan berpikir dua kali karena bila memasuki isu yang kontroversial itu bisa berakibat buruk pada reputasinya. Tapi Abdurrahman tidak. Ia seperti tidak
peduli dengan risiko itu. Mungkin karena kekuatan kepribadiannya. Dan pasti ini. Kendati demikian, pada sisi lain, mungkin juga tanda orang yang ingin memainkan peranan yang sangat besar dalam kehidupan publik dengan tanpa mempertimbangkan risiko yang menimpa dirinya. Abdurrahman bukan hanya berhadapan dengan lingkungan politiknya yang sangat sulit pada masa akhir Soeharto dan selama tahun-tahun yang membingungkan sesudahnya. Dia selama lima belas tahun lebih juga harus berhadapan dengan politik yang sangat rumit dan tumpang tindih dalam tubuh NU sendiri. Pertimbangan- pertimbangan politik ini dalam lingkaran para ulama diperparah perjuangan di mana Abdurrahman merupakan pemain sentral kubu konservatif dan kubu progresif dalam
tubuh organisasi itu. Akibatnya Abdurrahman sering terjebak dalam dinamika yang multidimensi bahkan paradoksal ketika dia berusaha membawa dan
mentransformasikan masyarakat NU menurut agenda pribadinya dan sekaligus merebut dukungan elite karismatik organisasi. Tindakan penyeimbangan politik dan tindakan penegosiasian dalam wilayah sulit ini
menjadi lebih kompleks lagi selama masa peralihan pemerintahan antara akhir jabatan Soeharto dan ketika Soeharto mengundurkan diri pada bulan Mei 1998, dan
pada akhir tahun 1999 ketika pemerintahan yang baru dibentuk. Periode antara Pemilu 1999 dan pembentukan pemerintahannya misalnya, merupakan periode perang dingin yang sangat intens dan negosiasi kekuasaan di mana ketegangannya
luar biasa dan sering kejam. Abdurrahman sebagai salah satu pimpinan partai reformis utama selain PDI-P terpaksa terlibat dalam proses yang sangat sulit itu.
Oleh karena itu tidak meragukan lagi, dalam beberapa tahun terakhir, ramalan- ramalannya salah, mungkin karena kurang kuatnya nasihat yang ia terima atau
karena kekurangan dalam temperamennya atau dalam cara menginterpretasikannya. Tetapi harus diakui bahwa situasi itu sangat sulit dan bila ada orang lain menghadapi persoalan sulit itu, tentu ia juga bisa salah. Di samping faktor-faktor jangka panjang ini, faktor lainnya adalah faktor yang lebih berjangka pendek dan personal, yang secara langsung berkait dengan perilaku Abdurrahman pada akhir tahun 1990-an khususnya pada tahun 1998 dan 1999. Seperti sudah banyak diketahui, pada pertengahan 1990-an istrinya mengalami kecelakaan hebat yang menimpa mobil yang ditumpanginya, sehingga merenggut
nyawa ibunya, orang yang paling dekat dengannya dan istrinya pun harus duduk di atas kursi roda. Hal ini merupakan tekanan yang luar biasa pada Abdurrahman dan semakin menambah beban pikirannya yang sudah banyak. Kemudian pada bulan Januari 1998 dia sendiri kali ini yang mengalami kecelakaan yaitu stroke parah yang ia derita. Sehingga tidak sedikit dokter yang memperkirakan kematiannya. Memang diduga bilapun sembuh Abdurrahman tetap akan cacat. Kenyataannya sangat mengejutkan, ia sembuh dengan cepat dan baik, Abdurrahman kehilangan penglihatan mata kirinya. Artinya selama tahun 1998 dan 1999 mungkin adalah masa-masa paling sulit Indonesia yang dihadapi Abdurrahman, bukan hanya bertempur dengan kondisi psikisnya tetapi juga dengan kondisi psikologis yang
berakibat pada kondisi fisiknya, kesehatan badannya. Para pakar medis dalam bidang trauma dan khususnya kebutaan menjelaskan bahwa adalah biasa bagi
seseorang yang tiba-tiba kehilangan kondisi fisiknya apalagi pandangan mata akan mengalami fase tidak menerima beberapa tahun setelah kehilangan ini. Selama masa penolakan itu, biasanya mereka mengalami perubahan mood dan iritasi
kepribadian normalnya dan keyakinan irasional bahwa ia akan segera sembuh. Dengan kondisi semacam itu tidak banyak pasien yang mampu beradaptasi dengan
cepat terhadap cacat fisiknya itu. Abdurrahman adalah perkecualian dalam hal ini, dan faktor ini saja, yaitu perjuangan psikologis untuk menerima cacat hilangnya pandangan mata kirinya secara permanen lebih dari cukup untuk mendiskualifikasi para pakar profesional. Ketika menganggap bahwa tekanan yang ia alami, di mana banyak risiko, tingkat komitmennya yang sangat tinggi sebagai pemimpin agama
dan politik, tidak mengherankan bila ia mampu melampaui masa-masa berat ini dengan luar biasa.
Akhirnya, sangat bermanfaat bagi kita untuk mengemukakan perspektif berkaitan dengan persoalan karakternya yang khas dan kelemahannya. Selama tahun 1999 misalnya majalah Time mempublikasikan seri artikel tentang tokoh-tokoh terkemuka pada abad ke-20. Merupakan latihan instruktif untuk mencermati daftar hero atau raksasa dan menanyakan betapa sempurnanya figur ini. Tidaklah mengapa bagi
yang menganggap apakah Mahatma Gandhi atau Nelson Mandela, atau bahkan Ibu Teresa, figur-figur utama abad ke-20, seperti pada setiap abad, bahkan figur terbaik dari mereka pun merupakan kombinasi paradoksal antara kelebihan yang luar biasa
dan kelemahan manusia biasa. Setiap figur dalam periode sejarah mempunyai keterbatasan yang tidak mereka sadari. Dalam pengertian ini, jika Abdurrahman dianggap figur utama dalam sejarah Indonesia, maka wajar dan masuk akal
mengakui bahwa figur-figur besar ini pun mempunyai “kekurangan”. Mungkin bagian masalah yang muncul berkaitan dengan upaya memahami Abdurrahman dan menerima keputusannya yang kadang-kadang saling berbeda, kekurangan dalam karakter, kelemahan adalah karena kita mempunyai harapan- harapan yang tidak masuk akal. Kita memang sering menginginkan kesempurnaan. Jika kembali lagi pada daftar tokoh dunia abad 20 kita tidak ingat bahwa tidak satu
pun dari tokoh-tokoh ini yang tanpa kekurangan dan kelemahan. Bahkan banyak di antara mereka yang lemah dan hal itu sering menjadi pelengkap kejeniusannya. Satu hal yang sangat penting untuk direnungkan dalam berefleksi tentang Abdurrahman Wahid dan kontribusinya terhadap kehidupan publik dan religius di Indonesia adalah bahwa kadang-kadang perlu memisah antara manusia dan gagasan-gagasannya. Tidak ada satu pun pemimpin, bahkan tidak ada satu pun intelektual yang selamanya konsisten. Sudah menjadi masalah umum bahwa yang
memberikan hal terbaik untuk kehidupan masyarakat kadang-kadang berjuang atau gagal mewujudkan ide itu sendiri. Banyak contoh akan hal ini. Oleh karena itu,
pengakuan bahwa kontribusi tokoh intelektual seperti Abdurrahman harus dipisahkan dari konsistensi pribadinya dalam mewujudkan setiap aspek dari
gagasan-gagasan ini. Secara lebih khusus lagi, sangat penting bagi kita untuk membaca tulisan Abdurrahman karena tidak dapat disangkal lagi Abdurrahman
adalah salah satu di antara intelektual paling signifikan, bahkan sekalipun jika tidak diakui demikian dan paling tidak untuk memahami persoalan-persoalan yang
memungkinkan kita memahami gaya personal politiknya. Dengan pertimbangan ini, kami menyambut gembira buku baru ini akan diterbitkan LKiS yang mengumpulkan artikel-artikel Abdurrahman dari majalah Prisma. Tidak diragukan lagi sudah banyak
orang yang membaca artikel-artikel ini, paling tidak dalam bentuk fotokopi, tetapi mungkin jarang yang telah membacanya secara keseluruhan dan mempelajarinya sebagai suatu rangkaian. Dalam memahami Abdurrahman dan mengapresiasi
kontribusinya sangat penting untuk memperhatikan dan merefleksikan tulisannya secara serius. Semoga, sejarah dan waktu menunjukkan bahwa sebagian besar, Abdurrahman sudah merealisasikan ide-idenya, khususnya yang berkaitan dengan hak asasi manusia, toleransi dan prinsip-prinsip demokratik. Jika realisasi secara keseluruhan belum terpenuhi bukan berarti bahwa ide-ide ini telah gagal, seperti juga semua tokoh-tokoh besar lainnya dengan gagasan-gagasannya. []