"Dia kalau mau pergi biarkan saja!" sungut Ibu Mertua, saat tahu aku berkemas. Sengaja tak aku tanggapi. Karena pasti tambah bikin sesak hati.
"Dek, jangan seperti ini, kita bisa ngomong baik-baik!" ucap Mas Riko. Tapi, aku tetap saja berkemas. Sengaja juga tak aku tanggapi.
"Riko! Biarkan saja! Itu sudah maunya, kok, yang penting kamu nggak ngusir dia!" Ibu menanggapi ucapan Mas Riko lagi. Di dalam sini, semakin tak bisa aku jelaskan bagaimana sakitnya.
"Iya, Ko. Jadi istri kok kayak gitu!" sahut Mbak Lala. Kutarik napas ini kuat-kuat, menghembuskan pelan. Berharap sedikit tenang, tapi tetap saja sesak. Sungguh sakit sekali. Tapi, tetap saja aku melanjutkan berkemas.
Walau hati ini sesak, aku mati-matian menahan air mata, walau tetap jatuh juga. Setidaknya air mata yang bergulir tidak begitu deras.
"Dek! Please! Jangan seperti ini! Kita bisa bicarakan lagi!" pinta Mas Riko seolah memohon padaku.
"Hati dia itu sudah keras, Ko! Biarkan saja, itu sudah menjadi pilihannya!" sungut Ibu. Kupejamkan mata ini sejenak.
"Mbak Elsa ini kenapa? Marah, karena Mas Riko memenuhi tanggung jawabnya pada ibu dan saudara-saudaranya? Nggak boleh kayak gitu, Mbak! Mas Riko anak laki-laki satu-satunya, tulang punggung keluarga, pengganti Bapak!" ucap Nila.
Semakin sesak saja mendengar ocehan mereka. Mereka benar-benar tak merasa bersalah. Di mata mereka, aku lah yang salah.
Sebenarnya aku tak masalah jika Mas Riko harus memberikan sebagian gajinya ke ibu. Tapi, seikhlas kami, semampu kami, bukan di target seperti ini. Sudah kayak menagih hutang saja mereka datang setiap bulan.
"Pantes nggak hamil-hamil, suami sayang sama keluarga bukannya di dukung, malah di marahin! Itu namanya Tuhan nggak ridlo!" sungut Ibu Mertua.
"Cukup!" teriakku lantang. Hati ini benar-benar bergemuruh hebat mendengar ocehan mereka yang terus menerus menyudutkanku.
Kupandangi mereka satu persatu. Mereka terlihat menganga, seolah terkejut. Apalagi ibu mertua. Seolah tak terima aku menggunakan nada tinggi.
"Lihat istrimu, Ko! Berani sekali dia ngomong lantang seperti itu?! Padahal ada mertuanya!" ucap Ibu, seolah masih terus menyudutkanku.
Kukepalkan kuat tangan ini, terus mengontrol diri. Kemudian menatap Mas Riko tajam.
"Benar kata ibumu, hatiku sudah keras. Keras karena setiap hari, harus tertekan berada di posisi ini! Tapi, aku menolak ucapan Ibu, yang bilang aku tak hamil-hamil karena tak mendukungmu. Karena sebenarnya, hari ini aku mau memberitahukanmu, aku positif hamil! Tapi, sudahlah! Hatiku sudah keras!" ucapku dengan terus menatap Mas Riko. Kusodorkan hasil test pack. Dengan Mata membelalak Mas Riko menerimanya.
"Jadi kamu positif hamil?" ucap Mas Riko seolah meyakinkan. Nada suaranya terdengar bergetar.
"Iya, aku hamil! Tapi, karena hatiku sudah terlanjur keras, aku tetap dengan pendirianku!"
"Jangan, Dek! Jangan seperti itu! Kita harusnya bahagia. Tiga tahun kita menunggunya!" sahut Mas Riko, berusaha menarik tanganku, tapi aku menepisnya. Sengaja.
"Maaf! Selama kamu masih seperti ini, kita pisah saja! Kasihkan semua gajimu ke mereka. Aku nggak butuh! Aku bisa membiayai anak kita, seorang diri!" balasku.
"Nggak, Dek! Kamu nggak boleh pergi. Aku nggak mau kita pisah! Kita harus membesarkan anak kita bersama!"
"Sudahlah, Ko! Biarkan saja. Dia pikir gampang cari uang? Nanti kalau uangnya habis, pasti dia akan kembali lagi sama kamu! Orang hamil mau kerja apa?" sahut Ibu, bukannya menenangkan keadaan, tapi dia malah jadi kompor.
"Ok, aku akan buktikan, aku bisa. Tak akan aku kembali ke sini lagi dan kamu Mas Riko, jangan berharap bisa ketemu calon anakmu!" jawabku lantang. Sengaja aku menantang. Mereka terlihat menganga.
Kutarik koper yang sudah aku tutup. Beranjak keluar dari kamar.
"Dek, jangan pergi!"
"Sudah, Ko, jangan di kejar!
"Iya, Mas, biarkan saja! Pasti balik dia, tenang saja!"
"Stop!!! Kalian cukup membuatku pusing! Tak ada uang bulan ini untuk kalian!" teriak Mas Riko, ucapan itu cukup menghentikan langkah kakiku.