Yakinlah Seruni, pada apa yang membuat hatinya gelisah selama ini. Ia telah termakan ucapannya sendiri, ia sepertinya telah "menyukai" Subur. Lelaki yang dulu ia anggap hina.
"Ya ... karena aku tak menarik, tak sekolah dan tak memiliki apapun ...."
Suara merendah Subur, sarat akan ketidak percayaan dirinya. Mendengarnya, Seruni mendadak iba dan ingin menepis perasaan rendah diri Subur.
"Belum ... belum, aku yakin sebentar lagi kau akan jadi mantri andalan, seperti kata Bapakku ...." ujar Seruni, ia spontan berpaling dan menatap lekat mata Subur yang menengadah terkejut dengan jawaban positifnya.
Ia sendiri heran dengan apa yang keluar dari mulutnya. Bagaimana bisa ia dengan lembut dan lancar memberi semangat pada pemuda yang terus membuatnya kesal dan sekaligus penasaran ini?
"Apa kau yakin?" tanya Subur, mereka kini tak hanya bicara, mereka saling beradu tatapan mata. Rona pipi merah milik Seruni membuat Subur tak bisa menahan senyumannya.
Seruni kaget mendapati Subur tersenyum padanya. Wajah lelaki itu berubah manis kala tersenyum. Cepat ia menunduk menutupi perasaan malu dan tak tahannya dipandangi Subur.
Bersamaan dengan suara andong yang datang dari arah halaman rumahnya, Seruni melompat dari meja Subur. Suara tawa teman-temannya terdengar di luar.
Seruni mengangguk pamit pada Subur, yang seakan tak rela melihatnya pergi. Pemuda itu hanya berdiri diam tanpa berani mencegah Seruni pergi.
"Kau mau kemanaaa!!" suara pak mantri tiba-tiba menggelegar berteriak dari teras rumahnya. Keempat teman Seruni -dua lelaki dan dua perempuan- mendadak diam. Baru kali ini mereka melihat pak mantri dengan wajah tak senang.
"Udaaaah, cuekin aja, ayo kita berangkat!" serunya sembari menjawil lengan pak Kusir yang kebingungan melihat pak mantri berlari ke arah mereka.
"Berhentiiiiii Mujuuuur, awas kamu kalau berobat yaa!!"
Mendengar ancaman pak Mantri kang Mujur sang kusir, enggan menggerakkan andongnya.
Pak Soedali ngos-ngosan memegangi dadanya.
"Ini sudah sore dan sebentar lagi magrib, tak baik anak perempuan kelayapan. Apa kalian tak diajari orang tua kalian? Kalau mau liar, liar saja sendiri jangan ajak Seruni!" merasa tak terima dengan ucapan pak mantri dua gadis lain, teman Seruni mencebik.
"Justeru ini rencana Seruni, dialah yang ngotot ngajak kami berlatih ke sanggar seni tuan Ponimin di Seberang! Enak saja ngatai orang liar!"
"Sementang orang tua, jo sembarangan ngomong! Kami bukan mejeng, kami juga belajar menyalurkan bakat, Paaak!" seru gadis yang lain lebih lantang dan kurang ajar, mereka berdua bahu membahu membalas ucapan pak mantri.
Pak mantri naik pitam, giginya beradu bergemeletukan, baginya teman-teman Seruni tak ada yang bagus apapun dalih mereka, tetap saja mereka anak-anak liar lagi pembangkang karena sudah membalas omongannya dengan sikap sombong.
"Kami selama ini ikut sanggar seni di Seberang, milik orang kaya bernama Pak Ponimin, ia tertarik dengan bakat kami. Ia bahkan menawari kami tampil di pameran seni dan teater, kami akan di ajaknya ke ibukota bahkan kalau penampilan kami bagus, kami akan terbang ke eropa. Pak Ponimin bukanlah orang sembarangan, aku akan mengundangnya ke rumah menemui Bapak dan membantu menjelaskan semuanya, bila perlu. Agar Bapak mengerti," jelas Seruni mencoba bicara perlahan agar emosi pak mantri turun.
"Sanggar seni apa? Apapun itu, Bapak gak setuju kalau itu membuatmu keluar petang dan pulang malam seperti wanita ..." pak Soedali tak melanjutkan ucapannya.
"Kalau tak percaya padaku, suruh saja mas Subur mengawasiku," Seruni menjawab Bapaknya sembari menatap lurus ke arah Subur.
"Apa?" pak Soedali kini menatap bergantian, antara Seruni dan Subur. Apakah diantara mereka sudah terjalin komunikasi? Sejak kapan? Ia heran, dan terus bertanya-tanya dalam hati.
Subur hanya diam. Bagai paham, ia membalas tatapan pak Soedali dengan mengangguk. Pak Soedali terperangah dan semakin terkesima saat ia melihat senyum merekah di bibir Seruni.
"T, t, t, tapi ... kalian jangan pulang larut malam, sebelum isya usahakan sudah kembali." ujarnya lirih dan ragu, ia tak yakin pada Seruni tapi ia bisa mengandalkan Subur.
Subur bergegas masuk dan merapikan buku tanaman dan obat herbalnya, meraih tas rajutan neneknya. Setelah mengenakan jaket, ia lalu menyusul Seruni dan teman-temannya naik andong. Duduk berhadapan dengan Seruni, setelah pamit pada pak Soedali dan mencium takzim tangan gurunya itu, hal yang hampir tak pernah dilakukan Seruni.
Pak Soedali terus menganga menatapi andong hingga hilang di ujung jalan, ia masih heran bercampur takjub dengan perubahan sikap antara Seruni dan Subur.
Harapannya yang sempat kandas, kembali muncul untuk menjodohkan mereka.
***
Di atas kereta kuda alias andong, teman-teman wanita Seruni terus menggodanya mengenai Subur. Sementara teman-teman prianya nampak diam dan menjaga jarak dengan Subur.
Seruni sendiri terus saja memberi perhatian padanya.
"Apa kau lapar, Mas?" tanyanya pada Subur yang kikuk malu-malu mendengar gadis itu kini memanggilnya 'Mas'.
Ia mengeluarkan bungkusan berisi pisang rebus yang ia ambil dari dapur ibunya sebelum berangkat, dari dalam tas.
"Ini! Makanlah .... " jemari halus dan lentiknya terulur, menyodorkan sebungkus pisang rebus yang diterima Subur dengan kikuk.
"Apa kalian sepasang kekasih?"
Busshhh, wajah Subur dan Seruni berubah merah. Keduanya tak menjawab seakan tak mendengar pertanyaan salah satu teman wanita Seruni. Mereka berdua memalingkan wajah menatapi pemandangan.
"Sikapmu padanya seperti sikap seorang istri ... hehehehehee" jawil teman wanita yang satunya lagi di lengan Seruni. Gadis itu tersenyum, lalu menjawab sembari tertawa,
"Mas Subur mana mungkin mau denganku, dia kan calon orang berduit, mantri muda andalan warga sementara aku hanya penari baru di sanggar seni! Hahahahaha!" Seruni tertawa lepas.
Ia tak sadar suara tawanya renyah, membuat iri para wanita dan ... membangkitkan gairah para lelaki yang mendengar, termasuklah Subur, dua teman lelakinya dan pak kusir.
Suara tawa Seruni mampu menghipnotis suasana menjadi ceria. Subur tak pernah sekalipun mendengarnya tertawa lepas di rumah, seperti kali ini.
"Heeii, tawamu membuat Mas Subur terpesona, iya kan mas Subuur?" goda teman wanitanya lagi. Mereka lalu tertawa melihat desisan suara Seruni yang menyuruh agar mereka berhenti menggoda.
Sementara Subur hanya diam saja, wajahnya datar, membuat segan orang yang hendak mencandainya lagi. Padahal itu karena ia menyembunyikan perasaan gugupnya.
Setelah itu sepanjang perjalan di atas sampan penyeberangan, mereka hanya diam dan saling bicara sendiri. Subur terus mengawasi Seruni dan menjaganya, ia takut Seruni oleng dan jatuh ke laut.
Dalam hati, Subur senang, nampaknya hubungannya dengan Seruni telah menampakkan titik terang. Ia kini bisa dengan leluasa memandangi wajah cantik Seruni. Sesekali tatapan mereka beradu dan ia mendapat lagi siraman senyuman Seruni yang membuat hatinya yang gersang dan layu selama ini, serta merta tumbuh subur seperti namanya, hati Suburpun merekah.
Harapannya ternyata belumlah musnah.
***
Mereka tiba di rumah pemilik sanggar seni bertaraf internasional bernama Pak Ponimin.
Rumahnya besar, mengalahkan istana Deli. Pekarangannya luas, dengan aneka tanaman yang sepertinya tak semua ada di dalam negeri, ia pastilah mendatangkan sebagian dari luar negeri.
Sambutan hangat diterima mereka langsung dari pak Ponimin, mereka lalu berjalan menyusuri pekarangan belakang istana pak Ponimin. Ternyata itu bukanlah pekarangan melainkan kebun dan peternakan kuda. Subur takjub dengan kekayaan yang dimiliki Pak Ponimin.
Setelah berbasa-basi, memasuki magrib mereka tak diarahkan sholat, melainkan langsung latihan. Saat itulah kekaguman Subur terhadap kebaikan dan keramahan pak Ponimin menyambut tamu perlahan luntur.
Memang dia juga bukanlah lelaki alim, sholatnya juga sering bolong. Tapi ini magrib, mengapa mereka malah memulai latihan di saat magrib? Tanya Subur dalam hati.
Ia lalu pamit pada Seruni untuk sholat, setelah menanyai para pelayan rumah pak Ponimin, mereka mengatakan tak pernah menyajikan tempat untuk sholat, Subur lalu memilih sholat di taman. Bersama nyamuk dan suara kumbang malam.
Rumah seluas ini, padahal bisa saja mereka memberi satu kamar untuk sholat, pikir Subur, dalam hati.
Usai sholat, Subur kembali ke gedung teater milik pak Ponimin. Semakin dekat, suara samar mereka yang berlatih, semakin jelas.
"Ulangi Seruni!" itu suara pak Ponimin, tak kusangka ia yang sekaya ini turun langsung mengajari, bisik batin Subur.
"Mohon jangan kaku seperti itu, kau sedang bertemu kekasihmu, kalian akan bicara sebentar, lalu beradu argumen, kemudian Romeo mencium bibir Juliet, baru ciumannya turun ke leher dan ke belahan dada! Sampai paman Juliet masuk. Semua harus dilakukan dengan penuh gairah dan antusiasme! Tunjukkan gelora cinta yang membara! Kalian akan dibayar mahal untuk ini! Kau Seruni, kau selaku Juliet, pundakmu tak perlu sekaku itu saat akan berciuman, .... "
"Kalau kalian sudah memutuskan bergabung, kalian harus total! Jangan keluar masuk seperti kancing baju! Jangan main-main dengan saya!" pak Ponimin menekan tongkat kayunya, sorot matanya berubah licik, firasat Subur semakin tak enak.
Ia masih menganga ...
Apa tadi? Mencium bibir, leher, dan ....
Tatapan Subur berubah tak senang, ia marah, dadanya panas. Ia kini lurus menatap Seruni yang serba salah ....
Antara profesionalitas seperti perintah pak Ponimin atau
tentu saja menjaga perasaan lelaki yang ia sukai,
Subur.
Bersambung
Mohon Subscribenya ❤️ yaa