Satu
Seruni, 

gadis manis anak Pak Soedali, Mantri Kesehatan di kampung, sungguh menggugah hati Subur, pemuda yang dikenal lugu lagi pandir. 

Disebut pandir, karena selain lugu ia keras kepala. Bersikeras pada cinta yang dinilai semua orang 'Tak mungkin'. 

Sejak 5 tahun lalu, pak Soedali datang dari Jawa membawa istri serta anak gadis semata wayang mereka, Seruni. Dengan tujuan mendampingi ratusan transmigran Jawa dan memberikan pelayanan kesehatan bagi mereka dan warga asli pulau Karang tentunya. 

Sebagai program pemerintah mengisi kemerdekaan. Tahun 1970an memang transmigrasi begitu popular di era Orde Baru. Kala itu, pemerintah meyakini program ini strategis sebagai upaya pemerataan penduduk, peningkatan produksi pertanian, dan keamanan negara. 

Kawasan Pulau Karang, masih berupa hutan saat mereka datang bersama dua ratus orang transmigran yang lain yang terdiri dari ABRI dan petani. Pak Soedali tiba bersama rombongan Transmigran Angkatan Darat (Trans AD). Rombongan tentara sekaligus kepala keluarga ini membabat hutan, menyiapkan lahan pertanian, dengan dukungan logistik awal dari pemerintah. 

Pada saat itu, pulau karang masih dibilang sangat terpencil dengan hutan belantara dan jumlah penduduknya yang tak banyak. Transmigrasi adalah salah satu upaya pemerintah demi menjaga keamanan negara pada pulau terpencil ini. 

Saat itu, Pak Soedali yang jadi mantri kesehatan terkenal cakap dan pandai. Sangking pandainya banyak warga asli pulau Karang dan warga Transmigran serasi dan seperti "jodoh" berobat dengannya. 

Pak Mantri Soedali bahkan membuat sendiri salep ichtyol, sulfanilamid, dan obat batuk hitam yang ia jual dengan harga yang sangat terjangkau pada pasiennya. 

Bahu membahulah pak mantri Soedali dan para ABRI membangun Pulau Karang. Lima tahun kemudian mereka bahkan berhasil membuat jalur transportasi kereta api uap khusus pulau Karang yang saat itu masih pakai arang alias kayu bakar. Guna membawa dan menyalurkan hasil pertanian -dari dan ke- pulau Karang.

Jalur kereta dengan bahan bakar arang itu beroperasi hanya sekitar kawasan pulau Karang, karena pulau ini terpisah dan dihalangi oleh laut. Waktu itu bergotong royong ABRI dan penduduk saat datang lokomotif dan gerbong dari Semarang pulau Jawa, dengan sebuah kapal, membawa lokomotif rancangan Jerman menuju ke pulau Karang. 

Mereka membangun Jalur lintas kereta dari Barat, menyusuri gudang-gudang hasil perkebunan dari hutan belantara yang baru di buka menuju dermaga desa Karang Ujung. Kereta berjalan hingga ke pelosok Timur, sampai ke perbatasan desa paling terpencil yang dipisahkan lagi oleh anak sungai, yaitu desa Karang Gading.  

Jalur kereta mengitari desa-desa sejauh hingga kurang lebih 20 kilometer itu butuh waktu 4 jam dalam sekali putar, dengan tenaga arang dan kecepatan yang tidak tinggi. 

Dan kesemuannya yang telah berlangsung, memukau dalam pandangan pemuda bernama Subur. Terutama kendaraan yang panjang bak ular raksasa yang mengepul-ngepulkan uap di atas kepalanya itu. 

Subur girang setiap saat, ia kagum pada semua orang transmigran terutama pak mantri Soedali. Setiap hari dari pagi dan petang Subur menawarkan tenaganya demi bisa membantu kerjaan apapun yang di minta pak Soedali. 

Lalu anak gadisnya itu,  menambah kebahagiaan dalam debaran yang terus menggelisahkan di dada Subur, lelaki miskin, lugu, lagi jauh dari gambaran tampan. 

Ia jatuh cinta di setiap detik saat melihat dan berada tak jauh dari gadis itu. Gadis yang ternyata, tak sekalipun berminat melirik ke arahnya. 

***

Setiap hari, sehabis membantu neneknya bekerja di ladang, Subur pemuda yang beranjak dewasa itu, pastilah akan langsung  bergegas menuju ke klinik pak Soedali. Ia akan dengan senang hati membantu membersihkan halaman klinik, mengangkat air,  merebus air, mencuci sprei, menjemur lalu melipat dan memasang kain-kain klinik pak mantri. 

Subur juga ikut membantu memapah pasien, dan membersihkan luka seperti pasien patah kaki jatuh dari tebing, pecah kepala tertimpa durian, mata yang tertusuk pelepah sawit, leher yang patah jatuh dari pohon dan aneka penyakit kecelakaan lain. 

Subur dengan rajin dan setianya membantu meskipun dengan upah yang tak seberapa, karena sejatinya segala lelahnya sudah akan terbayar hanya dengan satu harapan, mendapat senyuman dari Seruni. 

Namun sayang, jangankan senyuman, gadis manis itu sedikitpun tak pernah menoleh padanya. 

Seruni gadis manis putri pak Mantri, ternyata punya standar yang tinggi. Jangankan si Subur, semua pemuda desa dan transmigranan pun tak ada yang sudi ia menoleh. Karena kalau boleh jujur ia sebenarnya merutuki dan tak ikhlas dengan keputusan Bapaknya untuk jadi mantri di pulau Karang yang jauh dari peradaban tanah Jawa. 

Hanya karena ingin mendapatkan sebidang tanah yang luas yang tak pernah bisa mereka miliki di Jawa. 

"Kita orang-orang transmigranan ini, berpindah karena kita tak punya warisan dan tanah yang luas untuk diwariskan di kampung halaman, mangkanya di sini manfaatkan tenaga sebaik mungkin, bukalah lahan seluas mungkin, agar saat kita tiada, jasa kita tetap dikenang anak cucu dengan mewariskan lahan untuk mereka," begitulah alasan bapaknya yang ia dengar dan membuatnya kesal karena bagaimanapun ia tak mau mewarisi tanah di tanah perantauan apalagi pulau Karang. 

***

Seperti biasa, Subur akan datang ke rumahnya untuk membantu membereskan klinik bapaknya yang terletak di halaman rumah mereka. Subur dengan setia menemani bapaknya meskipun tak pernah diminta. Ia membantu menangani pasien bapaknya, lalu tak lama akan tertawa bahagia jika mendengar pasien tersebut sembuh. 

'Dasar bodoh!' 

Maki Seruni setiap kali melihat tawa Subur yang polos, begitu tahu pasien bapaknya sembuh dan membawakan mereka setandan pisang, atau seikat kelapa atau beberapa ayam kampung untuk mereka potong. Tak banyak yang membayar bapaknya dengan uang. 

Di satu sisi, Seruni juga tahu, gelagat gerak- gerik tubuh lelaki 'penger' itu yang kerap senyam-senyum melirik bahkan memandanginya dengan tatapan memuja, semakin hari semakin risih ia melihat lelaki itu. 

Membayangkan Subur 'si penger', ia kerap mual dan rasanya mau muntah. 

-Ia sengaja menyebut Subur 'penger' karena Subur kerap menampakkan gerakan gugup, berkeringat, menunduk malu-malu dan cengar cengir sendiri yang ia nilai seperti orang sakit jiwa, meskipun sebenarnya lelaki itu normal dan tidaklah bodoh, ia hanya tak berpendidikan dan rendah diri akut-

"Seruni, bantulah Bapak sesekali menangani pasien, kau akan Bapak ajarkan ilmu kesehatan. Lihatlah Subur, meskipun tak bisa menulis dan membaca ia punya semangat yang tinggi untuk belajar. Tidak sepertimu yang,"

"Oh wegaaah!!" belum selesai bapaknya membujuk agar ia ikut membantu, gadis manja anak semata wayang pak mantri itu berteriak menjawab, sembari masuk ke kamarnya lalu membanting pintu. 

"Astaghfirullohaladziim" seru ibunya, menggelengkan kepala. 

"Itulah karena bapak terus memanjakannya,  padahal dia sudah 15 tahun, sudah sepantasnya bersikap dewasa dan sudah pantas ia kita carikan jodoh dan menikah..."

Praang! Klenthaang!! Kompryaaanggh!! 

Dari dalam kamar, Seruni melempar gelas kaleng dan piring yang biasa ia bawa saat tiduran sembari makan di dalam kamar. Ia membanting semuanya, begitu mendengar seruan ibunya yang mengingatkan bapaknya akan jodoh untuknya. 

Suara ribut-ribut dari dalam rumah pak Mantri membuat Subur bingung, dari luar ia terus menenangkan pasien yang sudah mengantri menunggu pak mantri keluar. 

"Anak gadis pak Mantri sungguh bertabiat buruk," ujar salah seorang pasien namun segera dibantah Subur dengan gelengan kepala. 

Lalu keluarlah pak Mantri dengan wajah merah karena marah. Dan saat pria usia 40 tahunan itu  menatap wajah Subur, iapun membatin untuk menjodohkan saja putrinya yang liar dengan lelaki polos yang rajin dan baik itu. 

'Dia tidaklah terlalu jelek dan bodoh, dengan terus kuajari, ia akan bisa mewariskan ilmu kesehatan yang tak pernah mau Seruni anakku, pelajari. Tak mengapalah, meskipun butuh waktu yang lumayan lama karena aku harus terlebih dahulu mengajarinya menulis dan membaca', pikir pak Mantri. 

Tak ia pungkiri, setelah beberapa tahun mengenal Subur, ada perasaan sayang di hatinya terhadap pemudah lusuh lagi miskin itu, perlakuannya pada Subur juga dinilai oleh banyak orang, sudah seperti Bapak dengan anak lelakinya sendiri. 

Hingga di hari yang sama,  saat Magrib menjelang, saat Subur harus pulang ke rumah neneknya, dipanggillah pemuda lugu itu ke ruang periksa pak Mantri. 

"Buur,"

"I,  iya, Pak..."

"Bapak kepingin tahu, berapa usiamu saat ini, Le?"

"Emmh ndak tahu pak, ndak ngerti kapan saya lahirnya, nenek ndak pernah nyatet..."

"Koyoke wes hampir rongpuluhan -20an- yo Le...?"

Subur mengangguk sembari cengar cengir menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal. 

"Sampean tinggal nang omah mung karo simbah wedok, tenan?"

"Tenan,  Pak..." entah mengapa Subur risih jika kehidupannya dibahas, ia merasa tak ada yang patut dibanggakan dari seorang anak yang ditinggal wafat oleh kedua orang tuanya yang meninggal bersamaan karena disambar petir saat berladang di tengah hujan. 

Ia memang tinggal berdua dengan neneknya. 

"Kalau kamu mau, saya akan mengajarimu membaca dan menulis...," Subur terkejut dengan kata-kata Pak Soedali. Ia spontan menggeleng dengan perasaan tak enak, padahal pak Soedali belum selesai bicara. 

Sungguh sikap penerimaan pak mantri selama ini terhadapnya sudah merupakan bayaran yang mahal menurutnya. 

"Kamu punya bakat mengobati orang, Bur. Saya bersedia menurunkan ilmu padamu..."

"Jangan, jangan, Pak...nanti banyak pasien tewas karena saya, saya bodoh, tak mengerti dan tak mungkin bisa...maaf, tapi jangan saya pak..." Subur terus menggeleng-gelengkan kepalanya, kini bahkan kedua tangannya terangkat di depan dada sembari ia lambai-lambaikan, tanda tak mau. 

Pak mantri Soedali tersenyum, wajah arifnya sekalipun tak pernah melemparkan pandangan remeh seperti orang lain saat bertemu Subur. Lelaki di depannya ini adalah orang yang sangat ia hormati juga sayangi, terlepas ia memendam rasa pada anak gadisnya. 

Pak mantri lalu membuka lacinya, dan mengeluarkan sebuah amplop. 

"Ini Bur, gajimu selama tiga bulan, saya tambahin, maaf saya telat keluarkan gaji, karena dana pemerintah terlambat turun, dan lagi kamu tahu sendiri, warga desa banyak yang gak sanggup bayar pakai duit...," pak Soedali menyodorkan sebuah amplop ke tangan Subur, namun lelaki itu malah mundur dan menggeleng lagi, seperti biasa setiap kali pak Mantri memberinya gaji. 

"Ambillah, Bur!"

"Ndak usah, Pak. Sa, saya sampun puas dengan melihat warga desa jadi sehat, Pak...wes ndak usah dibayar rapopo, Pak..." ujarnya mengelak, lalu seperti biasa ia baru akan menerima amplop pak Mantri jika lelaki itu sudah merangkulnya dan menepuk pundaknya. 

"Ambillah, berikan ke nenekmu sebagian, yang sebagian belikan baju dan celana baru sing apik, nggo kerjo sisuk nang klinik...ben Seruni tertarik..."

Degh... 

Dubh! Dubh! Dubh! 

Jantung Subur mencelos demi mendengar bisikan pak Mantri di telinganya, ia spontan keringat dingin dan gugup. Mulutnya mengangap, dan matanya terbelalak menatap pak mantri karena terkejut, lalu ia segera memalingkan wajahnya dengan menunduk. 

Apakah, pak Mantri selama ini memperhatikannya dan jadi tahu kalau ia diam-diam menaruh hati pada anak perempuannya, Seruni? 

'Matilah aku...' bisik Subur dalam hati. 

Ia kini gugup, wajahnya pias dan kedua tangannya gemetar bergoyang-goyang. 

Tap! 

Pak mantri meraih kedua tangan Subur, lalu menggoyangnya pelan, menyuruh pemuda lugu itu tenang. Ia melempar senyuman tulus dan sorot mata ramah. 

"Kamu anak baik, Bur. Jiwa membantu dan sosialmu tinggi. Kalau kamu rajin belajar, saya yakin cepat atau lambat kamu akan lekas menguasai ilmu kesehatan yang kupunya...setelah itu...jika tak keberatan, saya ingin menitipkan Seruni padamu, Bur..." kata-kata pak Mantri sungguh membuat perasaan Subur tak karu-karuan. 

Bagaimana mungkin ia yang seorang jelata, bodoh lagi tak memiliki apapun yang ibarat pungguk merindukan bulan itu malah disodorkan sendiri bulan purnama untuknya? 

Ini gila, hil yang mustahal! Pikirnya. 

Wajah Subur pucat pasi, jangankan gadis manis seperti Seruni, amplop di tangannya pemberian pak Mantripun sebenarnya tak layak ia terima. 

Sesungguhnya Subur adalah pemuda rendah diri dan teramat sadar akan posisi dirinya. Ia tahu dan semua orangpun tahu, ia tak mungkin beristrikan Seruni. Selama ini, ia hanya memandang dirinya sebagai babu alias pesuruh pak Mantri, tidak lebih. 

Ia menyukai Seruni hanya sebatas untuk ia hayalkan, bukan menjadi kenyataan. 

Tapi, 

"Jangan rendah diri, sudah tiga tahun kamu menemani saya, bekerja giat membantu saya, saya tak mungkin salah memilihmu sebagai calon mantu..."

"C, c, c, ca, ca, ca, calon mantuuuh?" gugup gemetar Subur mengulangi kata-kata pak Mantri. 

Lelaki bersahaja itu mengangguk dengan mantap. 

"Iya, Bur! Kowe wes tak anggap anak sendiri dan sebentar lagi bakal jadi anak menantuku beneran, Bur..."

Ngiiiiiiiiiiiiiiiiiiinggghhhhhh.

Kuping Subur berdenging, ia tak percaya pada apa yang barusan ia dengar. 

"Mangkanya satu permintaanku, Bur ... kowe harus belajar yang giat, ben menguasai ilmu kesehatanku, syukur-syukur kamu malah jadi lebih ahli dariku...belajar sing giat sembari menunggu Seruni dua tahun lagi, pas 17 tahun, kalau kamu mau ..." pak Soedali sengaja menggantung kalimatnya, menunggu respon Subur. 

Dan lelaki itu mengangguk pelan, masih dengan senyuman kikuknya. 

Benar saja dugaanku, aku tahu, Bur...kau sebenarnya menyukai anak gadisku, hanya saja kau terlalu rendah diri, batin pak mantri, tersenyum-senyum. 

"Wes, ndang pulanglah, mulai besok, sediakan sedikit waktumu hingga isya, agar bisa tak sempatkan mengajarimu, yo Le..." tawaran pak mantri segera dijawab anggukan keras dari Subur, ia nampaknya sudah keluar dari keterkejutan. Dan mulai sadar pada kenyataan. 

Pemuda itu lalu mengucap salam, dan berlari pulang sembari menggenggam erat amplop gajinya. Dengan satu punggung tangannya ia hapus air mata yang tak sanggup terus ia tahan, air mata kebahagiaan. 

***

Magrib itu, subur tak langsung pulang. Pemuda itu selain tak berpendidikan ilmu dunia, dia juga belum begitu mengerti ilmu agama. Bukannya berbelok ke masjid, Subur mengekspresikan kebahagiannnya dengan berlari menuju sungai. 

Ia berenang, menyelam lalu memukul-mukul air yang beriak sembari terus berteriak-teriak seorang diri, seakan ia ingin membagi kebahagiaannya pada langit malam. 

Tawaran pak mantri agar ia menikahi Seruni, gadis yang kerap ia mimpikan dan ia hayalkan dalam imajinasi hubungan suami istrinya seperti rejeki nomplok yang tak pernah sekalipun ia bayangkan akan terjadi. 

Selama ini ia merasa cukup dengan hanya memiliki Seruni sebatas mimpi dan hayalan,  tapi kini...semua akan berubah nyata. 

"Yeeaaaahhhh!!Yihiiiyyyhheeeaah!!"

Cpyaash! Cpyaash! 

Subur memukuli air. Lalu tertawa bahagia. 

"Haaahaahaaa huwaahahahahaaaaahh!!" 

Subur si lelaki berpenampilan lusuh lagi lugu itu bahagia tak terkira, pada janji pak mantri. 

Usai mandi dan menyelam di sungai, ia bergegas pergi ke pasar rakyat, membeli setelan baju seperti yang dipesankan pak mantri. Ia lalu membeli sebungkus rokok dan berjalan pulang ke rumahnya di Karang Berbatu, sembari mengantongi lagi sisa gajinya yang akan diberikannya semua pada neneknya. 

Masih ingin merayakan perasaan senangnya seorang diri. Sembari menghisap rokoknya, Subur menghentikan langkahnya di persimpangan kereta api uap tenaga kayu bakar. 

Lamat-lamat, dihisapnya rokoknya sembari duduk di atas batu palang rel kereta api. 

Biasanya pukul 10 malam, jadwal kereta terakhir akan lewat Karang Berbatu. Subur berniat menunggu kereta lewat dan menyaksikan kecanggihan negeri Jerman di desanya. 

Duduk sendiri di palang kereta api, di tengah gelapnya ladang dan hutan. Pemuda itu bersenandung lagu bahagia. Sembari menghisap rokoknya ia menikmati angin malam, menatapi langit yang penuh dengan bintang. Sembari tangannya melipat di dada, dan membayangkan ia sedang memeluk gadis mungil lagi manis Seruni, anak pak mantri. 

Subur lalu menghisap dalam-dalam rokoknya kemudian menghembuskan asap rokoknya perlahan ke langit. Hingga pandangannya ditutupi asap. 

Begitu asap-asap itu tersibak oleh sapuan angin, muncullah bayangan wajah Seruni dengan seutas senyuman manja menatapnya. Lalu mata gadis itu mengerling padanya, Subur tertawa sendiri. 

"Kau, akan segera kumiliki... Seluruh hati dan jiwaku kuserahkan padamu, kau akan kukasihi dan kujaga sepenuh hati... dek Seruni, 

kau cintaku..."

Lanjuut?? Ditunggu 200 Subscribe yaa