Tujuh
Seeeeeeerrrrsshhhh!!

Suara hujan memukul-mukul kaca jendela berukuran 2x2 meter yang tak berengsel, jendela itu merupakan sekat dinding berlapis kaca tebal yang  hanya digunakan untuk melihat pemandangan luar, tanpa bisa dibuka. 

Sah sudah tak ada jalan kabur bagi mereka.

Kedua sejoli yang baru menyatukan hati itu, benar-benar terjebak.

Satu-satunya tempat keluar hanyalah pintu yang tampaknya sengaja dibiarkan tak terkunci oleh pak Ponimin.

"Dia pasti menunggu kita di luar, bersiap menangkap kita saat keluar .... " bisik Seruni sembari matanya terus berkeliling ruangan, memeriksa barangkali ada jalan lain. Seruni berkali-kali bergidik ngeri melihat benda-benda klenik dan 'berisi' milik pak Min, yang mengeluarkan suara berbisik dan sesekali bergeser sendiri.

Sementara di belakangnya, Subur masih duduk dalam diam, tanpa sadar mereka masih duduk dekat dan nyaris merapat. Mereka berdua tak lagi sempat peduli dan tak sempat membiarkan getaran malu-malu muncul seperti biasa saat duduk dengan posisi seperti itu. Seperti dua orang kasmaran yang mojok bermesraan. 

Sayangnya, kalau sepasang kekasih duduk sedekat itu biasanya sambil menikmati dan  melihat pemandangan alam, sedangkan mereka, yang dilihat beragam benda horor dan kengerian, pantaslah tak sempat bagi mereka memikirkan 'getaran rasa'.

Semua benda dan barang yang mereka berdua lihat menggambarkan dengan jelas siapa pak Ponimin sebenarnya. Dia bukan manusia biasa. 

Seruni beberapa kali tersentak mendengar suara-suara aneh dari koleksi pak Min. Ia menatap Subur dengan sorot memohon agar lelaki itu segera membawanya pulang. Namun Subur hanya diam, masih sibuk berfikir mencari cara agar mereka bisa lolos.

"Kau tahu sendiri, pengikutnya di luar juga tak sedikit, bahkan teman-temanmu pun mungkin sudah jadi pengikut setia Ponimin. Bisa saja, dia langsung membunuh dan membuang kita dengan berdalih tak tahu menahu, meskipun jelas kita baru saja dari  sini." ucapan Subur membuat Seruni takut dan seakan sengaja, ia bergeser semakin merapat pada Subur. 

Saat tiba-tiba suara cekikikan yang lebih melengking terdengar dari atas lemari, Seruni tersentak lalu melompat naik kepangkuan Subur dan memeluk leher lelaki itu. 

Subur terkaget, nafasnya seketika tercekat, semakin bergemuruh dadanya begitu Seruni dengan polosnya menyembunyikan wajah di lekuk lehernya yang berdenyut-denyut karena tindakan spontan anak perempuan pak mantri itu.

Subur berusaha tenang, menghela nafas, mengatur degub di dadanya. Coba diliriknya asal suara itu dari atas lemari. Sebuah boneka manekin setengah badan tampak menyeramkan terpajang telanjang tanpa baju dengan hanya memakai rambut wig lurus, hitam, lebat tak wajar yang sebagian menutupi dada depannya. Matanya hidup dan bisa bergerak-gerak. 

Subur dan manekin saling tatap menatap.

"Tuan berwajah manis, kau menyerah saja ...   Tak akan ada yang mampu melawan si tua Min, semua yang berani padanya pasti akan mati ... Ck,ck,ck,ck ... sungguh sayang, umur kalian masih muda perjalanan hidup kalian masih sangatlah panjang ... Kulihat cinta kalian juga dalam ... Ck,ck, ck, ck kalian pastilah akan jadi makanan tuan Min berikutnya...." manekin berambut wig tebal itu menggerakkan kepalanya menggeleng-geleng, sembari mengeluarkan decak menyayangkan.

Sangking takutnya, Seruni semakin erat memeluk Subur.

"Hiiiyyy! Hiiiiiy!" jeritannya tertahan, ia takut tapi masih bersikap waspada, kelihatannya ia masih lebih takut kalau Ponimin sampai menangkap mereka.
  
Menyadari tubuhnya yang berdesir-desir demi bereaksi terhadap tubuh Seruni yang  menempel rapat pada tubuhnya, Subur berusaha tetap awas dan siaga. Dia memaksa membenamkan jauh-jauh keinginan hatinya membalas dengan memeluk lebih erat gadis itu, demi bisa terus berpikir waras. 

Ini gila! tak mungkin aku melepas hasratku yang terpendam padanya, pikir Subur. Tangannya yang sudah terangkat hendak meraih punggung Seruni dalam dekapannya berhenti seketika. Ia urung membalas pelukan Seruni yang sedang ketakutan. 

Gemuruh di dada ia tekan kuat-kuat, dan perasaan mendamba ia hempaskan. 

Kebanyakan wanita tak menyadari bahwa lelaki sebenarnya sangatlah mudah terpancing dan menjadi gila karena ulah pancingan kaum hawa. Seperti halnya Subur terhadap Seruni, wanita yang ia sukai. Maka sudah sepantasnyalah para wanita menjaga diri kalau tak hendak diterkam oleh sikap buas para lelaki yang keluar karena terpancing. 

Mereka harus menekan hasrat dan tak semua lelaki bisa, seperti halnya yang dilakukan Subur saat Seruni menempel padanya.

Meskipun ia sadar gadis ini asli Seruni anak pak mantri yang cantik, mulus, menggoda dan kerap hadir dalam imajinasinya tentang seluruh keindahan wanita dalam hayalannya. Tapi Subur masih bersikap hati-hati, bagaimanapun ia tak ingin membuat Seruni berpikir ia mengambil kesempatan dalam kesempitan. 

Lagipula sikapnya ini pastilah karena gadis itu benar-benar takut dan bukan karena ingin ia peluk, pikirnya lagi menepis perasaan ge-er.

"Hiiiiyyy ! Hiiiyyy...!! Hiiiiiiiyyy!!!" Seruni terus bergidik, sambil semakin erat memeluk Subur yang pasrah tak mau menghindar.

Lagi pula tempat ini memang...seram, Subur menggelengkan kepalanya, berusaha fokus,  tangannya yang diam terangkat akhirnya menepuk-nepuk pelan pundak Seruni yang memeluknya, mencoba menenangkan Seruni sekaligus gemuruh di dadanya. 

Sayangku, setelah kita menikah setiap saat kau pasti akan kupeluk, bisik Subur dalam hati. 

Tapi sekarang, jangankan berpikir untuk melepaskan rasa dan memadu kasih yang selama ini membuncah tak tertahankan, bisa keluar dan selamat dari tempat ini saja sudah suatu anugerah tak terkira bagiku. Pikir Subur lagi.

Setelah beberapa saat ditenangkan oleh Subur dengan usapan dan tepukan lembut lelaki itu dipundaknya, Seruni perlahan mengangkat lagi wajahnya. 

Ia akhirnya sadar, telah lupa diri mencari aman dengan memeluk Subur. Ia lalu melepas pelukannya dan tertunduk malu,  bergesar mencari jarak dengan lelaki itu. Seruni kemudian sujud meringkuk menutupi mukanya yang malu. 

Suara desis tawa yang menertawai mereka, terdengar oleh keduanya dari 'benda-benda' milik pak Ponimin. 

Seruni meringkuk, menutup telinganya. Subur tak rela dan kasihan melihat gadis itu menjauh, ketakutan sendiri. Diraih dan digenggamnya erat jari jemari Seruni, hingga gadis itu menoleh dan kembali duduk merapat di sampingnya.

Suara hujan memukul-mukul kaca jendela, 
untuk beberapa saat mereka saling duduk diam sembari terus bergandengan tangan. Menelan rasa takut, bersamaan dengan perasaan hangat karena telah menyadari dan menerima keberadaan satu sama lain.

Gemuruh langkah kaki kembali mendekat, beberapa lelaki terdengar melapor pada pak Min. Pak Ponimin memerintahkan agar semua orang di rumahnya bersiaga dan melakukan penjagaan ketat.

"Jadi benar, lelaki tua itu sejak tadi berjaga di depan ruangan ini?" tanya Seruni ngeri.

"Ya dia ingin melihat kita menyerah dan keluar dengan sendirinya ..." jawab Subur.

"Apa tidak sebaiknya kita keluar dan meminta maaf?" tanya Seruni menimbang.

"Apa kau pikir dia akan membiarkan kita lolos dan sesumbar di luar bahwa kita menyaksikan potongan tubuh manusia di rumahnya, dik?" pertanyaan Subur membuat Seruni terdiam sembari berdesir mendengar sebutan 'dik' dari bibir lelaki itu.

Suasana kembali diam, hanya gemuruh hujan dan kebuntuan yang ada di antara mereka, entah sampai kapan mereka harus duduk diam seperti itu, sembari terus bergandengan tangan.

"Apa kita akan diam terus sampai Ponimin mengantuk dan pergi?" tanya Seruni.

Tak ada jawaban dari Subur, canggung Seruni kembali diam. Ia membiarkan saja tangan Subur terus menggenggam jemarinya.

"Pak Ponimin nampaknya sengaja membiarkan lampu tetap menyala agar kita bisa melihat semua koleksinya." melihat Seruni hanya diam, Subur kembali membuka suara mengurai canggung di antara mereka.

Biarlah mereka begini terus untuk sejenak, pikirnya. Firasat waswas dan tak enak mulai menghampirinya. Saat sadar Ponimin adalah pembunuh yang memiliki kekuasaan dan kekuatan lebih yang tak bisa mereka ukur.

Mungkin ... umurku tak akan panjang, tapi ... bagaimanapun gadis disampingku ini harus selamat, pikir Subur. Ia sudah berjanji pada pak mantri untuk menjaganya dan mengantarnya pulang. 

Di pandanginya pucuk kepala Seruni dari bawah dagunya, anak pak mantri itu masih pias takut menatapi koleksi pak Min.

Bagaimanapun ia sudah bersyukur saat ini mereka telah saling terbuka, ia bahkan saat ini masih sedang menggenggam erat jari jemari mungil lagi lentik wanita idamannya itu.

Kalaupun aku harus mati, aku tak akan menyesal, dik Seruni. Setidaknya perasaanku telah tersampaikan dan aku tahu perasaan dik Seruni sama terhadapku ... Bisik Subur lirih dalam hatinya.

"Tanganmu dingin," ucap Subur.

Seruni menengadah menatapnya, sorot mata Subur berkabut, dan hati Seruni berdesir hangat, lelaki itu memandangnya dengan tatapan lembut hingga sulit ia tafsirkan. Malu, ia kembali menunduk. 

Entah mengapa perasaan sedih mendadak menghampirinya, ia jadi tak yakin kisah mereka akan bisa panjang. Seruni terisak dan diam-diam menangis.  

"Ba, bagaimana kalau ia menahan kita, lalu membunuh dan memotong-motong tubuh kita?" tanyanya terbata dan lirih. Melihat Seruni shock dan terus menangis ketakutan, Subur semakin erat menggenggam jemari gadis itu.

"Kau tenanglah, aku akan berusaha mengeluarkanmu dari sini, setelah ini berjanjilah untuk tak lagi terlibat pada Ponimin!" Subur bicara yakin seolah dia sudah punya rencana padahal pikirannya masih buntu.

Ia mengajak Seruni berdiri demi menghalau kesedihan dan rasa takut gadis itu. Mereka lalu mendekati potongan tangan yang telah diberi air keras oleh Ponimin. Ada keterangan tahun di setiap potongan tangan.

"Aneh, ini ada yang sudah berumur sejak tahun 1770? Kalau semua ini perbuatannya lalu berapa umur Ponimin? Sekarang sudah 1974!" 

"Dia nampaknya sekarang masih berusia 60 tahun, masak iya dia berumur 270 tahun?"

Seruni ikut menghitung-hitung. Matanya menangkap sebuah buku berukuran tebal dengan sampul dari potongan kulit hewan yang dijahit benang akar, terlihat mencolok tergeletak di atas meja marmer hitam. 

Buku yang lebih mirip kitab tua itu setelah dibuka merupakan kumpulan helaian potongan tipis  kulit hewan, helaian pelepah kayu, lalu helaian kertas kasar, dengan kualitas yang semakin dibuka ke halaman paling belakang, kertas semakin tipis dan halus, kumpulan ragam pelepah dan kertas dalam kitab itu seakan menjawab pertanyaan mereka berapa usia Ponimin.    

Buku atau kitab tebal itu, jelas berisi tulisan tangan pak Min dan goresannya hampir sama meskipun bahasanya bercampur dan berbeda, dari tulisan kuno jawa lalu bahasa belanda lalu beralih ke inggris kemudian semakin ke belakang berbahasa indonesia dengan goresan yang sama. 

Buku ini catatan tangan milik Ponimin yang merangkum semua sejarah hidupnya.

Seruni dan Subur saling tatap saling membelalakkan mata. 

"Bu, bukankah ini rahasia kehidupannya?" tanya Seruni lirih, Subur hanya diam menelan ludah.

"Dia itu ... mengaku seniman kelas dunia, padahal ia sesungguhnya ... sejenis siluman atau iblis?" desis Subur, kali ini giliran Seruni yang hanya  mengangguk, keduanya terperangah menyibak helai demi helai tulisan tangan Ponimin. 

Seruni melepas genggaman tangan Subur, perasaan takutnya perlahan hilang dan berubah jadi antusias hendak membaca hingga tuntas semua isi buku catatan Ponimin. Menguak rahasia pak tua misterius itu.

Subur kemudian berjalan perlahan mendekati pintu, hendak mengintip keluar, namun suara Ponimin dari luar menghentikan langkahnya. Pak Min terdengar menyuruh anggotanya berhenti mencari, karena ia yakin keduanya berada di dalam sini.

"Kalian berjaga di sekitar sini, kuharamkan kalian dari melihat apalagi masuk meskipun bermaksud memeriksa ruangan pribadiku! Tunggu saja sebentar lagi, mereka akan keluar dari sana!" seru pak Min, tegas.

"Mereka, tak mungkin terus bersembunyi di dalam sana, sebab di sana banyak dedemit jahat yang akan memangsa mereka saat tengah malam nanti, he he he he!" Pak Min terkekeh sendiri tak ada dari pengikutnya yang berani menimpali.

Subur diam, nafasnya turun naik, sejurus ia melirik Seruni yang terus memelototi buku pak Min. Subur lalu beralih ke sudut ruangan menatap jam antik yang berdiri dengan bandul emas bergoyang-goyang seakan memukul-mukul dadanya. 

Sekarang pukul 9.30 ia bahkan berjanji membawa pulang seruni sebelum isya. Pasti pak mantri dan istrinya akan khawatir, apa jadinya jika mereka tak bisa pulang ... atau tak bisa lagi melihat matahari besok?

***

Klek! Ctek!

Seruni mengangkat wajahnya mendengar suara kunci diputar, ia menatap penuh tanya pada Subur. Pemuda itu mengunci ruangan pak Min?

Tak lama, 

Ctek! Ctek! Ctek!

Knop pintu bergerak naik turun, dari luar nampaknya pak Min sadar Subur nekad dan mengunci pintu dari dalam.

"He he he heee aku tahu kalian berdua bersembunyi di dalam dan melihat semua koleksiku ... apa kalian takut? sebentar lagi kalian akan merasakan sakitnya perut dirobek, lalu usus-usus kalian dimakan para dedemit, sedang jantung kalian masih berdegub hidup, dagdug! dagdug! dagdug! dagdug! dagdugh!!"

Ponimin bicara lantang dari luar, Subur dan Seruni hanya berdiri mematung. 

"he he he hee heee...dagdug! Dagdugh! Daghdugh!" tawa Ponimin mengejek menirukan suara degub jantung, ia melangkah menjauhi pintu.

Tangan Seruni gemetar mendengar tuturan Ponimin. Ia menutup buku catatan pribadi pak Min yang ia baca, lalu membawanya dan mendekapnya di dada, gadis itu menunduk menangis ketakutan. Subur berjalan menghampirinya.

"Simpan saja buku itu," ujar Subur.

"Itu adalah barang bukti rahasia siapa dia sebenarnya dan apa saja kejahatannya," lanjut Subur lembut, berdiri mendekati Seruni, ingin ia belai ubun kepala Seruni demi menenangkan gadis itu, namun ia sungkan.

❤️❤️