.
Tuuuuuuiiiiiiiiittttttt jes gjees gjesss!
Subur melompat dari tempatnya duduk menyambut lewatnya kereta api yang ditunggunya, bersama gesekan besi rel yang bergoyang-goyang bergetar, ia pun berjoget girang.
"Hihaaaah! Seruniiiiii...!"
"Cintakuuuuu... Yiihaaahhh! Iiihaaaaa!!"
Seperti pemuda yang baru saja menang lotre. Dalam hayalan, waktu-waktu di depan adalah hanya miliknya dan Seruni untuk memadu hati.
Subur lalu kembali pulang dengan perasaan riang, tak sabar ia memberi tahu neneknya, bahwa dugaan dan pandangan orang yang selama ini menjengkali hidupnya akan segera terpatahkan.
Ia, Subur sebentar lagi akan segera menikahi anak mantri Soedali. Hal yang bahkan tak berani diimpikan pemuda kampung lainnya, yang selama ini meremehkannya.
"Assalamualaikum, Nek!"
Malam itu Subur menyerahkan gajinya pada neneknya, dan tak hanya kali itu gajinya diterima dengan cucuran air mata. Neneknya sangat terharu menerima uang yang baginya sangat banyak itu.
Ia kemudian lebih tak percaya dengan cerita Subur.
"Opo kowe iso, Le? -Apa kamu bisa, Nak?- Nerima pelajaran dari pak mantri?" ada nada keraguan pada suara neneknya.
"Yo mesti bisa, Nek! Harus! Demi dek Seruni bila perlu aku akan belajar terus dan tak usah tidur!" seru pemuda itu bersemangat.
Seumur-umur Subur tak pernah mengecap yang namanya bangku sekolah. Nenek pesimis cucunya itu akan mampu dan berhasil sampai ia bisa menikahi Seruni. Namun, ia tak berani mencegah takut malah akan mematahkan semangat Subur, cucunya itu.
***
Keesokan harinya, di siang hari yang baru beranjak pukul 10 pagi, dengan langkah mantap dan dada membusung, Subur yang sudah berpakaian rapi tak seperti biasanya, melangkah yakin memasuki pekarangan rumah pak Soedali.
Dengan gerakan cekatan dan semangat tinggi ia langsung menyapu halaman, membersihkan klinik, sembari menyapa pasien yang mengantri, sesekali ia melirik ke arah rumah pak Mantri, siapa tahu Seruni yang gemar mengurung diri di kamar itu lewat.
Ia hendak memamerkan penampilan barunya yang bersih lagi keren. Namun, decak kagum bukan dari bibir Seruni yang ia dapat. Melainkan pasien yang sudah mengantri hendak berobat karena meriang, mencret, sakit gigi, dan TBC.
"Kelambi anyar tekan ngendi, Le? Ora nyolong nang toko to kowe?-Baju baru dari mana? Gak mencuri di toko kan kamu?-" pertanyaan yang menusuk hati datang dari Nek Ginem yang biasa di panggil nek Lampir sama warga desa karena suka nyinyir. Hari ini ia mengaku ambeiyennya kumat.
Subur hanya tersenyum simpul.
Tak hendak memasukkan ke hati, ia hanya melempar senyuman sumringah, menggeleng pelan sembari berujar,
"Dari gaji membantu di sini loh Nek."
"Woooo penak tenan pean Le, Mung babu ae gajine iso tuku kelambi apik!-Wah enak banget kamu ya, cuma membabu gajinya bisa beli baju bagus!-"
"Nek ngene ki terus penak uripmu Le! Iso onok sek nggelem dadi bojomu, sukur-sukur nek ono hehehehehe!" nek Ginem memang kuat meleceh, ia tak peduli menghina orang meskipun ambeiyennya sudah jelas terpampang bergelantungan di balik sarungnya.
Subur malas menanggapi Nek Ginem, bisa gak habis-habis komentar tajam dan menjatuhkan yang akan ia terima. Ia hanya tertawa cengengesan sembari pamit beranjak keluar, hendak membuang sampah ke halaman belakang rumah pak Mantri.
Berjalan Subur ke belakang sembari bersenandung dari pekarangan samping rumah pak mantri. Langkah kakinya terhenti, saat melihat Seruni sedang menimba air di sumur dan tempat mencuci baju. Gadis itu sedang mengisi bak penampungan, dari penampilannya seperti hendak mandi.
Seruni tak tahu dari pekarangan samping, Subur dag dig dug memandangi tubuhnya yang hanya di balut handuk. Kulit kuning langsat bahu dan pundaknya yang terbuka karena rambut panjangnya dikuncir tinggi ke atas, membuat nafasnya tercekat. Subur malu.
Lalu lekuk pinggul dan dadanya yang jelas tergambar saat dua tangannya terangkat menarik tali timba dari kerekan, membuat Subur ngap-ngapan melihatnya.
Ia ingin cepat berbalik pura-pura tak melihat. Tapi ia juga takut kalau-kalau handuk Seruni melorot, dan gadis itu malah panik lalu ter-tarik kerekan timba dan nyemplung ke sumur.
Siapa tahu itu terjadi, ia akan dengan senang hati ikut nyemplung lalu berubah jadi pahlawan yang menolong Seruni.
Setelah 3 tahun ia berkerja di sana baru kali ini ia tak sengaja melihat Seruni hanya memakai handuk. Sepertinya gadis itu tergesa, karena lupa menimba air. Gerakannya juga terburu dan kepalanya celingak-celinguk takut ada yang melihat.
Masih was-was enak memandangi Seruni,
Hayalan Subur terpaksa berhenti saat tiba-tiba Seruni menoleh ke samping belakang dan mendapati Subur menatapnya tak berkedip, amarah gadis itu naik ke ubun-ubun.
"Hiiiiiiyy!! Pengeeeeerrrr!!"
Jbyuuuuuurrr.
Ia berlari masuk ke rumah setelah spontan menyiram air dalam timba ke arah Subur yang masih mengangap melihatnya.
Subur terkejut, baju barunya basah kuyup sebelum benar-benar dilihat Seruni.
***
Bukannya ditegur dan dimarahi, Subur malah tak boleh pulang dan dikasih baju bapaknya yang sudah enggan dipakainya. Seruni tak terima.
"Kok pa'e baik banget sama dia?!" protes Seruni keluar setelah berpakaian rapi.
"Yo baik lah, mosok sama calon anak mantu gak baik..." seloroh pak mantri.
Mendengar jawaban pak mantri, wajah Subur dan Seruni keduanya memerah meskipun dengan alasan yang berbeda.
Subur malu, sementara Seruni muntab marah.
"Bapak terus saja sesuka hati menentukan hidup orang!"
"Siapa bilang aku mau dengan lelaki seperti dia?!" dibentaknya Bapaknya, yang kemudian terperanjat dengan perkataan Seruni. Ia sungguh tak menyangka kelakuan buruk Seruni semakin menjadi.
Ini di depan orang, di depan Subur, mengapa anak gadisnya itu tak sekalipun menjaga marwahnya?
Tidak bisakah ia setidaknya menganggap kata-kata Bapaknya lelucon meskipun bapaknya serius. Ia telah secara langsung menohok Subur.
Pak Mantri marah. Wajahnya berubah merah, namun ia menahan diri dengan diam saja mengajak Subur keluar menuju klinik setelah merangkul pemuda itu.
Melihat Bapaknya bersikap tak peduli, dan malah bersikap akrab dengan Subur, Seruni makin mengamuk.
"Aku masih mengalah dengan bersedia nurut ikut tinggal disini! Jangan paksa aku untuk menikahi lelaki sembarangaann, aku tak mungkin selera dengan si jelek lagi Pengeeerrr!!"jerit Seruni lagi, lantang menghina.
Lelaki sembarangan, Si jelek penger yang tak mungkin ia selera-i.
Mendengarnya, bahu Subur jatuh loyo, ia bahkan belum mengungkapkan sendiri perasaannya terhadap Seruni. Namun, siang itu semua kata-kata Seruni tentangnya, ia garis bawahi.
Hari itu, subur jadi tahu. Pantas saja dik Seruni anak pak mantri selama ini tak sekalipun sudi menoleh padanya. Ia telah salah mengira bahwa sikapnya selama ini, karena gadis yang suka berdiam diri di kamar itu bersifat lugu dan pemalu.
Tapi rupa-rupanya karena gadis itu tak menyukainya.
Penger, adalah sebutan yang berlebihan dan menghina menurut Subur, bukankah 'penger' adalah panggilan untuk orang yang jadi bodoh karena mabuk hingga mengeluarkan cairan 'ences' di mulutnya tanpa ia sadari.
Subur latah, ia langsung melap mulutnya saat mendengar Seruni menyebutnya penger. Padahal ia tak pernah 'mengences'.
"Maaf, Le. Tabiatnya memang agak buruk. Ojo nesu yo Le yo, Bapak yakin sebentar lagi ia akan jatuh hati padamu. Apalagi kalau dilihatnya kamu sudah berubah bisa mengobati orang...," pak mantri lagi-lagi memberi harapan pada Subur yang sebenarnya sudah ingin mundur karena kepercayaan diri sudah hempas lagi kandas.
Hari itu, perasaan Subur campur aduk, ia terus diserang perasaan gugup dan tak enak. Selama ini dia menikmati bekerja di klinik pak mantri karena Seruni. Ia belum tahu, ternyata Seruni sama saja dengan warga desa lain kebanyakan, yang menilai dirinya sebagai orang rendahan dan tak pantas dipandang.
Subur terus diam, keceriaan di wajahnya seakan hilang entah kemana. Ia tak berani lagi percaya diri tertawa ceria menyapa pasien yang datang melapor karena telah sembuh dan membawakan mereka hasil kebun sebagai hadiah.
Sikap Subur kini berubah datar.
Ego kelelakiannya baru saja diusik dan ia tersinggung.
***
Bersambung
Mohon subscribe ya