Seruni merasa gengsi memperlihatkan rasa penasarannya pada Subur. Ia tak enak hati, apalagi ia jelas pernah menghina lelaki itu.
Namun pikirannya terus gelisah jika di rumah terus, yang ia tunggu hanya suara lelaki itu dari klinik, memanggili pasien. Atau suaranya dan langkah kakinya saat minta ijin ngambil air di dapur atau mengantar pasien ke kamar mandi.
Ia merasa tak bisa gelisah sendiri seperti itu terus. Kalau di rumah, ia akan selalu teringat Subur. Seruni lalu mencari cara agar lepas dari memikirkan lelaki yang semakin lama semakin menawan baginya itu.
Sementara di sisi lain, Subur tetap bergeming terhadapnya. Tetap acuh. Pemuda itu nampaknya lebih tertarik pada semua buku milik bapaknya daripada dirinya.
Seruni yang selama ini dikenal sebagai gadis rumahan dan jarang kelihatan di luar, pun kini mulai bersolek dan mencari teman. Ia bosan menunggu perhatian Subur yang sudah tak pernah lagi ia rasakan, lirikan dan pandangan malu-malu Subur sudah tak pernah lagi singgah menggelitik sanubarinya.
Ia tak mau mati penasaran sendiri.
"Bukankah kamu selalu merutuki kenapa kita harus tinggal di kampung ini? Dengaren sekarang kamu rajin keluar dan berkumpul dengan gadis-gadis lain? Sekalinya keluar kamar, bukannya membantu ibu atau bapak, eh malah keluyuran, kamu jadi terlihat seperti anak yang gak di didik, kalau terus begitu! Memangnya kamu ngapain saja di luar?" omel ibunya panjang, saat Seruni menyisir rambut hitamnya yang tergerai lebat bersiap untuk pergi.
"Aku bosan di rumah terus!"
"Bantu ayahmu dan Subur di klinik, gih!"
"Ogah! Buat apa cuma liat lelaki sombong lagi membosankan seperti dia ... mending aku naik perahu ke kota Seberang." Seruni menghentakkan kakinya, lalu berbalik hendak keluar. Ia berhenti, saat sadar Subur sedang berdiri di depan pintu membawa nampan gelas teh manis milik pak Soedali.
Seruni terkejut lalu segera membuang muka, ia berjalan melewati Subur tanpa sedikitpun menoleh.
Gerakan tubuh dan helaian rambut panjangnya diterpa angin dari luar meninggalkan aroma harum yang mendebarkan namun menyakitkan bagi Subur.
Aku membosankan baginya.
Kembali digaris bawahi Subur penilaian spontan Seruni terhadapnya, ia tak sadar setiap kali ia mengingat semua kata-kata spontan gadis itu, itu hanya akan menambah perasaan rendah dirinya terhadap Seruni, calon istrinya itu.
Perasaan was-was terus melanda Subur, pak mantri, dan istrinya, melihat perubahan yang terjadi pada Seruni. Gadis itu semakin dewasa semakin sadar dirinya memiliki kecantikan yang lebih dari gadis desa lainnya. Ia terus berkumpul dengan para gadis dan jejaka kampung, bersolek dan seakan menebar pesona.
Hingga beberapa hari kemudian mulai bertandanglah para lelaki duduk di teras dan bangku tunggu klinik pak mantri demi menemui Seruni. Mereka bicara dan tertawa, entah membahas apa, tak ada yang mengerti. Membuat perasaan Subur semakin diliputi kegalauan dan kegelisahan.
***
Hari demi hari pembawaan Subur semakin loyo tak bersemangat. Ia yang biasanya cekatan dan fokus kini banyak melakukan kesalahan dalam menangani pasien, melayani mereka, dan memberikan obat.
Pak mantri tak bisa menegurnya, karena orang tua itu sadar dialah yang telah salah memberi harapan-harapan semu pada pemuda yang baik itu.
Sayang, anak gadisnya semakin tak bisa di atur. Melihat perubahan Seruni yang semakin senang melalak main di luar bersama para pemuda pemudi lain, pak mantri dan istrinya malah berencana memulangkan Seruni ke tanah jawa. Dititipkan saja pada mbah nya.
"Lalu, bagaimana dengan janji Bapak menikahkan Seruni dengan Subur?" tanya istri pak mantri satu malam di teras rumah mereka selepas magrib, saat mereka masih was-was menunggui Seruni yang belum juga pulang setelah pamit keluar sejak pagi.
Mendengar pertanyaan istrinya, Pak mantri melirik ke jendela Klinik yang terbuka, di sana mereka bisa terlihat Subur yang masih sibuk membereskan klinik dan sesekali melihat ke arah jalanan, sama seperti mereka. Pemuda itu juga was-was memikirkan Seruni.
"Iya, Buk ... Bapak sendiri jadi tak enak pada Subur. Tapi nampaknya Seruni kini jadi tambah susah diatur, Bapak takut dia malah kelak jadi istri yang menyusahkan bagi Subur ... " istri pak Mantri diam dan menunduk, ia kerap merasa gagal mendidik anak yang hanya semata wayang itu tiap kali suaminya mengeluhkan kelakuan Seruni.
Plak keteplok keteplak keteplok!
Sebuah andong memasuki pekarangan rumah pak mantri Soedali, dari atasnya turunlah Seruni meninggalkan dua orang pemuda yang mengantarnya bersama seorang kusir. Mereka masih tertawa terbahak-bahak, tanpa segan dan tanpa pamit, atau ijin, menyapa kedua orang tua Seruni yang sejak sore was-was menunggui anak gadis mereka.
Pak Soedali berang, dengan langkah terburu, ia memperpendek jarak dengan anak perempuannya di ujung pekarangan.
Sementara itu, Seruni tahu, Subur juga sedang memandanginya, ia pun melemparkan lambaian tangan dan senyum ceria ke arah andong yang menghilang di ujung jalan. Dengan maksud membuat hati Subur panas.
Tapi tiba-tiba dari arah belakang,
Greb!
Pak Soedali mencengkeram pergelangan tangannya, ia kaget lalu mencoba menyentakkan lagi cengkeraman bapaknya. Namun pak Soedali semakin keras menarik Seruni agar berjalan masuk ke rumah.
"Apa sih Bapak ini, bikin malu aja! Lepasin! Lepas!!" teriaknya meronta, sementara matanya tak enak melirik ke arah Subur yang berdiri di teras klinik memandanginya diseret Bapaknya masuk ke rumah. Seruni malu.
"Malu katamu? Mau jadi apa kamu, pulang larut ditemani para lelaki?! Perempuan yang tak bisa menjaga kehormatan!"
Gdebak! Bruaaakh!
Terperangah mengaduh Seruni menerima pukulan keras pak mantri di pundaknya, ia lalu tersungkur ketakutan begitu dihempas keras Bapaknya di ruang tamu rumah mereka.
Seumur-umur inilah pertama kali Bapaknya marah dengan kekerasan terhadapnya. Seruni terguncang tak percaya.
"Anak yang tak pernah mau mendengar, disayangi, dibaiki makin kurang ajar! Kau mau jadi perempuan binal, hah?!!" suara pak mantri menggelegar, makiannya membuat shock Seruni.
Subur dan istrinya terkejut melihatnya mengamuk.
Sebenarnya, selain ia tak senang dengan polah tingkah laku Seruni yang bagai gadis liar. Ia juga merasa harga dirinya tak diperhitungkan dengan sikap teman-teman lelakinya yang tak sekalipun sopan menyapanya atau segan saat bertandang ke rumahnya. Pak Sodali yang terpandang itu merasa seringkali tak dipandang oleh teman-teman Seruni.
Membuat kemarahannya pada Seruni semakin menjadi. Lalu meledaklah kekesalannya setelah berhari-hari pada anak gadis yang selama ini ia perlakukan bagai emas itu.
Seruni menangis di bawah tatapan Subur. Ia tak menyangka Bapaknya memukulnya keras. Sementara Subur, hatinya terenyuh iba melihat Seruni yang menangis tak berdaya.
"Berteman dengan pengangguran, para lelaki tak punya kerjaan, sampah masyarakat!! Kowe mau dibiar-biarin sampai dirusak mereka??!" wajah pak Mantri masih merah, tangannya gemetar menunjuk-nunjuk Seruni.
Suara tangisan Seruni semakin meraung, ia takut kena hantam bapaknya lagi.
"Sudah, sudah, Paak! Sabar, Pak ... istighfaar ...." istrinya masuk mendekat perlahan, mencoba menyadarkan pak Mantri.
"Mlebuh nang kamar, Nduk!" perintahnya pada Seruni saat pak mantri mulai tenang. Seruni berdiri, tatapannya menangkap sosok Subur yang duduk diam di bangku teras memunggungi mereka, namun menguping semua yang terjadi.
Perasaan malunya semakin besar, bapaknya telah memperlakukannya seolah ia telah melakukan sesuatu yang murahan.
***
Seruni sudah kehilangan muka pada Subur,
Tampaknya, tak mungkin ada jodoh apalagi masa depan dengan lelaki yang kata Bapaknya akan diangkat jadi mantri baru itu.
Ditambah sikap Subur yang hanya diam. Barangkali memang dia jengah dengan tipe gadis sepertiku, pikir Seruni.
Meskipun sudah kena amuk bapaknya, Seruni terus saja 'bergaul' dengan teman-temannya. Ia tak peduli dan tak menghiraukan sikap tak suka bapaknya. Seruni makin nekad, ia tak peduli jika pak Mantri mengamuk lagi, ia hanya ingin menunggu reaksi Subur.
Namun, pemuda itu tak ada perubahan, terus saja cuek. Dan Seruni semakin geregetan di buatnya.
Hingga satu sore rasa penasarannya memuncak, ia mencoba menekan perasaan malu dan mendatangi Subur lebih dulu.
Saat klinik hendak tutup dan saat pak mantri sudah masuk ke rumah. Seruni datang menghampiri Subur yang masih sibuk menulis-nulis.
"Kudengar, kau akan segera diangkat jadi mantri baru?" pertanyaan gadis itu mengagetkan Subur yang tak sadar pada kehadirannya.
Seruni berpenampilan rapi dan bersih, ia mungkin hendak pergi lagi, batin Subur.
Ia kikuk, salah tingkah menyadari penampilannya yang berbeda jauh dengan seruni dan teman-teman gadis itu, ia lusuh.
Subur melempar senyum, mengangguk. Lalu kembali menunduk menutupi kegugupannya dengan pura-pura melanjutkan menulis.
"Tentu, akan banyak gadis yang tertarik denganmu, setelah ini," ujar Seruni lagi, ia melangkah mendekati meja Subur. Lalu berjinjit dan duduk di atasnya.
Harum aroma tubuh Seruni sedikit menyeruak di penciuman Subur. Bagai dihipnotis, Subur menengadah dan mereka bertatapan dalam jarak yang sangat dekat.
Detik jam seakan berjalan lambat. Dilihat Subur rona merah di pipi Seruni saat ia tanpa sadar tak mau berhenti menatapi wajah cantik anak pak mantri itu.
Subur sadar diri, ia lalu mengalihkan pandangan ke bukunya lagi, menutupi debaran dadanya yang gelisah.
Dia semakin cantik dan menarik, tentu sebentar lagi akan banyak lelaki yang akan datang melamarnya, batin Subur.
'Hihihii' Seruni tertawa dalam hati, melihat Subur gugup di dekatinya seperti itu.
Dia ternyata tidak jelek. Wajahnya yang kukira bodoh dulu telah hilang. Ia kini berubah menjadi pria yang punya kepribadian dan pekerja keras, matanya juga cerdas, batin Seruni.
Mereka berdua saling bergumam menilai dalam hati.
"Tak ada gadis yang akan tertarik padaku," Subur bergumam pelan, mencoba menjawab Seruni dengan masih memandangi bukunya.
Ia sedang menekan keinginan hatinya memandangi lagi wajah Seruni dalam jarak dekat. Namun, ia takut gadis itu akan melihat isi hatinya.
Subur belum sepenuhnya menepis keterkejutannya pada sikap mendadak Seruni yang mendatanginya, dan mau mendekat padanya seperti itu, mengajaknya bicara.
"Kenapa kau berpikir begitu?" pertanyaan Seruni membuatnya perlahan mengangkat lagi wajahnya, menengadah, memandangi gadis berambut panjang itu.
Kali ini Serunilah yang salah tingkah, ia berpaling karena mendadak gugup, pandangannya gelisah, bergantian melihat ke sekitar, ke atas, ke samping dan ke bawah mengusir perasaan malu. Ia tak berani balas menatap mata tajam Subur.
Ia terlalu berdebar.
Bersambung❤️
Jangan lupa Subscribe nya yaa