NASIB YANG BERBEDA

Menjadi orang miskin? Saya yakin tidak seorang pun mau. Namun, bila suatu saat kita harus mengalami berkekurangan, kita bisa bilang apa? Menurut saya, yang penting kita harus tetap positive thingking saja deh ya. Tetap semangat, dan tidak mudah menghakimi orang lain. Menjaga lisan atau perkataan agar tidak menjadi bumerang bagi kita.
Santi dan Sinta adalah dua anak kembar. Ayahnya bernama Pak Karim, dan ibunya bernama Saniti. Namun, karena orang tuanya dalam kondisi berkekurangan, keduanya harus terpisahkan oleh nasib. Santi tetap dalam asuhan kedua orang tuanya, sementara Sinta yang semula dititipkan kepada keluarga lain, diadopsi, dan dibawa pindah ke kota lain.
Mujur takdapat diraih, malang takdapat ditolak. Begitulah bunyi pepatah. Saat Santi berumur lima belas tahun, menjelang lulus SMP, kedua orang tuanya meninggal karena kecelakaan lalu lintas saat mereka membeli dagangan di Pasar Gadang.
Ya, untuk menyambung hidup, kedua orang tua Santi berdagang sayur-mayur dan kebutuhan sehari-hari. Mereka mengendarai becak, satu-satunya harta kekayaan mereka. Namun, suatu pagi tatkala mereka hendak pulang dari pasar, becak yang dikemudikan sang ayah dengan penumpang ibunya sendiri itu ditabrak truk yang bermuatan tebu. Katanya sopirnya mengantuk sehingga tidak dilihatnya ada becak yang berpapasan dengannya. Karena kecelakaan tersebut, keduanya tewas di tempat kejadian perkara.
Singkat cerita, Santi harus hidup sebatang kara. Tidak bisa hanya berurai air mata setiap hari. Dia harus menghidupi dirinya sendiri. Ia bertekad untuk melanjutkan usaha orang tuanya yakni berdagang.
Bermodalkan dana duka dari pihak Jasa Raharja, Santi tidak melanjutkan sekolahnya. Dia melanjutkan hidup dengan cara berjualan kue-kue dan masakan yang mampu dilakukannya.
Berbekal kemauan keras, Santi belajar membuat masakan sederhana dari para tetangganya yang peduli akan nasibnya. Santi meminta diajari cara membuat kue donat, roti goreng, dan bothok kepada para tetangganya. Setelah mencoba memasak makanan tersebut dan dirasa oleh tetangganya hasilnya sudah pas, Santi pun berniat menjajakannya.
Kata para tetangga yang mencicipinya, masakan Santi enak. Karena itu, kemudian Santi mencoba untuk meningkatkan jumlah jajanan dagangannya. Semula dia berkeliling ke rumah para tetangganya sambil menanyakan bagaimana hasil masakannya. Setelah dirasakan cukup memuaskan kue donat, roti goreng, dan bothok yang berhasil dibuatnya tersebut dijajakannya dengan berjalan kaki hingga desa sebelah, bahkan merambah hingga ke terminal yang jaraknya sekitar empat atau lima kilometer dari rumahnya.
Santi membuat bothok sejak siang hingga sore hari.  Ada bothok tempe tahu, bothok daun sembukan, dan ada bothok udang. Setelah bothok selesai dibuat, dia beristirahat sebentar. Ketiga bothok itu disimpannya dahulu sebentar, kemudian dia membuat adonan untuk donat dan roti goreng.  Sambil  mengukus bothok, Santi melanjutkan mencetak donat dan roti goreng. Keduanya diletakkannya di beberapa nampan bambu yang dilapisi kain saringan terlebih dahulu. Dibiarkannya agar keduanya berkembang. Pagi  bangun sekitar pukul empat, setelah melakukan ibadah pagi, dia melanjutkannya dengan menggoreng kedua bahan tersebut.
Sekitar pukul tujuh pagi semuanya sudah siap. Saatnya Santi berkeliling kampung menjajakan dagangannya. Ditentengnya dagangannya tersebut dengan dua tas berbentuk keranjang di tangan kiri dan kanan, sambil berjalan berkeliling. Tak lupa dibawanya juga tas kresek pembungkus, gula bubuk, meises, dan tumbukan kasar kacang tanah  untuk menaburi donatnya sesuai selera pembelinya.
Santi pun membawa serta lap bersih, sarung tangan, dan celemek agar para pembelinya merasakan bahwa dagangannya selain enak, bersih, juga higienis. Karena itu, sekitar pukul sepuluh atau sebelas siang dipastikan dagangannya sudah ludes dan dia sudah bisa pulang. Sebelum pulang dia singgah di toko untuk membeli bahan-bahan dasar kue dan masakannya esok hari.
Demikianlah hari-harinya dilaluinya dengan bekerja keras. Suatu saat, dia melihat sebuah mobil yang terparkir di jalan sepi di suatu perumahan dalam perjalanan pulang. Santi melihat kaca mobil sebelah kanan depan terbuka separuhnya. Santi heran dan mencari pemiliknya, namun mobil itu kosong tanpa penumpang. Dia berpikir harus menunggu sang pemilik mobil sampai di tempat memarkirkan mobilnya itu. Meskipun sudah tengah hari, lapar dan haus menyerangnya, Santi tidak mau beranjak dari tempat itu. Maksudnya, ditungguinya sang pemilik karena dilihatnya ada barang-barang berharga di sana.
Hampir dua jam sang pemilik, yang ternyata pasangan pengantin baru yang hendak mencari rumah kontrakan di daerah itu datang mendekati mobilnya. Sang suami, Reynaldi, terheran-heran ada wanita berada di samping mobilnya. Apalagi dilihatnya wajahnya sangat mirip isterinya, Sinta, yang masih berada di rumah yang hendak dikontraknya.
“Loohh.. Mbak siapa? Mengapa berada di sisi mobil saya?” tanya Rey keheranan.
“Ini.. ini…,” Santi bingung hendak mengucapkan kata-kata. Santi menunjuk ke kaca depan yang terbuka.
“Iya, Mbak. Ini mobil saya, kenapa?”
“Kacanya dari tadi terbuka.. saya.. saya..,” Santi tergagap.
Rey belum menjawab, tetiba Sinta datang dan,  “Hey, ada masalah apa, Sayang?” tanyanya kepada suaminya yang terheran-heran melihat dua sosok wanita berwajah mirip di depannya.
“Hei..  Mbak siapa? Akan mencuri, ya?” gertak Sinta sengit.
“Sin… jangan gegabah. Tanyailah dulu dengan baik-baik!” kata suaminya menenangkan Sinta.
“Mbak siapa?” tanya Sinta sekali lagi masih sambil curiga. Apalagi dilihatnya bayangan dirinya pada gadis itu.
“Saya Santi. Tadi saya melihat mobil ini jendelanya terbuka. Lalu, saya tunggui supaya tidak ada barang yang hilang. Tuh lihat, banyak barang yang bisa diambil dari luar jika jendelanya terbuka!”
“Ohh…!” Sinta tergagap.
“Nah, kan.. Sin.. Maka jangan asal tuduh!" nasihatnya pada istrinya. Lalu menoleh kepada Santi,  "Sudah lama Mbak berdiri di sini?” tanya Rey dengan tenang.
“Hampir dua jam, Mas. Jika ini mobil kalian, baiklah saya akan segera pulang. Tetapi, benarkah ini mobil kalian?” tanya Santi.
“Iya, benar… ini kuncinya!” jawab Rey sambil membuka pintu mobilnya.
“Oh, ya sudah. Saya permisi dulu! Saya lega tidak ada barang yang hilang!” jawab Santi.     "Tidak sia sia saya menjaganya!" lanjutnya. 
“Ehh.. sebentar dulu!” kata Reynaldi, “Sin.., minta maaflah kepada Mbak Santi karena kamu tadi sudah menuduhnya tidak baik!” kata Rey kepada istrinya. “Tetapi, ngomong-ngomong, mengapa Mbak mirip sekali dengan istri saya, ya!” lanjut Rey sambil melihat Santi.
“Iya, Mas. Saya Santi Mahadewi! Rumah saya sekitar lima kilometer di desa sebelah itu!” jawab Santi sambil menunjuk ke arah desanya. 
Dan Sinta pun takkalah terkejut mendengar nama Santi Mahadewi, sementara namanya sendiri Sinta Mahadewi. “Ehhh.. kok nama kita juga sama, ya!” teriaknya lantang sambil matanya membulat.
“ Wah, begini saja. Karena tadi Mbak telah berbaik hati menunggu mobil kami hampir dua jam, bagaimana jika sekarang kami mengantarkan Mbak ke rumah Mbak! Anggap saja sebagai balas budi kami, Mbak! Lagian ini juga sudah siang. Panas lagi. Kalau jalan kaki kurang pas lagi cuacanya, kan?” tawar Rey sambil membuka pintu belakang mobilnya. “Mari silakan naik, Mbak!”
Santi ragu-ragu, lalu kata Rey, “Sin.. ajak Mbak Santi masuk mobil!” tangannya menggamit lengan istrinya.
Singkat kata mereka sampai di rumah Santi. Ketika Sinta pun keluar dari mobil, Bu Parjo tetangganya terheran-heran melihatnya. Meskipun dua sosok wanita itu berpenampilan bagaikan bumi dan langit, Bu Parjo melihat bahwa keduanya bak pinang dibelah dua. Tetiba dia ingat peristiwa dua puluh tahun silam saat Pak Karim dan istrinya menangis meminta agar salah satu dari bayi kembarnya dicarikan orang tua asuh.
“Ya.. Allah.. jangan-jangan mereka…!” maka Bu Parjo pun berlari menuju ke rumah Santi.
Didekatinya Santi dan diperhatikannya Sinta. Bu Parjo melongo, sambil mengatakan, “Jangan-jangan kalian ini…!” tetap diamat-amatinya keduanya tak berkedip.
“Ada apa, Bu?” tanya Rey juga ikut memperhatikan keduanya dengan takjub.
“Sebentar..sebentar.. Mbak ini siapa?” tanyanya kepada Sinta.
Sinta pun menjawab, “Saya Sinta Mahadewi, Bu!”
“Nah… taksalah lagi dugaanku. Mbak, maaf, boleh tahu tanggal lahir Mbak kapan dan di mana? Lalu siapa nama orang tua Anda?” selidik Bu Parjo.
Sinta menyebutkan suatu tanggal bulan dan tahun. Santi pun terhenyak dan berteriak, “Loh.. kok sama!”
“Nama orang tua Anda, Mbak Sinta? Dan tempat tinggal orang tua Anda di mana?” lanjut Bu Parjo.
“Ayah saya Pak Damhuri, Ibu saya Nina Lestari. Kami tinggal di Kediri. Ini suami ditugaskan di kota ini lalu kami mencari rumah kontrakan di desa sebelah tadi!” jawab Sinta.
“Nah, tidak salah lagi. Begini. Sebenarnya kalian ini adalah putri kembar Pak Karim dan Ibu Saniti. Dua puluh tahun silam, orang tua kalian kewalahan dan mencari orang tua untuk salah satu di antara kalian. Jadilah Santi diasuh oleh orang tua kandung, dan Mbak Sinta diadopsi oleh Bapak Ibu Damhuri. Dahulu mereka juga tetangga kami! Begitu  ceritanya!” kata Bu Parjo dengan lancar, “Beruntunglah saya masih hidup. Saya tahu persis riwayat kalian berdua!”
“Ya… Allah…!” ujar Sinta, “Benarkah demikian ceritanya, Buk?” lanjutnya sambil menoleh kepada Bu Parjo.
“Jika tidak percaya, mari singgah dan duduk dahulu di dalam. Saya akan mencari saksi hidup yang lain agar kalian berdua percaya!” lanjut Bu Parjo.
Rey dan Sinta pun masuk ke dalam rumah sederhana Santi. Mereka duduk di kursi tamu dan meminta diizinkan melihat-lihat album foto keluarga mereka. Dilihatnya ada foto Bapak Karim dan Ibu Saniti bersama masa kecil Santi. Walaupun  sudah buram, ternyata tidak ada tanda-tanda bahwa mereka, Santi dan Sinta adalah anak kembar. Ini yang membuat Sinta berada dalam kebimbangan.
Taklama kemudian, setelah Bu Parjo permisi keluar sebentar, kini kembali lagi dengan beberapa orang yang sudah sepuh. Mereka semua saksi hidup bagi kedua putri kembar almarhum Bapak Karim dan almarhumah Ibu Saniti.
Namun, setelah beberapa orang bersedia menjadi saksi, Sinta masih belum puas mendengar penuturan beberapa orang tersebut bahwa mereka adalah anak kembar. Sinta juga masih belum mempercayai seratus persen bahwa kedua orang tua mereka sama. Sayang keduanya sudah berpulang sehingga tidak bisa menjawab kegundahan Sinta.
Rey dan Sinta berjanji akan membawa orang tua mereka secepatnya ke rumah Santi agar mereka menjelaskan posisi Sinta sebab Sinta tetap bersikukuh bahwa dia putri tunggal Bapak Damhuri dan Ibu Nina Lestari sebagaimana akta yang diketahuinya.

Komentar

Login untuk melihat komentar!