"Makasih, Mbak Dhira sudah mengisi acara kami. Saya suka dengan gaya Mbak Dhira membawakan acara. Segar dan ceria, bikin suasana jadi hidup," puji Bu Meta, ketua panitia acara yang mengundang Dhira sebagai MC.
Dhira tersenyum lebar, seolah wajahnya tak pernah lelah menampakkan keceriaan. Ia menyambut uluran tangan Bu Meta, bahkan menarik Bu Meta ke dalam pelukannya dan mencium pipi kiri dan kanannya. Dhira memang mudah akrab dengan orang lain meskipun baru dikenalnya.
"Justru saya yang makasih karena sudah dipercaya memandu acara ini," katanya, semringah. "Kapan-kapan boleh dong saya diundang lagi?"
"Oh iya dong sudah pasti. Nanti kalau kementerian ada acara lagi dan saya jadi panitianya, saya akan mengundang Mbak Dhira lagi." Bu Meta berjanji.
Dhira meninggalkan lokasi acara dengan langkah ringan, meskipun tubuhnya sudah lelah. Tak terasa sudah dua tahun ia menggeluti profesi sebagai MC di berbagai acara. Dulu ia hanya mengurus rumah tangga, walaupun mengetahui bakatnya yang pandai bicara dan berpenampilan menarik. Ia hanya fokus mengurus rumah tangga dan mengelola akun media sosialnya.
Suatu hari suaminya mengatakan bahwa panitia acara di kantornya sedang kebingungan mencari MC, karena MC yang biasa dipakai tiba-tiba sakit menjelang hari H dan tidak bisa merekomendasikan MC pengganti. Dhira langsung mengusulkan agar dirinya saja yang menjadi MC. Toh, dia sudah terbiasa berbicara di depan umum. Bahkan sering menjadi MC dalam acara kecil-kecilan seperti kumpul keluarga dan arisan.
Hirawan pun menyuruh Dhira mencoba menjadi MC di acara yang lebih besar. Ternyata Dhira dapat membawakannya dengan baik dan mendapatkan undangan-undangan lainnya melalui koneksi suaminya. Pekerjaan yang semula hanya iseng, menjadi lahan baru mencari rezeki sekaligus mengembangkan bakatnya. Biarpun kesibukannya bertambah, karena dia jadi harus sering ikut ke luar kota untuk memandu acara.
"Sayang, aku mau bicara," kata Hirawan, tiga tahun lalu.
Dhira menatap suaminya sebentar, berpikir sejenak karena dia sedang sibuk dengan pembuatan konten di media sosialnya. Jam kerjanya memang tak kenal waktu.
"Sayang, ini penting." Hirawan bicara lagi, karena Dhira mengabaikannya.
"Oh ya…. Oke." Dhira meletakkan ponselnya. "Ada apa, Mas?"
Hirawan terdiam sejenak, lalu mengambil napas sebelum berbicara. "Rencananya aku akan dinas lagi ke luar kota."
"Dinas ke luar kota? Oh ya sudah. Berapa lama?" Dhira tak menganggap hal itu memberatkan karena ia sudah terbiasa ditinggal dinas oleh Hirawan. Dulu sewaktu anak-anaknya masih kecil, Dhira juga mengikuti Hirawan berpindah-pindah kota. Sekarang anak-anak sudah bersekolah, jadi tak bisa ikut pindah semudah itu. Alhasil, Dhira terbiasa ditinggal Hirawan. Toh, Hirawan masih pulang sebulan dua kali.
"Tapi kali ini aku nggak bisa pulang-pulang. Katanya bakalan nggak ada hari libur. Kalaupun ada, paling hanya sehari. Nggak mungkin kan aku pulang Papua-Jakarta dalam sehari?" Penjelasan Hirawan membuat Dhira terperangah.
"Hah?! Dinasnya ke Papua?!"
Biasanya kota tempat dinas Hirawan masih seputaran Pulau Jawa. Pernah juga di Bali, tetapi Bali-Jakarta hanya satu jam. Papua?
Hirawan mengangguk. "Ya, dan ini kotanya jauh dari Jayapura."
"Berapa tahun?"
"Tiga."
Deg. Tiga tahun tak bertemu, apakah mungkin? Pilihannya hanya dua. Dhira ikut Hirawan ke Papua atau bersabar menunggu selama tiga tahun.
Usai pembicaraan itu, Dhira jadi tak konsentrasi bekerja. Ia seperti dihadapkan dengan buah simalakama. Semua pilihan terasa memberatkan. Anak-anak mungkin saja pindah sekolah, tetapi bagaimana dengan karirnya?
"Kamu nggak usah ikut, Sayang. Aku nggak mau memberatkanmu. Aku juga bakalan sibuk di sana. Tiga tahun itu nggak lama kok. Kamu di sini fokus urus anak-anak dan kembangkan karirmu," kata Hirawan.
Dhira tahu suaminya sepengertian itu. Suaminya pula yang dari awal mendukung karirnya. Hirawan pun tak masalah saat Dhira jarang berada di rumah karena harus ikut ke luar kota untuk memandu acara. Sering kali Dhira hanya berada di rumah sehari-dua hari. Anak-anaknya sudah besar dan diurus oleh orangtuanya.
Dhira telah mengalah sejak awal menikah hanya mengurus rumah tangga. Tak ada salahnya ia mulai mengembangkan karirnya saat anak-anak beranjak remaja.
"Selama ini Hirawan ndak pernah macam-macam, kan? Saat kamu ke luar kota pun, Hirawan anteng di rumah. Sudah, percaya saja sama suamimu," kata ibu Dhira, membantu Dhira membuat pilihan.
Saat itu, Tiara sudah duduk di bangku kelas 6 SD. Tanggung kalau pindah sekolah. Mungkin tahun depan Tiara bisa melanjutkan SMP di Papua.
Perpisahan itu pun terjadi. Malam sebelum berpisah, mereka menghabiskan waktu layaknya pengantin baru. Dhira pikir tahun depan ia bisa mengikuti Hirawan pindah ke Papua, ternyata malam itu adalah malam terakhir mereka bisa berhubungan suami istri.
Setahun berlalu, Tiara sudah lulus SD dan diterima di SMP Negeri terbaik di Jakarta.
"Mas, aku iseng aja daftarin Tiara, ternyata dia berhasil masuk SMPN terbaik!" seru Dhira, di telepon.
"Oh ya sudah, jangan disia-siakan. Biarkan saja dia sekolah di situ," kata Hirawan.
"Tapi, Mas, harusnya kan kami pindah ke Papua ikut Mas…. Gimana? Udah disiapkan tempatnya?"
"Aku belum sempat, Sayang. Sibuk banget. Apalagi mencari SMP buat Dhira, masih lebih baik di Jakarta. Sudahlah, toh tinggal dua tahun lagi. Setahun saja ini tak terasa kok saking sibuknya," jawab Hirawan.
Ternyata rencana mengikuti pindah ke Papua tak semudah yang dikira. Banyak yang harus disiapkan. Terutama hal-hal yang berurusan dengan anak-anaknya.
"Aku khawatir kamu juga kesulitan beradaptasi dengan kondisi sini," kata Hirawan lagi. "Banyak orang mabuk, kadang-kadang mereka melempari rumah-rumah dengan batu. Belum lagi dengan masalah kesehatan karena banyak nyamuk malaria. Fasilitas juga terbatas dan harga sembako jauh lebih mahal."
Dhira mengigit bibir bawahnya mendengarkan penjelasan Hirawan. Barangkali dia masih bisa tahan dengan adaptasi itu, tetapi bagaimana dengan anak-anaknya yang sudah terbiasa menikmati kemudahan di Jakarta?
"Kalau Hirawan sudah bilang begitu, ya sudah kamu tunggu saja dia di Jakarta," kata Ibu.
"Sebenarnya berat bagi seorang laki-laki yang sudah menikah terpisah dengan istri dan anak-anaknya, tapi Bapak sendiri akan berjuang menahan kerinduan daripada istri dan anak-anak kesulitan di tempat baru," kata Bapak.
Masukan dari kedua orangtuanya itulah yang membuat Dhira bertahan menghadapi ujian Long Distance Marriage. Walaupun begitu, tetap ada pikiran buruk dan kekhawatiran terhadap suaminya.
Terutama bila dia membaca berita tentang serangan Kelompok Kriminal Bersenjata di Papua terhadap aparat dan masyarakat sipil. Apalagi suaminya adalah pegawai pemerintah yang ikut mendokumentasikan kegiatan-kegiatan pejabat selama di sana.
Dua orang guru yang bertugas di SMPN 1 Beoga, Kabupaten Puncak Provinsi Papua, meregang nyawa setelah mendapatkan serangan dari Kelompok Kriminal Bersenjata….
Dhira membaca berita di media online dengan hati berdebar. Bagaimana jika suaminya juga berada dalam situasi tersebut?
Login untuk melihat komentar!